Sejarah Islam di Indonesia pada tahun 1900 - kemerdekaan



BAB I
PENDAHULUAN
Ulama Indonesia dalam memasuki dekade ketiga abad ke-19 dihadapkan perubahan sistem imprealisme kuno menjadi imprealisme modern. Hal ini sebagai akibat kebangkitn Negara Kesatuan Italia yang berhasil meruntuhkan kekuasaan Negara Gereja Katolik Vatikan pada 1870 M. Peristiwa ini membuka kesempatan untuk kerajaan Protestan Belanda, kerajaan Protestan Anglikan Inggrisa dan Amerika Serikat untuk mendeklarasikan negaranya sebagai pembangunan imprealisme modern dan kapitalisme[1].
Di Nusantara Indonesia, imprealisme modern di tandai dengan diberlakukannya Undang-undang bumi 1870 oleh kerajaan Protestan Belanda dan Pemerintah kolonial Belanda. Inti isinya adalah mengubah fungsi Nusantara Indonesia sebagai tanah jajahan[2].
Pada saat itu (1870 M), tanam paksa (1830-1919 M) sedang mendatangkan keuntungan luar biasa bagi kerajaan Protestan Belanda dan peerintah kolonial Belanda. Keuntungan tanma paksa selain digunakan untuk mengembangkan pembangunan sistem transportasi juga dijadikan sumber pendanaan operasi militernya di uar jawa yang bertujuan untuk melengkapi proses penguasaan seluruh Nusantara Indonesia dijajah Nederland, sering di sebut pula sebagai Pax Neerlandica (Nusantara Indonesia “Damai” di bawah kekuasaan penjajahan nedherland)[3].
Dengan demikian kerajaan Protestan Belanda merasa berhasil dan memenagkan kompetisinya dengan penjajahan barat lainnya. Pertama, dengan kelompok kerajaan imperialis Katolik: portugis, spanyol dan prancis. Kemudian berhasil pula memenagkan terhadap kedua dari negara kelompok imperialis Protestan: Inggris dan Amerika Serikat. Kedua, kelompok imperialis tersebut berupaya pula mengembangkan kekuasaan atas daerah luar pulau jawa[4].
Ternyata upaya penguasaan seluruh Nusantara Indonesia tersebut, oleh ulama dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran adanya musuh bersama (common enemy), yakni penjajahan Protestan Belanda dan kesamaan sejarah (common history), artinya kesadaran tentang realitas penderitaan dirinya sebagai produk penindasan imperialis dan kapitalisme barat[5].
Suatu kesamaan kepentingan ingin membangun Indonesia bebas dari penjajahan politik, kemisikinan dan kebodohan. Gerakan ulama membangkitkan kesaran rasa cinta tanah air, bangsa, dan agama. Kondisi penjajahan dan penindasan tersebut telah melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme[6].
Setelah berakhirnya masa penjajahan belanda di Indonesia kemudian dilanjutkan oleh penjajahan jepang. Walaupun jepang hanya sebentar menjajah tetapi rakyat makin tersiksa.
Dengan di hancurkannya Nagasaki dan Hiroshima maka berakhirlah penjajahan di Indonesia. Namun ada permasalahan mengapa piagam jakarta harus di ganti pada sila pertama tersebut.













BAB II
PEMBAHASAN TENTANG PENJAJAHAN BELANDA
A.      R.A. Kartini Menentang Politik Kristenisasi
Raden Adjeng Kartini pernah menulis surat yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang. Ternyata R.A. Kartini tidak hanya menentang Adat tetapi juga menentang politik kristenisasi dan wasternisasi. Dari surat-surat R.A. Kartini terbaca tentang nilai Islam di mata rakyat terjajah itu. Islam sebagai lambang martabat peradaban bangsa Indonesia. Sebaliknya, Kristen diilai merendahkan derajat bangsa karena para gerejawannya memihak kepada politik imperialisme dan kapitalisme[7].
Sikap R.A Kartini yang istiqamah tersebut setelah memperoleh dan membaca tafsir al-Qur’an. Rasa kekagumannya terhadap nilai ajaran al-Qur’an dituturkan kepada E.C. Abendanon: “alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tidak melihat, tidak tahu,  bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami”, 15 Agustus 1902. R.A. Kartini menilai al-Qur’an sebagai gunung kekayaan yang telah lama ada di sampingnya. Akibat pendidikan Barat, al-Qur’an menjadi terlupakan. Namun, setelah tafsir al-Qur’an dibacanya, Kartini melihat al-Qur’an sebagai gunung keagungan hakikat kehidupan[8].
R.A. Kartini tidak hanya ingin memahami sendiri tetapi berjuang memelopori mencerdaskan anak bangsa. R.A Kartini oleh George Mc Turnan kahin dalam Nationalism and Revolution Indonesia, dinilai sebagai pelopor gerakan kebangkitan nasional dibidang pendidikan, bukan Boedi Oetomo. Jika demikian, apakah sebaiknya hari lahir R.A Kartini dijadikan Hari Pendidikan Nasional? R.A Kartini pejuang yang tidak bersikap etnosentris dan bukan pula pembela bangsawan atau prijaji, seperti R.M.T Adhisoerjo dengan serikat prijajai-nya[9].
Ir. Soekarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi, Di Jilid I, Surat dari Endeh 14 Desember 1936 M, mengingatkan ulama bahwa para ulama kurang feeling-nya terhadap sejarah. Dampak peringatan Boeng Karno yang tidak ditanggapi oleh para ulama, berjalan jauh hingga sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, Jumat Legi, 9 Ramadhan 1365 H. Hal ini terjadi akibat para ulama yang disibukkan oleh masalah fiqhiyah sehingga memberiarkan masalah distorsi penulisan sejarah di sekitarnya yang tak terjawab. Terbiarkan pula teks dalam Diorama Monumen Nasional yang bertentangan dengan realitas sejarah Indonesia[10].
Boeng Karno mengingatkan pula, tentang realitas ulama yang tidak peduli terhadap perlunya studi sejarah. Banyak ulama sangat mengerti tentang tajwid, fiqih, hadits, tetapi kurang pemahamannya tentang sejarah. Kalau belajar tarikh, hanya belajar abu tarikh bukan api sejarahnya. Situasi yang demikian inilah dimanfaatkan pleh pemerintah kolonial Belanda yang mencoba mengubah opini publik rakyat Indonesia, agar tidak berkiblat lagi kepada ajaran ulama dan Islam.
Melalui pemugaran peninggalan dan penulisan sejarah, pemerintah kolonial Belanda mengadakan pemugaran dan penulisan sejarah Hindoe dan Boeddha, dengan mendatangkan para serjana Belanda ke Indonesia. Hal ini untuk mengangkat kisah masa jaya dan keemasan Hindoe dan Boeddha.
