TASAWUF
FALSAFI
(al-Fana, Ittihad
dan al-Hulul)
Tasawuf ada beberapa aliran, seperti tasawuf Akhlaqi, tasawuf Sunni dan
tasawuf Falsafi. Adapula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf 'Amali, tasawuf Falsafi dan
tasawuf 'Ilmi.[1] Namun dalam makalah ini hanya akan dibahas secara
lebih fokus tentang tasawuf Falsafi saja.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari
berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.[2]
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bersandarkan pada pemaduan
antara intuisi para sufi dengan cara pandang rasional mereka, serta
menggunakan terma-terma filsafat dari berbagai macam sumber untuk mengungkapkan
tasawufnya itu. Bisa juga dikatakan bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Dalam pandangan mereka yang beraliran tasawuf falsafi, manusia
masih dapat melewati tahap ma’rifah, dan naik ke jenjang yang
lebih tinggi yaitu persatuan dengan Tuhan, yang kemudian disebut
dengan ittihad, hulul, wahdah al-wujud, dan isyraq.[3]
A.
Al- Fana
Dari
segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang
berarti musnah atau lenyap. Keadaan dari Syai’ (sesuatu) yang
tidak berakhir, artinya apabila tetapnya suatu keadaan telah berakhir,
dikatakan bahwa ia telah mencapai fana.[4]
Dari segi
bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad
(rusak). Fana artinya tidak nampak sesuatu, sedangkan al-fasad
adalah berubahnya sesuatu kepada sesutu yang lain.[5]
Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M) mendefinisikannya:
"hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari
segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu”.[6]
Menurut al-Junaidi sebagai berikut:
ذهاب قلب عن حسن المحسوسات
بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن الذهاب هذا
مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء
يفقد
Fana adalah hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal
yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang
demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlehit itu dan
berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan
dirasakan oleh indera.[7]
Menurut
al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah Fana’nya seseorang dari dirinya dan
makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang
mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain
ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.[8]
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya
kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim
digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya
sifat-sifat kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti
hilangnya sifat-sifat yang tercela.[9]
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Sebagaimana
dinyatakan oleh para ahli tasawuf, “apabila tampaklah nur kebaqaan, maka
fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”. Dengan demikian fana adalah
lenyapnya sifat-sifat basyariah dan kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang
terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat yang
disebut dengan baqa. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha
seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang
terpuji. Selanjtnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana
‘an al-nafs) yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh
yang kasar.[10]
Kalau seorang telah mencapai al-fana al-nafs yaitu kalau wujud jasmaniah tak
ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud
rohaninya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Tuhan ini
terjadi langsung setelah tercapainya al-fana al-nafs.[11]
Berdasarkan uraian di atas bahwa yang dituju dengan fana
dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniyah dan bathiniyah dengan
Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.[12]
Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis
yang dialami seseorang, yaitu:[13]
1.
Al-Sakar adalah
situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia meluas
dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa As di Tursina.
2.
Al-Sathohat yang
secara bahasa, berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf adalah suatu
ucapan yang terlontar di luar kesadaran, yaitu kata-kata yang diucapkan dalam
keadaan sakar.
3.
Al-Zawal
al-hijab, diartikan dengan bebas keluar dari dimensi alam materi dan telah
ber”ada” di alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang
cahaya dan suara Tuhan.
4.
Al-Ghalab
al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, dimana ia
lupa akan keberadaan dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya
Allah seutuhnya.
Sedangkan menurut Ibn Arabi berpendapat bahwa proses
gradual itu ada tujuh tahap:[14]
1.
Fana’an
ma’ashi, meninggalkan dosa.
2.
Menjauhkan
diri dari semua perbuatan apapun.
3.
Menjauhkan
diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujd-wujud kontingen (mukminul
wujud), si sufi harus menyadari bahwa segala macam bentuk-bentuk yang ada,
sebenarnya adalah kepunyaan Allah.
