MURABAHAH
A.
Ruang Lingkup Murabahah
1.
Pengertian Murabahah
Murabahah berasal dari kata dasar رَبِحَ - يَرْبَحُ - ِربْحًا
yang berarti beruntung. Didalam ilmu
syaraf mempunyai fungsi sebagai musyarakah
diantara dua orang atau lebih, seseorang yang mengerjakan sesuatu sebagaimana
yang lain juga mengerjakan.[1]
Jadi, pengertian murabahah secara
bahasa adalah mengambil keuntungan yang disepakati.[2] Bai’ murabahah adalah jual beli barang
pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ murabahah penjual harus memberitahu
harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya.[3]
Murabahah
dalam istilah fiqih Islam yang
berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya
perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan
untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan.[4]
Pengertian
saling menguntungkan disini dapat dipahami, bahwa keuntungan itu adalah bagi
pihak pertama, yaitu yang meminta pembelian dan keuntungan bagi pihak kedua
(yang mengembalikan). Keuntungan bagi pihak pertama adalah terpenuhi
kebutuhannya, dan keuntungan bagi pihak kedua adalah tambahan keuntungan yang
ia ambil berdasarkan kesepakatan dengan pihak pertama. Saling menguntungkan,
ini harus berlandaskan pada adanya kerelaan kedua belah pihak terhadap jual
beli yang mereka lakukan.
Secara istilah banyak defenisi yang diberikan para
ulama terhadap pengertian murabahah.
Akan tetapi diantara defenisi-defenisi tersebut mempunyai suatu pemahaman yang
sama. Dibawah ini peneliti memuat beberapa defenisi tentang murabahah menurut pendapat para ekonom
muslim dan juga sebagian ulama, yaitu :
1.
Muhammad Syafi’i Antonio, murabahah
adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dalam murabahah, penjual
harus memberitahu harga pokok yang ia beli dan menentukan tingkat keuntungan
yang disepakati.[5]
2.
Menurut Adiwarman A. Karim, murabahah
(al- ba’ bi tsaman ajil) lebih
dikenal sebagai murabahah saja. Murabahah yang berasal dari kata ribhu (keuntungan), adalah transaksi
jual beli dimana Bank menyebutkan jumlah keuntungan yang diperoleh. Bank
bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah
harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).[6]
3.
Sunarto Zulkifli, Bai’ al-murabahah
adalah prinsip bai’ (jual beli)
dimana harga jualnya terdiri dari harga pokok barang ditambah nilai keuntungan
(ribhun) yang disepakati. Pada murabahah, penyerahan barang dilakukan
pada saat transaksi sementara pembayarannya dilakukan secara tangguh atau
cicilan.[7]
4.
Karnain Perwataatmadja, murabahah
berarti barang dengan pembayaran ditangguhkan (1 bulan, 3 bulan, 1 tahun dst).
Pembiayaan murabahah adalah
pembiayaan yang memberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan
produksi. Pembiayaan mirip dengan kredit modal kerja yang bisa diberikan oleh
bank-bank konvensional, dan karena pembiayaan murabahah berjangka waktu dibawah 1 tahun (short run finacing).[8]
5.
Bambang Rianto Bustam, murabahah
berasal dari kata “ribhu’
(keuntungan) yaitu akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah.[9]
6.
Sutan Remy Sjaddini, murabahah
adalah jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli dengan
cicilan. Pada perjanjian murabahah
atau mark-up, bank membiayai
pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli
barang itu dari pemasok barang dan kemungkinan menjual kepada nasabah tersebut
dengan menambahkan mark-up untung.[10]
7.
Ibrahim Lubis memberikan defenisi yang tidak jauh berbeda dengan defenisi
yang dikemukakan Ibnu Rusyd, yaitu suatu bentuk jual beli, dimana penjual
menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli kemudian ia mensyaratkan
keuntungan dalam jumlah tertentu.[11]
8.
Yusak Laksmana, murabahah adalah
pembiayaan jual beli dimana penyerahan barang dilakukan diawal akad. Bank
menetapkan harga jual barang itu harga pokok perolehan barang ditambah sejumlah
margin keuntungan bank. harga jual
yang telah disepakati diawal akad tidak boleh berubah selama jangka waktu
tertentu.[12]
9.