Melalui interperestasi sejarah, pemerintah kolonial Belanda mencoba membentuk opini publik bangsa Indonesia agar berpendapat Islam sebagai agama asing dari Arab dan kedatangan Islam merugikan bangsa Indonesia.
Penjajahan Barat berusaha dengan penulisan sejarah Indonesia untuk memadamkan cahaya Islam. Seperti tafsiran tentang bunyi Candrasengkala kalender keruntuhan kerajaan Hindoe Majapahit. Dengan kata lain, bertolak dari bunyi tersebut dijadikan landasan penafsiran, sirna (0) hilang (0), kertaning (4) bumi (1) atau 1400 saka. Penafsirannya menjadi, “ setelah Islam tiba di Nusantara Indonesia, sirna dan hilanglah masa jaya atau kerta ning bumi Nusantara Indonesia”. Padahal, candrasengkala adalah kalender dalam bentuk kalimat. Arti sebenarnya: keruntuhan kerajaan Hindoe Majapahit jatuh pada 1400 saka atau 1478 Masehi. Candrasengkala tersebut menyatakan kepada segenap bangsa Indonesia bahwa setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, akibat kedatangan penjajah Barat Katolik dan Protestan, hilang dan sirnalah kejayaan Nusantara Indonesia[11].
Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga membantu penelitian arkeologi. Karya para pakar arkeologi tersebut secara politis dijadikan dasar pembenaran bahwa bangsa kulit putih adalah manusia beradab. Oleh karena itu, bangsa kulit putih berhak menjadi penjajah bagi negara dan bangsa kulit berwarna[12].

B.       Kehadiran Pakar Belanda
Prof. C. Van Vollenhove dari Universitas Leiden, pakar hukum adat. Dalam upayanya mematahkan pengaruh hukum Islam, pemerintah kolonial Belanda terlebih dahulu memilih mengembangkan hukum adat. Setelah pengaruh hukum Islam melemah, di berlakukanlah Hukum Barat[13].
Pada 1937 Staadblads diberlakukan ini menimbulkan pertentangan dari pihak muslim. Seperti yang dilakukan oleh Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya (PPDP) dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) meminta agar staadblads dicabut karena hukum adat tidak selalui sesuai dengan hukum Islam[14].
Upaya meneliti hukum adat merupakan sebuah pengakuan bahwa pemerintah kolonial Belanda menemui kesukaran menghapuskan pengaruh hukum Islam. Sekalipun telah dijerat dengan Korte Verklaring-short Statement (perjanjian pendek), para Sultan tidak juga mau melepaskan orientasi hukumnya yang selalu merujuk pada hukum Islam[15].
Menurut Lucyan W. Pye dalam Southeast Asia’s Political Systems, menyebutkan bahwa dalam upaya melemahkan pengaruh agama Islam, pemerintah kolonial Belanda mengembangkan aliran kebatinan. Pada masa Orde Baru, istilah aliran ini berubah menjadi aliran kepercayaan[16].
Agama Hindoe dan Boeddha dibicarakan secara luas. Sebaliknya, Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia dituliskan hanya 30 halaman. Tidak pula dibicarakan masalah kekuasaan poitik Islam. Dengan sengaja melihat Islam sebagai agama ritual, di dalamnya tidak terdapat pembicaraan tentang pengaruh ajaran Islam di bidang ekonomi, politik dan budaya[17].
Sebenarnya rakyat tidak ada yang mengerti tulisan pallawa atau huruf pra Nagari dan rakyat juga tidak memahami bahasa sangsekerta. Rakyat pada masa penjajahan mampu membaca al-Qur’an dan Arab Melayu karena huruf pallawa hanya di ajarkan kepada Brahmana dan Bhiksoe[18].
H.O.S Tjokroaminoto mengingatkan bahwa teori evolusi manusia sejalan dengan materialisme Karl Marx. Menolak petunjuk agama tentang hakikat manusia yang berpotensi jasmani dan ruh. Teori evolusi lebih menekankan pada pemahaman manusia dari analisis fisiknya semata. Artinya, teori evolusi manusia bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia di ciptakan awalnya sempurna (QS. 95: 4)[19].
C.      Perubahan Sistem Politik Penjajahan
Dengan di undangkannya UU Bumi 1870, tanah jajahan Nusantara Indonesia difungsikan sebagai sumber bahan mentah dan pasar dari industri negara-negara penjajah barat. Pada masa ini betapa dahsyatnya penderitaan para petani muslim bekerja paksa dalam sistem tanam paksa. Walaupun kemudian istilahnya diubah menjadi kerja merdeka, nasib para petani muslim sama seperti buruh kulit putih eropa[20].
D.      Politik Etis dengan Sistem Pendidikan Imperialisme
Fakta sejarah yang diangkat oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo tersebut memberikan gambaran bahwa peran ulama sebagai pembina pesantren tidak hanya memfungsikan pesantrennya sebgai lembaga pendidikan agama dalam arti sempit, tetapi berperan serta dalam membangun character and national building[21].
Dalam majalah De Gids, 1899 M yang merupakan kritikan dari Mr. Corad Th. Van Deventer yang berjudul De Eereschuld-A Debt of Honor (Uang Kehormatan). Dalam menjawab kritik tersebut maka direncanakan memberlakukan Etische Politiek dengan triloginya: Educatie (pendidikan), Irigatie (irigasi), dan Emigratie (emigrasi). Namun dala pelaksananya , trilogi ini tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mempertahankan penjajahannya. Mereka beranggapan bahwa bila Indonesia Merdeka, segalanya akan hilang (if the Indies are lost, all is lost)[22].

E.       Pecah Belah Melalui Sekolah
Pendidikan penjajah  yang digariskan oleh Snouck Hurgronje bertujuan menumbukan jiwa loyalitas pribumi terhadap penjajah kerajaan protestan belanda dan berupaya agar pribumi muslim tetap terbelakang dan terbelenggu dalam rasa rendah diri. Secara sistematis pendidikan dijadikan media penciptaan stratifikasi sosial yang feodalistis[23].
Politik etis dengan edukasinya adalah sistem pendidikan imperialistis. Tujuannya jelas adalah merendahkan derajat kemusliman generasi muda pribumi. Demikian pula pelaksanaan irigasi bukan kepentingan rakyat tetapi lebih kepaa membangun sistem pengairan untuk melayani kebutuhan perkebunan dan pertambangan dari modal asing[24].
F.       Melumpuhkan Ulama Melalui Politik Etis
Dalam pelaksanaan trilogi ketiga dari politik etis, pemindahan tenaga kerja pun terkait pula dengan upaya memperlemah kedudukan Ulama dan Santri. Sistem pemindahan penduduk dilakukan secara paksa dan disertai Poenale Sanctie (hukuman yang diberikan kepada orang yang melarikan dari daerah kerja paksanya)[25].