4.
Menyingkir
dari personalitas dirinya sendiri.
5.
Meninggalkan
seluruh Alam.
6.
Menghilangkan
segala hal selain Allah.
7.
Melepaskan
semua atribut-atribut atau sifat-sifat Tuhan serta hubungan-hubungan atribut
itu.
Pada perkembangannya, ada dua aliran al-fana, satu
aliran yang berpaham moderat yang diwakili al-Junaid al-Baghdadi, biasanya
disebut fana fi’ttauhid. Kalau seorang telah larut
dalam ma’rifatulloh dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain
Allah, maka ia telah fana dalam tauhid. Artinya masih ada batas dan tidak
bersatu dengan Allah. Aliran fana yang kedua dipelopori oleh Abu Yazid
al-Busthami yang mengartikan al-fana sebagai penyatuan dirinya dengan
Tuhan.
Fana mempunyai empat tingkatan, yaitu:[15]
1.
Fana’ fi
af’aliyah yaitu tiada perbuatan melainkan Allah.
2.
Fana
fisshifat yaitu tiada yang hidup sendiri melainkan Allah.
3.
Fana fil
Asma’ yaitu tiada yang patut dipuji melainkan Allah
4.
Fana’
fidz Dzat yaitu tiada wujud yang mutlaq melainkan Allah.
Sebagai kesimpulan akhir dapatlah diambil pengertian
masalah fana yaitu membersihkan diri lahir bathin, memfanakan segala
penyerupaan-penyerupaan Allah dari segala sifat-sifat kekurangan kebaruan.
Maqam fana itu selain yang dijelaskan di atas, ada tiga
macam fana yang bebas dari unsur hulul dan ittihad yang diproses berdasarkan
ajaran tauhid murni, yang dikatakan oleh Imam Ahmad Taqiyyudin ibnu Taimiyah,
yaitu:[16]
1.
Fana
ibadah kepada selain Allah.
2.
Fana
pandangan (syuhud hati) kepada selain Allah.
3.
Fana
wujud selain Allah.
Hikmah yang dapat diambil dari gambaran masalah fana ini
diantaranya adalah:[17]
1.
Dengan
adanya ajaran fana ini, kita dapat mengetahui dan mengerti tentang pentauhidan
Tuhan semurni-murninya dalam arti tiada wujud mutlaq kecuali hanyalah Allah.
2.
Ma’rifat
billah semurni-murninya, tidak hanya sekedar dengan pengakuan adanya dan
keesaannya saja dengan ucapan kalimat syahadat, tidak sekedar dalil dan sekedar
pendapat akal pikiran saja, tetapi mengenal Tuhan dalam arti Ma’rifat.
Sebagaimana para ahli tasawuf memberikan pengertian tentang ma’rifat. Ma’rifat
ialah lenyap segala yang lain karena nampaknya Tuhan Maha Esa yang baqa’.
Firman Allah dalam QS. ar-Rahman ayat
26-27, sebagai berikut:
@ä. ô`tB $pkön=tæ 5b$sù ÇËÏÈ 4s+ö7tur çmô_ur y7În/u rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
Artinya: “semua yang ada di bumi itu akan
binasa (26) dan
tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan(27).
B.
Ittihad
Pengertian Ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi
terminologi adalah Ittihad adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi
satu. Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya terjadi proses
pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah
yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinyabersatunya manusia
denganTuhan.
Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami[18].
Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya
(sebagai manusia) maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya,
yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan[19].
Menurut Bayazid (Al-Busthami) disebut ‘tajrid fana
at-tauhid’, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa ada perantara apapun.
Situasi ittihad itu diperjelas oleh Bayazid dalam ungkapannya, “Tuhan
berkata: Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata: Aku
adalah Engkau, Engkau adalah Aku”.[20]
Selanjutnya Abu Yazid berkata:[21]
“Saya inilah Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku”.