Para Fukaha, mendefinisikan murabahah
adalah sebagai penjualan barang seharga biaya atau harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark-up margin keuntungan yang
disepakati.[13]
10. Ibnu Rusyd, didalam kitabnya Bidaayatul Al-Mujtahid Wa Al-Nihaayatu
Al-Muqtasid, murabahah adalah
penjual menyebutkan harga barang yang dibeli kepada pembeli, yang kemudian
disyaratkan kepadanya keuntungan dari barang tersebut, baik dalam bentuk dirham
maupun dinar. Lebih lanjut dijelaskan Ibnu Rusyd bahwa bentuk jual beli barang
dengan tambahan harga atas harga dasar pembelian, berlandaskan sifat kejujuran.[14]
11. Imam Syafi’i didalam kitabnya
al-Ulum menyebutkan murabahah ini dengan istilah al-Amir Bi al-Syara’ adalah pembelian
barang yang dilakukan oleh orang yang diminati untuk membeli secara tunai oleh
orang yang memesan barang untuk kemudian orang yang memesan atau meminta
pembelian itu membayar secara angsuran atau cicilan kepada yang diminati.[15]
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa murabahah
adalah akad jual beli barang dimana Bank sebagai penjual sementara, nasabah
sebagai pembeli dengan memberitahukan harga beli dari pemasok dan biaya-biaya
lainnya serta menetapkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak.
Dari sudut pandang
fiqih, murabahah merupakan akad jual
beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan harga dasar pembelian
barang kepada pembeli, kemudian penjual tersebut mensyaratkan keuntungan atas
harga dasar pembelian.
2.
Dasar Hukum Murabahah
Adapun dasar hukum murabahah dapat dilihat dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist, sebagai
berikut :
a.
Al-Qur’an
Surah Al-Baqarah (2) : 275
úïÏ%©!$#
tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t
wÎ)
$yJx. ãPqà)t
Ï%©!$#
çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB
Äb§yJø9$# 4
y7Ï9ºs
öNßg¯Rr'Î/
(#þqä9$s% $yJ¯RÎ)
ßìøt7ø9$#
ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3
¨@ymr&ur
ª!$#
yìøt7ø9$#
tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
`yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB
`ÏiB
¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$#
(
ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# (
öNèd
$pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
Artinya : “Orang-orang yang makan riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata,
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti, maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu dan urusannya kepada Allah. Orang yang kembali, maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.[16]
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT
mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan
melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan
legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan
pada Bank Syari’ah karena merupakan salah satu bentuk jual beli dan tidak
mengandung unsur ribawi.[17]
Surah An-Nisa’ (4) : 29
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.[18]
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT melarang
segala bentuk transaksi yang batil. Diantara transaksi yang dikategorikan batil
adalah yang mengandung bunga (riba), sebagaimana terdapat pada sistem kredit
konvensional. Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan unsur
bunga namun hanya menggunakan margin. Disamping itu, ayat ini mewajibkan untuk
keabsahan setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip kesepakatan
antara para pihak yang ditungakan dalam suatu perjanjian yang menjelaskan dan
dipahami segala hal yang menyangkut hak dan kewajiban masing-masing.[19]
b.
Al-Hadist
Sedangkan landasan hadist yang mendasari transaksi murabahah ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah No.
2289, yaitu :
عَنْ سُهَيْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ النبَِّيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلََّمَ قَالَ : ثَلاَثَ فِيْهِنَّ
اْلبَرْكَةُ : اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَاْلمُقَارَضَةُ وَخَلْطُ الْبُرِّ
بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ (رواه ابن ما جه)
Artinya : “ Diriwayatkan
dari shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : tiga hal yang
mengandung berkah, yaitu jual beli secara tidak tunai, muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual.” (H.R. Ibnu Majah dari Shuhaib).[20]
Hadist diatas menjelaskan diperbolehkannya praktek
jual beli yang dilakukan secara tempo, begitu juga dengan pembiayaan murabahah
yang dilakukan secara tempo, dalam arti nasabah diberi tenggang waktu untuk
melakukan pelunasan atas harga komoditas sesuai kesepakatan.[21]
Hadist
Riwayat At-Tirmidzi N0. 1209 :
عن عبد الله بن عمر
رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: « التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ – وفي رواية: مع
النبيين و الصديقين و الشهداء – يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رواه ابن ماجه والحاكم والدارقطني
وغيرهم
Artinya : ”Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur dan
amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang
shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).[22]
Hadist diatas
menjelaskan ganjaran bagi pelaku usaha yang jujur dan
terpercaya (amanah) akan di sejajarkan para Nabi, orang orang yang shiddiq (benar/jujur) dan
para syuhada (orang yang meninggal di jalan Allah), makna hadist diatas juga
membuktikan bahwa para nabi sebelumnya juga seorang saudagar atau wirausaha
terlihat dari kata “dibangkitkan bersama para Nabi” kata penyamaan itu
menunjukan suatu hal yang erat bahwa ada konteks kesamaan, yang berarti
menunjukan bahwa Nabi Nabi dahulu juga seorang wirausahawan, itu sebabnya kaum muslim di
anjurkan untuk berwirausaha dan melakukan kebajikan.
c.