G.      Pendangkalan Ajaran Agama dan Perubahan Budaya
Gerakan protes sosial yang dipimpin oleh Hadjie Mohammad Ripangie dan pengawalnya pada tahun 1859 M dibuang ke ambon[26]. Pemerintah menyiasati terjadinya kebangkitan kembali perlawanan para pengikut ulama atau santrinya  dengan cara pemindahan dari desa binaan ulama ke wilayah baru tanpa ulama[27]. Generasi muda dipindahkan ke daerah lain sehingga tidak lagi mampu menguasai bahasa ibunya sehingga kehilangan kemampuan budaya asal orang tuanya[28].
Soewardi Soerjaningrat ditangkap dan dibuang ke Belanda karena melakukan sindiran atas peringatan 100 tahun kemerdekaan Netherland dalam tulisannya Als ik eens een Nederlander was (seandainya aku seorang belanda). Tindakan kontradiksi ini disebabkan karena peringatan ini diselenggarakan dengan biaya yang dipungut dari rakyat Indonesia terjajah[29].
H.      Dari Pasar Awal Kebangkitan Kesadaran Nasional
Karena penjajah Barat menjadikan tanah jajahannya sebagai pasar dan sebagai sumber bahan menth bagi industrinya. Maka ulama menjadikan pasar sebagai arena memasarkan ide kebangkitan nasional. Dengan diawali dengan membangun organisasi Sjarikat Dagang Islam (SDI). Gerakan ini disosialisasikan melalaui buletin Taman Pewarta (1902-1915 M)[30].
Bangkitnya kesadaran nasional Indonesia selain didorong oleh gerakan nasional di Timur Tengah, juga pengaruh keberhasilan militer dan industri di Jepang serta Revolusi Cina. Bangsa-bangsa Asia mulai bangkit berjuang memerdekakan dirinya dari penindasan penjaahan barat[31].
I.         Pengaruh Gerakan Tasawuf
Berbagai gerakan sosial pendidikan, politik, ekonomi, dan tasawuf yang melancarkan perlawanan terhadap penjajahan barat di Asia dan Timur Tengah, menggetarkan semangat para ulama Indonesia untuk membangkitkan kesadaran nasional melawan penjajahan pemerintah kolonial Belanda namun dialihkan pemerintah kolonial Belanda menjadi gerakan berdebat masalah furu’. Dampaknya, terjadilah pertentangan horizontal antar pengikutnya. Mereka sibuk mempertentangkan masalah fikih[32].
Para ulama Indonesia menghentikan untuk sementara perlawanan bersenjata (1900 – 1927 M). Dipilihlah sistem perlawanan dengan cara mengonsolidasikan terlebih dahulu segenap potensi umat Islam, yaitu dengan membangun organisasi niaga, sosial pendidikan, dan politik[33].
J.        Politik Pintu Terbuka, Politik Etis, dan Politik Asosiasi
Kerajaan protestan Belanda memberlakukan Politik Pintu Terbuka. Untuk menjamin pelaksanaan politik tersebut, dibuatlah Oendang-oendang Boemi (1870 M). Dengan dibukanya Nusantara Indonesia untuk modal asing, diberikan pula kesempatan dan jaminan dalam perolehan lahannya[34].
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan upah yang sangat rendah dilakukannya politik Etis dengan triloginya. Irigasi diperlukan untuk pelaksanaan penanaman modal asing di wilayah baru seperti perkebunan dan pertambangan. Adapun kurangnya tenaga buruh, dipenuhi dengan pemindahan penduduk (imigrasi). Politik asosiasi yang bertujuan menciptakan keterbukaan generasi muda Islam kebergantungan kepada budaya barat. Dengan kata lain, menciptakan generasi baru yang tidak lagi memiliki identitas budaya pribumi[35].
K.      Faktor Utama Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia[36]
Dipengaruhi oleh faktor utama berikut ini:
1.         Terbentuknya kesatuan agama bangsa Indonesia.
2.         Islam tidak hanya sebagai agama yang mengajarkan perlunya membangun jamaah. Islam juga sebagai simbol perlawanan terhadap penaah asing barat.
3.         Perkembangan bahasa melayu pasar menjadi bahasa persatuan Indonesia.
Ketiga faktor tersebut, dalam penulisan sejarah Indonesia periode gerakan kebangkitan kesadaran nasional, akibat deislamisasi sistem penulisannya, Islam tidak diakui sebagai pembangkit gerakan nasional.
L.       Boedi Oetomo Pengimbang Djamiat Choir
Berdirinya Boedi Oetomo sebagai kebijakan balance of power dari pemerintahan kolonial Belanda. Organisasi ini didirikan untuk mengimbangi gerakan kebangkitan pendidikan Islam yang dipelopori oleh Djamiat Choir[37].
Boedi Oetomo merupakan pengalihbahasaan dari bahasa arab menjadi bahasa jawa yang sama artinya dengan Djamiat Choir yaitu jamaah yang baik. Namun jika Djamiat Choir lebih mengutamakan amal shaleh menurut ajaran Islam, Boedi Oetomo mengutamakan laku utama menurut ajaran Agama Jawa. Maka, terdapat ketidak sesuaian Boedi Oetomo terhadap agama Islam[38].
Walaupun Boedi Oetomo sudah berusia 20 tahun dan merupakan salah satu anggota Pemoefakatan Perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (P.P.P.K.I) serta terbuka untuk warga negara kelas dua, cina, dan warga negara Eropa atau Belanda. Boedi Oetomo tetap berupaya menegakkan Djawa Raja[39].
M.     Sjarikat Dagang Islam[40]
Kebangkitan Sjarikat Dagang Islam merupakan lambang awal dari suatu keberhasilan gerakan pembaruan sistem organisasi Islam. Hal ini karena suatu pembaruan atau reformasi memerlukan ketangguhan organisasi dan kontuinitas perolehan dana.
Hadji Samanhoedi sebagai haji dan wirausahawan yang mempunyai massa pendukung mulai dari karyawan, masyarakat muslim dan wirausahawan cina (kong sing).
N.      Sarekat Dagang Islamijah Kontra Sjarikat Dagang Islam
Dengan memperhatikan nama-nama pejabat Belanda dan Boepati yang memberikan dukungan, dapatlah dipahami Sarekat Dagang Islamijah di Bogor didirikan sebagai organisasi tandingan terhadap Sjarikat Dagang Islam[41].
Dengan demikian, langkah R.M.T. Adhisoerjo dalam menandingi SDI, ditempuh dengan cara berikut ini[42]:
1.         Membangun kerjasama antar kalangan prijaji, boepati, wanita, dan pedagang cina.
2.         Berusaha memperoleh dukungan dari pejabat Kolonial Belanda: kontrolir dan Asisten Residen.
3.         Berusaha memperoleh perlindungan para Boepati atau Regent serta dananya.
4.         Memperoleh hadiah uang dari Iboe Sri Ratoe Wihelmina untuk Poetri Hindia yang dipimpinnya.
Upaya pemerintah kolonial Belanda dalam mematahkan kerjasama dan pembaharuan SDI dan kong sing, yaitu[43]:
1.         Menumbuhkan perpecahan dengan cara mengondisikan produsen batik agar menemui kesukaran dalam memperoleh bahan materi batik.