Pada lain kali Abu Yazid, berkata:[22]
“yang ada dalam baju ini adalah Allah”.
Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah
pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi
sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya ‘Aku adalah Engkau bukan
ia maksudkan akunya Bayazid pribadi’. Dialog yang terjadi ketika itu pada
hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan
melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Pada saat
bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada
pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada
hakikatnya adalah kata-kata Tuhan.[23]
Bagi orang bersikap
toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi
orang yang keras berpegang kepada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Paham
ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud.
Dengan demikian untuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan
al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.[24]
C.
Al-Hulul
Secara harfiah hulul
berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang
telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.[25]
Paham bahwa Allah
mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hajaj
yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut
(ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya
mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama at-thawasin.[26]
Doktrin al-hulul adalah
perkembangan lebih lanjut dari paham al-ittihad secara lebih mendalam lagi,
dimana Tuhan mengambil tempat pada diri manusia yang sudah bersih dari
sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses fana atau ekstase. Konsepsi al-hulul
diperkenalkan pertama kali oleh Husein Ibn Mansur al-Hallaj yang meninggal
karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan
itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.
Menurut al-Hallaj[27],
manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ke-Tuhan-an atau lahut
dan sifat kemanusiaan atau nasut. Begitu juga dengan Tuhan memiliki sifat
ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau Lahut dan sifat insaniyah atau nasut.
Jika seseorang mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan
sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka terjadilah kesatuan manusia dengan
Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini,
berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj
berpendapat, bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy
dari diri-Nya –shurrah min nafsih- dengan segenap sifat dan kebesarannya.
Al-Hallaj mengatakan bahwa
konsepsi lahut dan nasut berdasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah
ayat 34 :
øÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î) 4n1r& uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
Artinya: “Dan (Ingatlah)
ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka
sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.”
Menurut pemahamannya,
adanya perintah Allah agar Malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah
telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus di sembah sebagaimana
menyembah Allah.
Ungkapan al-Halaj tersebut
dapat dipahami bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau
sirna, bersifat figuratif, tidak riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis
dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan
citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam
citra-Nya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan
secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-Haqq yang meluncur dari lidah
al-Hallaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataaan bahwa dirinya adalah
Tuhan.[28]
[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), Cet. III, hlm. 63
[3]
Asmaran As, Pengantar Studi
Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. II, hlm. 101-102
[5]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2011), cet ke-10, hlm. 231
[7]
Prof. H.A. Rivay
Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 146-147
[8]
Ibid, 147
[9]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., op.cit.
hlm. 232
[10]
Ibid, 232-233
[11]
Harun nasution, falsafah dan
Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet ke-3, hlm. 81
[12]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., op.cit,
hlm. 234
[14]
Ibid, 150-151
[15]
Drs. Moh. Saifulloh al-Aziz S., risalah
memehami ilmu tashawwuf, (Surabaya: terbit terang, 1998), hlm. 219-221
[16]
Ibid, 222-223
[17]
Ibid, 226
[18]
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid
al-Bustami (w. 874 M), beliau disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham fana dan baqa. Nama kecilnya Thaifur.
[19]
Harun nasution, op.cit. hlm. 82
[20]
Ibid, 85
[22]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.,
op.cit, hlm. 237
[24]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.,
op.cit, hlm. 237
[25]
Ibid, 239, dikutib dari buku
karangan A. Qadir Mahmud, hlm. 337
[26]
Ibid, hlm. 240
[27]
Al-Hajaj adalah tokoh yang
mengembangkan paham al-Hulul. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mnsur al-Hajaj.
Ia lahir tahun 244 H (858 H) di Baidha, salah satu kot kecil di persia.
Nama-nama gurunya adalah Sahl bin Abdullah al-Tustur dinegeri Ahwaz, kemudian
bersama Amr al-Maliki di Basrah, dan di kota Baghdad bersama tokoh sufi juga
yaitu al-Junaid.
Komentar