Ijma’
Abdullah Saeed mengatakan, bahwa Al-Qur'an
tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan murabahah, walaupun ada
beberapa acuan di dalamnya untuk menjual, keuntungan, kerugian dan perdagangan.
Demikian juga, tidak ada hadist yang memiliki acuan langsung kepada murabahah.
Karena nampaknya tidak ada acuan langsung kepadanya dalam al-qur'an atau hadits
yang diterima umum, para ahli hukum harus membenarkan murabahah
berdasarkan landasan lain.
Imam Malik mendukung pendapatnya dengan acuan pada
praktek orang-orang Madinah, yaitu ada konsesus pendapat di sini (di Madinah)
mengenai hukum orang yang membeli baju di sebuah kota, dan mengambilnya ke kota
lain untuk menjualnya berdasarkan suatu kesepakatan berdasarkan keuntungan.
Imam Syafi'i tanpa bermaksud untuk membela
pandangannya mengatakan jika seseorang menunjukkan komoditas kepada seseorang
dan mengatakan, "kamu beli untukku, aku akan memberikan keuntungan begini,
begini", kemudian orang itu membelinya, maka transaksi itu sah.
Ulama Hanafi, Marghinani, membenarkan berdasarkan
'kondisi penting bagi validitas penjualan di dalamnya, dan juga karena manusia
sangat membutuhkannya. Ulama Syafi'i, Nawawi, secara sederhana mengemukakan
bahwa penjualan murabahah sah menurut hukum tanpa bantahan.[23]
Mayoritas para ulama membolehkan jual beli dengan
cara murabahah, karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan
apa yang dihasilkan dan dimiliki orang lain.[24]
d.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Dewan Syari’ah Nasional menetapkan aturan tentang murabahah sebagaimana tercantum dalam
fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 1 April 2000
sebagai berikut :
1.
Bank dan Nasabah harus melakukan akad murabahah
yang bebas dari riba.
2.
Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syari’ah islam.
3.
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
4.
Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5.
Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya
jika pembelian dilakukan secara berhutang.
6.
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga
jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam hal ini bank harus
memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang
diperlukan.
7.
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka
waktu tertentu yang telah disepakati.
8.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut,
pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.
Jika bank hendak mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.[25]
3.
Rukun dan Syarat Murabahah
Murabahah merupakan salah satu transaksi jual beli, dengan
demikian rukunnya sama dengan rukun jual beli. Menurut Mazhab Hanafiyah yang
dikutip dari buku Fiqh Muamalah karya
Rahcmat Syafei rukun jual beli adanya ijab dan qabul yang menunjukkan adanya
pertukaran atau kegiatan saling memberi yang menepati kedudukan ijab dan qabul.
Rukun ini dengan ungkapan lain merupakan pekerjaan yang menunjukan keridhaan
dengan adanya pertukaran dua harta milik, baik itu berupa perkataan maupun
suatu perbuatan.[26].
Menurut jumhur ulama ada empat rukun dalam jual
beli, yaitu orang yang menjual dan orang yang membeli, sighat dan barang atau
sesuatu yang diakadkan. Keempat rukun ini mereka sepakati dalam setiap jenis
akad. Rukun jual beli menurut jumhur ulama, selain Mazhab Hanafi, ada tiga atau
empat persyaratan yaitu, orang yang berakad (penjual dan pembeli), yang
diakadkan (harga dan barang yang dihargai), sighat
(ijab dan qabul).[27]
Dari ketiga rukun
tersebut memiliki syarat, yaitu :
1.
Penjual (ba’i) dan pembeli (Mustari’k)
Penjual
dan pembeli mendapat izin untuk menjual dan membeli barang tersebut, kondisi
dari kedua dalam keadaan baligh dan sehat akalnya.
2.
Barang/objek (mabi)
Barang
yang dijual harus merupakan barang yang diperbolehkan dijual, bersih, bisa
diserahkan kepada pembeli, dan bisa diketahui pembeli meskipun hanya dengan
ciri-cirinya.
3.
Ijab qabul (Sighat)
Ijab
dan qabul dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan maupun isyarat asal dapat memberikan pengertian yang jelas
tentang adanya ijab dan qabul, disamping itu ijab dan qabul juga dapat berupa
erbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[28]
Menurut ulama
Hanafi syarat-syarat jual beli yang berdasarkan rukun jual beli diatas adalah :
1.
Syarat yang terkait dalam ijab dan qabul
a.
Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal.
b.
Qabul harus sesuai dengan ijab.
c.
Ijab dan qabul harus dilakukan didalam suatu majelis.
2.
Syarat orang yang berakad
a.
Baligh dan berakal
b.
Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda.
c.
Suka rela (ridho), tidak dalam keadaan dipaksa.
d.
Barang merupakan milik penuh.
3.
Syarat harga barang dan barang yang diperjual belikan.
Para ulama membedakan
syarat harga barang dengan barang yang diperjual belikan. Menurut mereka,
syarat harga barang adalah harga pasar yang berlaku ditengah masyarakat secara
aktual. Para ulama fiqh mengemukakan syarat harga barang adalah :
a.
Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.
Boleh diserahkan pada waktu akad atau dibayar kemudian.
c.
Jika jual beli dilakukan dengan saling menukarkan barang, maka barang yang
dijadikan nilai tukarnya adalah bukan barang yang diharamkan.
Sedangkan dengan syarat-syarat
barang yang diperjual belikan adalah :
a.
Barangnya haruslah suci.
b.
Barang itu dapat diambil manfaatnya menurut ketentuan Islam.
c.
Mudah diserahkan.
d.
Milik seseorang.
e.
Barangnya jelas diketahui oleh orang yang berakad baik zat, sifat, maupun
ukurannya.[29]
4.
Macam-Macam Pembiayaan Murabahah.
Murabahah dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu :
1.
Murabahah tanpa pesanan, yaitu apabila ada yang memesan
atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank menyediakan barang dagangannya. Akan
tetapi, penyediaan barang tersebut tidak terpengaruh atau terkait langsung
dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli.
2.
Murabahah berdasarkan pesanan, yaitu bank baru akan
melakukan transaksi murabahah atau
jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan barang
baru dilakukan jika ada pesanan. Akan tetapi, pengadaan barang sangat
tergantung atau terkait langsung dengan pesanan atau pembelian barang tersebut.
Murabahah dalam pesanan dapat dibagi
dua yaitu : (1) murabahah berdasarkan
pesanan dan bersifat megikat, yaitu apabila telah dipesan harus dibeli, dan (2)
murabahah berdasarkan pesanan dan
bersifat tidak mengikat, yaitu walaupun nasabah telah memesan barang, tetapi
nasabah tidak terkait, nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.[30]
5.
Karakteristik dan Manfaat Murabahah
a.
Karakteristik Murabahah
Karakteristik
murabahah yang mana dalam pedoman akuntansi perbankan syari’ah di Indonesia
dijelaskan karakteristik murabahah sebagai
berikut :
1.
Proses pengadaan barang murabahah
harus dilakukan oleh pihak Bank.
2.
Murabahah dapat dilakukan melalui pesanan atau tanpa
pesanan dalam murabahah pesanan bank
melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.
3.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat dan
tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya.
4.
Pembiayaan murabahah dapat
dilakukan secara tunai ataupun cicilan.
5.
Bank dapat memberi potongan, apabila nasabah dapat melunasi hutang tepat
waktu atau lebih cepat dari waktu yang dicantumkan, dengan syarat tidak ada
diperjanjikan dalam akad dan besarnya potongan diserahkan pada kebijakan bank.
6.
Bank dapat menerima nasabah menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam barang yang
telah dibeli bank.
7.
Bank dapat meminta uang pembeli kepada nasabah setelah akad disepakati,
tetapi apabila murabahah batal,
pembeliaan dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai
dengan kesepakatan, antara lain :
a.
Potongan pembelian bank oleh pemasok.
b.
Biaya administrasi.
c.
Biaya yang dikeluarkan dalam proses pengadaan lainnya.
8.
Apabila terdapat uang muka dalam transaksi murabahah berdasarkan pesanan, maka keuntungan murabahah didasarkan pada posisi harga barang yang telah dibiayai
oeh bank.
9.
Bank berhak mengenakan denda kepada nasabah yang tidak dapat dengan
indikasi antara lain :
a.
Adanya unsur kesengajaan yaitu nasabah mempunyai dana tetapi tidak
melakukan pembayaran piutang murabahah.
b.
Adanya unsur penyalahgunaan yaitu nasabah yang mempunyai dana tetapi
digunakan terlebih dahulu untuk hal lain.
10. Apabila setelah akad
transaksi murabahah maka pemasok akan
memberikan suatu potongan harga atas barang yang dibeli oleh bank dan telah
dijual kepada nasabah, maka potongan harga tersebut dibagi berdasarkan
perjanjian atau persetujuan yang dibuat dalam akad, pembagian potongan harga
setelah akad harus diperjanjikan lagi mana porsi potongan harga yang menjadi
milik bank dapat diakui sebagai pendapatan operasi lainnya.[31]
b.