2.         Huru-hara anti Cina.
3.         Pemerintah kolonial Belanda melancarkan tuduhan bahwa dalang kerusuhan tersebut adalah SDI dan melakukan schorsing terhadap Sjarikat Dagang Islam dan Sjarikat Islam.
O.      Sjarikat Islam (SI)
Sjarikat Islam didirikan pada tahun 1324 H/ 1906 M di Surakarta yang didirikan atas prakarsa Hadji Samanhoedi namun lebih dikenal saat kepemimpinan Oemar Said Tjokrominoto, Sjarikat Islam didiririkan setelah adanya huru hara Cina dan schorsing dari Residen Surakarta terhadap SDI. Oemar Said Tjokrominoto berjuang membangkitkan kesadaran nasional umat Islam melalui pradigma Lima-K, yaitu: Kemauan, Kekuatan, Kemenangan, Kekuasaan, dan Kemerdekaan. Sjarikat Islam merupakan organisasi politik.  Tuntunan politiknya adalah mendirikan pemerintah sendiri atau Indonesia Merdeka[44].
Kongres SI di Surabaya pada 1331 H/ 1913 M melakukan pembaharuan organisasi SI memiliki Centraal Sjarikat Islam (CSI). CSI menyebutkan istilah Indonesia dengan Hindia Timoer dan Penjajah dengan Hindia Belanda. Kongres SI memutuskan menjadikan tiga kota Surabaya, Yogyakarta dan Bandung[45].
P.       Orang Belanda Marxist Pembangun PKI
H.J.F.M Sneevliet dan kawan-kawannya dari belanda yang berhaluan Marxist yang siap mengoyahkan Sjarikat Islam dari dalam dengan menaggalkan syariah Islam dan menggantikannya dengan ajaran komunisme Karl Marx[46].
H.J.F.M Sneevliet mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereninging (ISDV), setelah pindah ke semarang aktif dalam Vereninging Spoor en Tramweg-Personeel (VSTP) atau sarekat buruh kerata api dan term. Aksi mereka diawali dengan membina pimpinan muda Sjarikat Islam Semarang. Disinalah di bina beberapa orang buruh diantaranya Samaoen, Darsono, Alimin Prawirodirdjodan Tan Malaka menjadi kader ISDV dan VSTP. Ketika Sneevliet ditarik kembali ke Belanda maka Samaoen menggantikannya menjadi ketua ISDV[47].
Karena gagal mengubah ideologi Islam menjadi Marxist. Samaoen dan Darsono mengubah Sjarikat Islam Semarang menjadi Perserikatan Kommunist di India (PKI) pada 23 Mei 1920. Dengan diawali penangkapan Oemar Said Tjokroaminoto dan Andoel Moeis sebagai brain trust SI, tidak mungkin akan berhasil terbentuk PKI dari dalam tubuh SI jika brain trust tidak ditangkap. semua ini skenario dari Pemerintah Kolonial Belanda[48]. Dalam mereaksinya PKI, CSI memelopori pembangunan partai politik, partai Sjarikat Islam (1341 H/ 1923 M)[49].
Q.      Konsolidasi Sjarikat Islam
Sjarikat Islam tidak hanya dipecah belah dari dalam, juga dikacaukan dengan berbagai tuduhan dan fitnah. SI dituduh sebagai provokator rakyat agar memberontak. Gerakan pemogokan buruh berhasil, bukan dari PKI melainkan yang dipimpin oleh Soerjopranoto dari CSI. Realitas SI demikian ini menjadikan Politiek Economische Bond partainya orang-orang belanda swasta yang dibantu oleh Sindikat Gula untuk menyerang sjarikat Islam karena mereka SI melakukan gerakan menentang kapitalis asing dan menolak perluasan lahan tanaman tebu[50].
R.      Persjarikatan Moehammadiyah (PM)
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Isam yang didirikan oleh K.H. Achmad Dahlan dan kawan-kawannya di Yogyakarta pada 18 November 1912 M, bertepatan pada 8 Dzulhijjah 1330 H[51].
K.H. Achmad Dahlan terpanggil hatinya untuk menjawab tantangan kemiskinan struktural masyarakat muslim korban penindasan sistem tanam paksa. K.H. Achmad Dahlan membacakan surah al-maun untuk membangkitkan kesadaran solidaritas umat muslim[52].
Untuk mengaplikasikan dan mengorganisasikan surah al-maun didirikanlah PM, guna memelopori pembangunan panti yatim piatu. Disamping itu, PM juga membangkitkan kesadaran wanita dan membentuk organisasi untuk pembinaan gadis-gadis atas usul Wasilah Hadjid yang diberi nama Siswa Pradja Wanita[53].
Dengan semakin meluasnya pengaruh PM dengan berbagai sekolah yang didirikan maka pemerintah kolonial belanda mencoba menghentikan gerak kemajuannya melalui staad blad yang disebut juga Wide School Ordonantie (W.O.S) atau organisasi sekolah liar.
Ki Hadjar Dewantara memperotes keras ordinisasi yang dinilainya sangat tergesa-gesa pembuatnnya. Jika tidak dicabut maka taman siswa akan melakukan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya walaupun secara diam-diam. Kerjasama PM dengan SI menjadikan SI semakin mendapat tempat di hati umat Islam. Namun, dengan politik pecah belah belanda berhasil mengalihkan umat Islam dari politik menjadi permasalahan furu’ dan khilafiyah[54].
S.        Nahdatoel Oelama (NO)
Nahdatoel Oelama lahir disebabkan kegagalan muktamar khalifah diKairo dan Muktamar al-Islam dunia dan peristiwa pengiriman utusan ke Hijaz dengan tujuan memohon agar Radja Ibu Saud memberikan perkenannya kepada umat Islam non-Wahabi untuk menjalankan ajaran empat mahzab di Mekkah dan Madinah. Nahdatoel Oelama oleh K.H. Hasjim Asj’ari (31 Januari 1926 M), didirikan kelanjutan dari nama gerakan dan sekolah Nahdatoel Wathan (kebangkitan tanah air) pada 1914 M di Surabaya[55].
Dengan politik pecah belah Kolonial Pemerintah Belanda sehingga terjadi perpecahan antara umat Islam karena lebih menyudut kepada aktivitas debat fiqih, masalah furu’ dan khilafiyah yang sangat menguras energi dan dana.
Karena perdebatan ini maka dari itu diadakannya Al-Islam Congres Pertama di Cirebon. Keputusannya, pemberlakuan Disiplin Partai dan perubahan nama Sjarikat Islam menjadi Partai Sjarikat Islam (PSI). Setelah PSI berhasil membenahi konflik ideologi di dalam tubuhnya diadakannya Al-Islam Congres Kedua di Garut. Tapi NO tidak hadir, sebab berkembang berita di Garut didominasi oleh ulama dari PM. Sebenarnya kongres ini juga membicarakan masalah khalifah setelah runtuhnya kesultanan Turki oleh Kemal Pahsa[56].
Apabila disadari bersama bahwa kerendahan pemahaman keberagaman agama umat Islam awam merupakan produk penindasan penjaah, pasti mereka akan bersatu melawan penjajah bukan mengurus perdebatan agama[57].
T.       Pondok Pesantren Modern Gontor
Atas inisiatif tiga putra Kiai Santoso Anom Besari yaitu Ahmad Sahal, Zainoeddin Fanani, dan Imam Zarkasji. Disini diajarkan seluruh mahzab dan ilmu yang dianggap penting dalam pendidikan saat ini. Disinilah timbul kesadaran santri bahwa perbedaan pendapat bukan terletak pada a-Qur’an dan al-Hadits melainkan pada sistem pemahaman dan metode[58].
U.      Persatoen Islam
Persatoean Islam didirikan oleh Hadji Zam-zam dan Hadji Joenoes pada 30 Muharram 1342 H/ 12 september 1923 M. Dibiayai oleh pendiri dan K.H.M. Anang Tojib bin H. Samsudin. Dengan hadirnya Ahmad Hasan yang berasal dari Singapura, Persatoean Islam sejak 1926 M memiliki guru utama yang dapat menyapaikan ajarannya[59].
Persatoean Islam lebih mengutamakan kesatuan pemahaman Islam, berbeda dengan Persatoean Oemat Islam lebih menekankan pada kesatuan umat. Walaupun ada perbedaan, semua organisasi tersebut mimiliki kesadaran yang sama, yaitu berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Hadits[60].
Dari aktivitas dakwahnya, tujuan Persatoean Islam mulai dapat dipahami oleh orang-orang yang mau memahami ajaran Islam di Bandung dan berkembang pesat karena para pendakwah menggunakan bahasa sunda yang mudah dipahami oleh mayoritas masyarakat jawa barat. Melalui bahasa dkwah mereka sugestif, bersifat edukatif, dan tidak provokatif, terbukalah hati dan pikiran audiens dakwahnya. Dan ciri khas dari Persatoean Islam menggunakan bahasa Indonesia dan Sunda dalam khutbah jum’at.[61]
V.      Kebangkitan Jong Islamieten Bond (JIB)
Jong Islamieten Bond yang dipimpin oleh R. Sjamsoeridjal pada tahun 1343 H/ 1925 H setelah melepasan jabatan sebagai ketua Trikoro Dhormo atau Jong Java yang tidak membenarkan adanya acara diskusi tentang Islam serta yang menginduk pada Boedi Oetomo[62]. Untuk memecahkan umat Islam, kini yang menjadi perdebatan yang sangat runcing adalah masalah poligami dan poligini. Tentu hal ini tidak luput dari pemerintah kolonial Belanda.
Kebangkitan JIB dan Jong Islamieten Bond Dames Afedeeling mendorong lahirnya Perhimpoenan Peladjar-peladjar Indonesia (PPPI) pada 1926 M. Di Bandung berdiri pula Jong Indonesia (Pemoeda Indonesia) pada 1927 M. Menurut Ahmaddani G. Martha, dkk. Bahwa PPPI dan Pemoeda Indonesia yang banyak berperan dalam kongres pemoeda II yang melahirkan Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928[63]. Selain itu kongres ini menciptakan dua peranti kemerdekaan. Pertama, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Kedua, sang saka Merah Putih sebagai bendera nasional Indonesia[64]. Sang saka merah putih merupakan Bendera Rasulullah Saw bukan bendera kerajaan Majapahit yang dikemukakan oleh Moh. Yamin.

W.    Organisasi Wanita, Kepanduan dan Pemuda
PSI mendirian organisasi wanita di garut bernama Sjarikat Siti Fatimah sedangkan di Yogyakarta bernama Wanoediji Oetomo. Dan terakhir berubah menjadi Sjarikat Perempuan Indonesia (SPI). Dan banya lagi organisasi wanita lainnya. Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa organisasi wanita Islam buanlah organisasi ekslusif. Mereka dapat bekerjasama dengan organisasi wanita lainnya baik organisasi agama maupun non-agama. Dalam Kongres Periatan Perempoean Indonesia di bandung (1936 M), organisasi wanita Islam masih berperan aktif bersama organisasi wanita lainnya,  melahirkan  keputusan 22 Desember sebagai Hari Ibu[65].
X.      Comite Persatoean Indonesia
Setelah adanya penangkapan dan pembuangan beberapa ulama ke Digul pada 1926 M, upaya untu menyatukan gerak juang kebangkitan kesadaran nasional semain ditingkatkan oleh PSI-H.O.S Tjokroaminoto. Maka dibentuklah Comite Persatoean Indonesia.
Organisasi ini mendapat dukungan dari Sarekat Madoera, Pagoeyoeban Pasoendan, dan Persjriatan Moehammadiyah. Atas inisiatif Partai Sjarikat Islam Indonesia, Dr. Soekirman Wirjosandjojo mengajak Perserikatan Nasional Indonesia (Ir. Soekarna) yang baru berusia lima bulan untuk membangun PPPKI di Yogyakarta (1927 M) dan mendapat dukungan keanggotaan dari beberapa organisasi kedaerahan yang kooperatif. Boedi Oetomo semula bergabung selanjutnya menkonter apa yang diperjuangkan PPPKI. Boedi Oetomo menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, dan Boedi Oetomo membuburkan diri pada 1930 M. Setahun kemudian Dr. Soetomo membangun organisasi baru, Persatoean Bangsa Indonesia. Partai Perhimpoenan Indonesia yang dibangun oleh Dr. Soekirman Wirjosandjojo diubah oleh Dr. Soetomo menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Dr. Soetomo tidak berhasil karena anggotanya hanya sedikit jumlahnya[66].

Y.      Madjlis Oelama Indonesia (MOI)
Demi mencari jalan keluar pertentangan masalah furu’ dan khilafiyah, National Congres Partai Sjarikat Islam Indonesia di Yogyakarta mendirikan Madjlis Oelama Indonesia[67]. MOI bertugas memberikan fatwa dan nasihat seputar masalah keagamaan dan kemasyarakatan sebagai pertimbangan pemerintah dalam menjalankan pembangunan[68]. Keputusan ini selanjutnya direalisasikan dalam rapat nasional yang diselenggaraan di Kediri (1347 H/ 1928 M). Saat itu pula, Partai Sjarikat Islam berubah namanya menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia.
Dr. Soekirman Wirjosandjojo yang menjadikan istilah Indonesia sebagai pengganti nama organisasi-organisasi yang semula menggunakan nama Hindia Timoer, Hindia Belanda, India dan Indische. Peran Perhimpoenan Indonesia di bawah pimpinan Dr. Soekirman Wirjosandjojo di Nederland sangat berpengaruh di Indonesia. Apalagi setelah Dr. Soekirman Wirjosandjojo kembali ke Indonesia[69].