Manfaat Murabahah
Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi murabahah memiliki beberapa manfaat, yaitu : Bai’ al murabahah memberi banyak manfaat
pada bank syari’ah salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari
selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu
sistem bai’ al murabahah juga sangat
sederhana hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syari’ah.
Selain manfaat diatas murabahah juga memiliki kemungkinan resiko yang harus diantisipasi
antara lain :
1.
Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
2.
Penolakan nasabah yaitu barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah
karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah
tidak mau menerimanya, karena itu sebaiknya dilindungi dengan asuransi.
Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda
dengan barang yang dipesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian
dengan penjual, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank
mempunyai resiko untuk menjualnya pada pihak lain.[32]
6.
Aplikasi Murabahah Dalam Perbankan Syari’ah
Perbankan Syari’ah
di Indonesia banyak yang menggunakan al-murabahah
secara berkelanjutan seperti untuk modal kerja, padahal sebenarnya murabahah
adalah suatu kontrak jangka pendek dengan sekali akad. secara umum, aplikasi
perbankan dari ba’i al-murabahah
dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Gambar III.1
Skema Ba’i
Al-Murabahah
3. Supplier
Barang
|
Bank
|
Nasabah
|
Supplier
Penjual
|
1.
Negosiasi
Persyaratan
|
2.
Akad
Jual Beli
|
6.
Bayar
|
4. Kirim
|
3.
Terima Barang dan Dokumen
|
Sumber : Muhammad Syafi’i Antonio,
2007, h. 107
Skema diatas dapat dijelaskan bahwa Nasabah dan
Bank melakukan negosiasi atas barang yang akan dibeli atau dipesan dan disana
terjadi akad jual beli antara Bank dengan Nasabah, Bank juga langsung
menyebutkan atas keuntungan (margin) yang
akan diambilnya. Bank membeli barang yang sudah dipesan oleh nasabah kepada
sipenjual atau pembuat barang dan bank menyuruh sipenjual mengirimkan barang
kepada nasabah yang memesan barang. Dan nasabah menerima barang serta
dokumen-dokumen yang akan dibayarkan kepada pihak Bank.
Dengan demikian telah terjadi transaksi murabahah, dari teknis murabahah
merupakan akad penyediaan barang
berdasarkan akad jual beli, dimana penjual (Bank) menyerahkan barang
yang dibutuhkan pembeli (nasabah) dengan tambahan keuntungan yang telah
disepakati pada saat akad terjadi.[33]
[1] Abu Rifqi Al Hanafi, Kamus Al-Amanah Arab-Indonesia,
(Surabaya : CV. Adis, 2002), Cet. Ke-1, h. 63.
[2] Harisman, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan
Syari’ah, (Jakarta : Direktorat Perbankan Syari’ah, 2006), h.48.
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001),
Cet. Ke-1, h. 101.
[6] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), Cet. Ke-2, h. 88.
[7] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah,
(Jakarta : Zikrul Hakim, 2003), h. 43.
[8] Kernain Perwataatmadjha, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta : PT. Intermasa, 1993),
Cet. Ke-2, h. 25.
[9] Bambang Rianto Rustam, Perbankan Syari’ah, (Pekanbaru : Mumtaz Cendikia Press, 2005), Cet.
Ke-1, 70.
[10] Sutan Remy Sjaddini, Perbankan Syari’ah dan Kedudukan Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,
(Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 160.
[12] Yusak Laksmana, Panduan Praktis Accaunt Officer Bank Syari’ah, (Jakarta : PT. Elex
Media Komputine, 2009), h. 24.
[14] Ibnu Rusyd, Bidaayatul
Al-Mujtahid Wa al-Nihayatul Al-Muqtashid, (Daral-Fikr, Beirut, 1997), Cet.
Ke-1, h. 101.
[16] Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan,
(Bandung : PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2002), h. 47
[20] Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid Bin Majah
Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut
: Darul Fikri, 2005), Juz 2, h. 768.
[22] Abu Isa Muhammad Bin Isa
Bin Surah At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi,
(Kairo : Darul Hadist, 2005), Juz 3, h. 515.
[23] M. Ufuqul al-'Asqalani, Bulughu al-Maram min Adillah al-Ahkam,
(Beirut: Muassasah Al-Rayyan, 2000), h.158.
[25] Bambang Rianto Rustam, Perbankan Syari’ah, (Akuntansi Pendanaan dan
Pembiayaan), (Pekanbaru : Mumtaaz Cendikia Adhitama, 2008), h. 48.
Komentar