Dalam masa kebangitan nasional, nama bahasa melayu di ubah menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan dari organisasi-organisasi sosial pendidikan dan politik Islam yang dipelopori oleh Dr. Soekirman Wirjosandjojo. Pada saat menjabat sebagai ketua Indische Verenigning nama organisasi ini diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia (1925 M)[70].
Z.       Madjlis Islam A’laa Indonesia (MIAI)
Keretakan internal organisasi yang dipimpin oleh ulama dapat terhindaran karena ordonisasi menjadikan para ulama bersatu dan menghentian debat fiqih. Dan membentuk Madjlis Islam A’laa Indonesia yang bertujuan untuk merapatkan persatuan perhimpunan Islam. Dan mendapat sambutan sambutan dari berbagai organisasi Islam yang bersedia menjadi anggotanya. Terutama sekali setelah terjadinya penghinaan Siti Soemandari terhadap Rasulullah Saw[71].
Kongres MIAI semula menggunakan nama Al-Islam Indonesia Congres atau Congres Moeslimin Indonesia (KAII). Pada kongres ke-3 nama kongres diubah menjadi Kongres Moeslimin Indonesia (KMI), dengan pengertian yang sedang melakukan kongres adalah Muslimnya bukan Islamnnya[72].
Kondisi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia dan kerajaan protestan Belanda dalam pengasingan di london terjepit, sayangnya tidak dimanfaatkan oleh ulama dan pimpinan partai politik Islam untuk melakukan pengambilalihan kekuasaan. Melalui Gaboengan Politik Indonesia (GAPI) dan madjlis rakyat Indonesia (MRI) yang dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosoejoso dari PSII dan MIAI yang terdapat di dalamnya hanya menuntut Indonesia berparlemen[73].
Seorang juru bicara MIAI, Wondoamiseno menyokong tuntutan berparlemen dengan catatan bahwa parlemen itu harus “Berdasar Islam”. MIAI mengatakan bahwa dalam ia menyokong rencana GAPI ia mengharapkan agar kepala negara Indonesia haruslah beragama Islam, dan dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang-orang Islam[74].
Mr. Sartono pemegang inisiatif berdirinya GAPI dan MRI yang berasal dari Parindra. Ini dilakukan karena Parindra dan Gerindo baru berusia dua tahun dan belum banyak dikenal masyarakat luas. Oleh karean itu kepemimpinan GAPI diserahan kepada Abiokoesno Tjokrosoejoso dari PSII yang mempunyai kader yang banyak. Strategi tersebut membuat GAPI berhasil menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia pertama 23-25 Desember 1939 M di Gang Kenari, Jakarta. Abiokoesno sangat dikenal rakyat dan membuat kongres berani memutuskan menuntut Indonesia Berparlemen[75].
Sampai menjelang pecahnya Perang Dunia II (1939 M), perjuangan ulama menegakkan kembali kedaulatan bangsa dan negara Indonesia dihadang lawan dari organisasi kebatinan atau agama non-Islam dan partai-partai yang bekerjasama dengan penjajah[76].
Mr. Sartono (Gerindo) tanpa sepengetahuan Dewan Pimpinan MRI mengangkat dirinya sebagai ketua, Soekardjo Wirjopranoto (Parindra) sebagai sekretaris, dan Atik Soeardi (Pegoeyoeban Pasoendan) sebagai bendahara. Kemudian pada 13 Desember 1941 mengeluaran surat selebaran atas nama MRI, agar rakyat tetap setia kepada pemerintah kolonial Belanda dan kerajaan Protestan Belanda. Atas tindakan Mr. Sartono PSII, PII, MIAI keluar dari GAPI dan MRI[77].
Semua ini dilakukan untuk menjalin keeratan kerjasama antara Mr. Sartono (Gerindo) dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini tidaklah dapat menyelamatkan Pemerintah Kolonial Belanda dari serangan balatentara Djepang[78].
Jepang menyerang Belanda bukan untuk menolong Indonesia melainkan karena ingin menguasai sumber minyak. Jepang mendarat di Jawa pada 1 Maret 1942. Bandung sebagai pusat pertahanan Belanda dibombardir Jepang. Hindia Belanda menyerah tanpa syarat[79].
Dengan keberhasilan balatentara Djepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Immamura, menyeret Jenderal  Ter Porten dan Goebernoer Djenderal Tjarda, ke meja Kapitulasi Kalijati Subang pada 8 Maret 1942. Jepang sebagai kulit berwarna ternyata mampu mengalahkan Belanda bangsa kulit putih.









BAB III
PEMBAHASAN PENJAJAHAN JEPANG DI INDONESIA
A.      Latar Belakang  Penjajahan Jepang di Indonesia
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang[80].
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Jepang menyerang dan menduduki Hindia-Belanda bertujuan untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama[81].
B.       Organisasi yang diprakarsai oleh Jepang
1.         Pembela Tanah Air (Peta)
2.         Gakukotai (laskar pelajar)
3.         Heiho (barisan cadangan prajurit)
4.         Seinendan (barisan pemuda)
5.         Fujinkai (barisan wanita)
6.         Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
7.         Jawa Hokokai
8.         Keibodan (barisan pembantu polisi)
9.         Jibakutai (pasukan berani mati)
10.     Kempetai (barisan polisi rahasia)
Disamping organisasi yang diprakarsai jepang tersebut dari golongan nasionalis dibentuk lembaga-lembaga baru, seperti Gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon pemimipin Asia) yang hanya berumur beberapa bulan seja mei 1942 dan Poesat Tenaga Rajat (Poetera) yang didirikan bulan maret 1943. Usaha pengembangan peotera baru dimulai pada bulan april 1943. Sebagai pemimpin tertingginya adalah Soekarna yang dibantu oleh Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Mereka dikenal sebagai empat serangkai pemimpin bangsa. Dari empat serangkai itu, tercermin bahwa tokoh nasionalis sekuler lebih dominan dalam gerakan kebangsaan dari pada golongan Islam[82].
Jepang ingin menghilangkan kebangsaan Indonesia menjadi Nippon. Untuk mempercepat usaha itu segala cara ditempuh, yaitu dengan cara-cara sebagai berikut[83]:
1.         Membersihkan kebudayaan Barat, kebudayaan Islam diganti dengan kebudayaan Jepang;
2.         Mengubah sistem pendidikan;
3.         Membentuk barisan pemuda;
4.         Memobilisasi pemimpin Islam;
5.         Membentuk organisasi baru seperti shumubu (depertemen agama buatan Jepang) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (masyumi) yang menggantikan MIAI yang tidak disukai Jepang.
Tindakan Jepang yang kejam ternyata ada segi postifnya. Tindakan-tindakan yang bernilai positif itu antara lain sebagai berikut[84]:
1.         Mendamaikan antara kaum maju (pembaru) dengan kaum bertahan (tradisionalis);
2.         Memberikan kesempatan kepada ulama untuk mengalami pendidikan politik dengan menjadi pemimpin suatu organisasi besar yang menyeluruh yang didukung oleh berbagai aliran;
3.         Memberi kesempatan kepada ulama untuk menjadi administratur;
4.         Mempersatuan sistem pendidikan;
5.         Memberikan latihan dan keterampilan kepada pemuda-pemuda serta mempersiapkan diri menjadi kader-kader bangsa;
6.         Mempersatukan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional;
7.         Membentuk organisasi Masyumi, juga Hisbullah yang menjadi salah satu cikal bakal TNI;
8.         Mendirikan sekolah tinggi Islam.
C.      Perlawanan rakyat terhadap Jepang
1.         Peristiwa Cot Plieng, Aceh 10 November 1942. Pemberontakan dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot Plieng, Lhokseumawe. Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang shalat[85].
2.         Peristiwa Singaparna. Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Beliau menolak dengan tegas ajaran yang berbau Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu beliaupun tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat tanam paksa. Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para santrinya yang telah dibekali ilmu beladiri untuk mengepung dan mengeroyok tentara Jepang, yang akhirnya mundur ke Tasikmalaya. Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya untuk mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat Jumat. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan, namun KH. Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol[86].
3.         Peristiwa Indramayu, April 1944. Peristiwa Indramayu terjadi bulan April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja rodi/kerja paksa/Romusha yang telah mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan. Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyan dan kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang, Kabupaten Indramayu. Pasukan Jepang sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di kedua wilayah (Lohbener dan Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak setelah mengetahi kekejaman yang dilakukan pada setiap pemberontakan. Pemberontakan Teuku Hamid. Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun, bersama dengan satu pleton pasukannya melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan. Ini terjadi pada bulan November 1944. Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang melakukan ancaman akan membunuh para keluarga pemberontak jika tidak mau menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak menyerah, sehingga akhirnya dapat ditumpas. Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya perlawanan rakyat seperti di Kabupaten Berenaih yang dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira tentara sukarela), namun semua berakhir dengan kondisi yang sama yakni berhasil ditumpas oleh kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam[87].
4.         Pemberontakan Peta.
a.         Perlawanan PETA di Blitar (29 Februari 1945). Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.
b.        Perlawanan PETA di Meureudu-Pidie, Aceh (November 1944). Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun Teuku Hamid. Latar belakang perlawanan ini karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya.
c.         Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945). Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu (Bundanco), Kusaeri bersama rekan-rekannya. Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu[88].
5.        Perlawanan Pang Suma. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan Selatan. Pang Suma adalah pemimpin suku Dayak yang besar pengaruhnya di kalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan. Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma[89].
6.        Perlawanan Koreri di Biakdi Irian Barat tahun 1943. Perlawanan ini dipimpin oleh L. Rumkorem, pimpinan Gerakan Koreri yang berpusat di Biak. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sebagai budak belian, dipukuli, dan dianiaya. Dalam perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh korban, tetapi rakyat melawan dengan gigih. Akhirnya Jepang meninggalkan Pulau Biak[90].
7.        Perlawanan di Pulau Yapen Selatan. Perlawanan ini dipimpin oleh Nimrod. Ketika Sekutu sudah mendekat maka memberi bantuan senjata kepada pejuang sehingga perlawanan semakin seru. Nimrod dihukum pancung oleh Jepang untuk menakut-nakuti rakyat. Tetapi rakyat tidak takut dan muncullah seorang pemimpin gerilya yakni S. Papare[91].
8.        Perlawanan di Tanah Besar Papua. Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Dalam perlawanan rakyat di Papua, terjadi hubungan kerja sama antara gerilyawan dengan pasukan penyusup Sekutu sehingga rakyat mendapatkan modal senjata dari Sekutu[92].
9.        Gerakan bawah tanah. Sebenarnya bentuk perlawanan terhadap pemerintah Jepang yang dilakukan rakyat Indonesia tidak hanya terbatas pada bentuk perlawanan fisik saja tetapi Anda dapat pula melihat betnuk perlawanan lain/gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh:
a.         Kelompok Sutan Syahrir di daerah Jakarta dan Jawa Barat dengan cara menyamar sebagai pedagang nanas di Sindanglaya.
b.         Kelompok Sukarni, Adam Malik dan Pandu Wiguna. Mereka berhasil menyusup sebagai pegawai kantor pusat propaganda Jepang Sendenbu (sekarang kantor berita Antara).
c.         Kelompok Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah kelompok mahasiswa dan pelajar.
d.        Kelompok Mr. Achmad Subardjo, Sudiro dan Wikana. Mereka adalah kelompok gerakan Kaigun (AL) Jepang.
Mereka yang tergabung dalam kelompok di bawah tanah, berusaha untuk mencari informasi dan peluang untuk bisa melihat kelemahan pasukan militer Jepang dan usaha mereka akan dapat Anda lihat hasilnya pada saat Jepang telah kalah dari Sekutu, kelompok pemudalah yang lebih cepat dapat informasi tersebut serta merekalah yang akhirnya mendesak golongan tua untuk secepatnya melakukn proklamasi. Demikianlah gambaran tentang aktifitas pergerakan Nasional yang dilakukan oleh kelompok organisasi maupun gerakan sosial pada masa pemerintah pendudukan Jepang, tentu Anda dapat memahami sebab-sebab kegagalan dan mengapa para tokoh pergerakan lebih memilih sikap kooperatif menghadapi pemerintahan militer Jepang yang sangat ganas/kejam[93].
D.      Periode Menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia[94]
1.         Pada 6 Agustus 1945, 2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
2.         7 Agustus - BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
3.         Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
4.         Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio pada tanggal 10 Agustus 1945, bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air pada tanggal 14 Agustus 1945, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.
5.         15 Agustus - Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda.
6.         Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 mereka menculik Soekarno dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto dan bermalam di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.
7.         Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumbahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.
Tentara Pembela Tanah Air, kelompok muda radikal, dan rakyat Jakarta mengorganisasi pertahanan di kediaman Soekarno. Selebaran kemudian dibagi-bagikan berisi tentang pengumuman proklamasi kemerdekaan. Adam Malik juga mengirim pesan singkat pengumuman Proklamasi ke luar negeri.
E.       Pasca-Kemerdekaan[95]
18 Agustus - PPKI membentuk sebuah pemerintahan sementara dengan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Piagam Jakarta yang memasukkan kata "Islam" di dalam sila Pancasila, dihilangkan dari mukadimah konstitusi yang baru. Republik Indonesia yang baru lahir ini terdiri 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
Pada 22 Agustus Jepang mengumumkan mereka menyerah di depan umum di Jakarta. Jepang melucuti senjata mereka dan membubarkan PETA Dan Heiho. Banyak anggota kelompok ini yang belum mendengar tentang kemerdekaan.
23 Agustus - Soekarno mengirimkan pesan radio pertama ke seluruh negeri Indonesia. Badan Keamanan Rakyat, angkatan bersenjata Indonesia yang pertama mulai dibentuk dari bekas anggota PETA dan Heiho. Beberapa hari sebelumnya, beberapa batalion PETA telah diberitahu untuk membubarkan diri.
29 Agustus - Rancangan konstitusi bentukan PPKI yang telah diumumkan pada 18 Agustus, ditetapkan sebagai UUD 45. Soekarno dan Hatta secara resmi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. PPKI kemudian berubah nama menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). KNIP ini adalah lembaga sementara yang bertugas sampai pemilu dilaksanakan. Pemerintahan Republik Indonesia yang baru, Kabinet Presidensial, mulai bertugas pada 31 Agustus.

F.       Piagam Jakarta
Pada tanggal tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito, pemerintah Jepang saat itu membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) Badan ini dibentuk sebagai upaya pelaksanaan janji Jepang mengenai kemerdekaan Indonesia. Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh R.P.Soeroso, dengan wakil Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda (orang Jepang). Sampai akhir rapat pertama, masih belum ditemukan kesepakatan untuk perumusan dasar negara, sehingga akhirnya dibentuklah panitia kecil untuk menggodok berbagai masukan. Panitia kecil beranggotakan 9 orang dan dikenal pula sebagai Panitia Sembilan dengan susunan sebagai berikut[96]:
Lima orang mewakili golongan nasionalis “sekuler” yaitu Ir. Soekarno (ketua), Drs. Moh. Hatta (wakil ketua), Mr. Muhammad Yamin (anggota), Mr. A.A. Maramis (anggota), Mr. Achmad Soebardjo (anggota). Dan empat orang lainnya mewakili Islam yaitu Abdul Kahar Muzakir (anggota), K.H. Wachid Hasyim (anggota), H. Agus Salim (anggota), Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)[97].
Setelah melakukan kompromi tersebut pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan. Pertama, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia. Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[98].
Seperti diketahui, selama ini cerita seputar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta – yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” – didominasi oleh cerita versi Bung Hatta tentang kedatangan opsir Kaigun yang mengaku membawa mandat kaum Nasrani dari Indonesia Timur yang intinya adalah bahwa Indonesia timur akan berada di luar Republik jika sila pertama dalam Piagam Jakarta tidak diubah[99].
Menurut Universitas Indonesia Press yang menerbitkan satu buku berjudul “Lahirnya Satu Bangsa dan Negara”, yang diberi kata sambutan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Dalam buku ini, para pelaku peristiwa seputar kemerdekaan, menuturkan cerita yang berbeda dengan versi Hatta. Menurut mereka, ada tiga orang mahasiswa yang datang ke Bung Hatta menjelaskan masalah Piagam Jakarta, yaitu Piet Mamahit, Moeljo, dan Imam Slamet (Tan Tjeng Bok). Wajah Imam Slamet seperti orang Cina, badannya pendek, jadi mirip orang Jepang[100].
Dan bagi sebagian kalangan, pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta adalah sebuah pengkhianatan. Dan salah seorang yang turut mendorong pencoretan 7 kata itupun menyesal ikut serta upaya dalam pencoretan itu “ Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu”[101].
Perjuangan ulama dan para pemuka politik Islam dihadapkan kenyataan sejarah, bahwa Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai – Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan, pada 17 Djuli 1945, menutup sidang kedua, selesailah dan diterima dengan sebulat-bulatnya: Pemboekaan dan Oendang-Oendang Dasar Repoeblik Indonesia[102].


[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2009), h. 276
[2] Ibid.
[3] Ibid, h. 277
[4] ibid
[5] Ibid.
[6] Ibid, h. 278
[7] Ibid, h. 281
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid, h. 282
[11] Ibid, h. 283
[12] Ibid.
[13] Ibid, h. 285
[14] Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), h. 229
[15] Ahmad Mansur Suryanegara, op.cit. h. 285
[16] Ibid, h. 286
[17] Ibid, h. 289
[18] Ibid, h. 290
[19] Ibid, h. 296
[20] Ibid, h. 301
[21] Ibid, h. 302
[22] Ibid.
[23] Ibid, h. 305
[24] Ibid, h. 307
[25] Ibid, h. 308
[26] Ibid, h. 309
[27] Ibid, h. 311
[28] Ibid.
[29] Ibid, h. 313
[30] Ibid, h. 314
[31] Ibid, h. 316
[32] Ibid, h. 326
[33] Ibid.
[34] Ibid, h. 327
[35] Ibid.
[36] Ibid, h. 335
[37] Ibid, h. 344
[38] Ibid, h. 346
[39] Ibid, h. 497
[40] Ibid, h. 350
[41] Ibid, h. 354
[42] Ibid.
[43] Ibid, h. 359
[44] Ibid.
[45] Ibid, 376
[46] Ibid, h. 402
[47] Ibid, h. 404
[48] Ibid, h. 410
[49] Ibid, h. 446
[50] Ibid, h. 407
[51] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010),cet ke-2, h. 423
[52] Ahmad Mansur Suryanegara, op.cit. h. 425
[53] Ibid, h. 427
[54] Ibid, h. 441
[55] Ibid, h. 445
[56] Ibid, h. 450
[57] Ibid, h. 460
[58] Ibid, h. 461
[59] Ibid, h. 468
[60] Ibid, h. 473
[61] Ibid, h. 480              
[62] Ibid, h. 492
[63] Ibid, h. 503
[64] Ibid, h. 510
[65] Ibid, h. 495
[66] Ibid, h. 521
[67] Ibid, h. 499
[68] Syamsul Munir Amin, op.cit, h. 428
[69] Ahmad Mansur Suryanegara, op.cit. h. 500
[70] Ibid, h. 501
[71] Ibid, h. 540
[72] Ibid, h. 544
[73] Ibid, h. 546
[74] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (kisah dan analisis perkembangan politik Indonesia 1945-1965), (Bandung: Mizan. 2000), cet ke-2, h. 21
[75] Ahmad Mansur Suryanegara, op.cit. h. 551
[76] Ibid, h. 548
[77] Ibid, h. 554
[78] Ibid, h. 556
[79] Musyrifah Susanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet ke-4, h. 34
[81] ibid
[82] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 264
[83] Musyrifah Susanto, op.cit, h. 36
[84] Ibid, h. 44
[86] Ibid.
[87] Ibid.
[88] Ibid.
[89] Ibid.
[90] Ibid.
[91] Ibid.
[92] Ibid.
[93] Ibid.
[94] Ibid.
[95] Ibid.
[97] Badri Yatim, op.cit, h. 264
[99] Ibid.
[100] Ibid.
[101] Ibid.
[102] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, (Bandung: Salamadani, 2012), cet ke-4, h. 138

Komentar