PANDUAN PRAKTIS MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT PERHIASAN
Perhiasan yang biasa digunakan oleh para wanita itu beraneka ragam bentuk
dan sifatnya. Jika perhiasan tersebut terbuat dari permata, zamrud dan mutiara,
selain emas dan perak, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama
bahwa itu semua tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali kalau itu dijadikan
barang perdagangan, maka wajib dizakati dengan zakat perdagangan.[1]
Lalu dengan perhiasan wanita yang terbuat dari emas dan perak, apakah wajib
dikeluarkan zakatnya ataukah tidak ?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di antara para Ulama menjadi
beberapa pendapat.
Pendapat Pertama : Mengatakan bahwa tidak ada kewajiban zakat pada
perhiasan emas dan perak yang biasa dipakai oleh kaum wanita. Ini adalah
pendapat mayoritas Ulama.[2]
Pendapat Kedua : Mengatakan bahwa perhiasan emas dan perak wajib
dikeluarkan zakatnya secara mutlak, jika telah mencapai nishab dan telah
berlalu satu tahun, baik dipakai, disimpan maupun dipersiapkan untuk
perdagangan.[3]
Pendapat Ketiga : Mengatakan bahwa wajib dizakati sekali saja untuk
selamanya, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu.
Pendapat Keempat : Ada yang berpendapat bahwa zakat perhiasan emas adalah
dengan cara meminjamkannya kepada orang lain. Demikian riwayat dari Asma`
Radhiyallahu anhuma dan juga Anas Radhiyallahu anhu.[4]
Inilah beberapa pandangan para Ulama tentang zakat perhiasan, namun
pendapat terpopuler di kalangan para Ulama dan diperkuat dengan dalil-dalil
syar’i adalah dua pendapat pertama. Berikut perinciannya.
PENDAPAT PERTAMA
Yaitu tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak yang biasa dipakai oleh kaum wanita. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.
Yaitu tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak yang biasa dipakai oleh kaum wanita. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.
Untuk memperkuat pendapat ini, mereka melandasinya dengan beberapa hujjah
(argumentasi) dari hadits, atsar (perkataan) para sahabat dan qiyas.
1. Dalil Dari Hadits:
لَيْسَ فِى الْحُلِىِّ زَكَاةٌ
Tidak ada zakat pada perhiasan.
Namun riwayat ini mauquf dari perkataan Jabir bin Abdullâh Radhiyallahu
anhu.[5]
2. Dalil Dari Atsar Para Sahabat Radhiyallahu Anhum :
• Diriwayatkan dari Nâfi’ rahimahullah, bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma memakaikan perhiasan emas kepada anak-anak perempuan dan budak-budak wanitanya, kemudian beliau Radhiyallahu anhuma tidak mengeluarkan zakatnya.[6]
• Diriwayatkan dari Nâfi’ rahimahullah, bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma memakaikan perhiasan emas kepada anak-anak perempuan dan budak-budak wanitanya, kemudian beliau Radhiyallahu anhuma tidak mengeluarkan zakatnya.[6]
• Perkataan Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma, “Tidak ada kewajiban
zakat pada perhiasan.”[7]
• Perkataan Jâbir bin Abdullâh Radhiyallahu anhuma, ketika ditanya tentang
perhiasan, apakah ada zakatnya ? Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Tidak
ada.” Beliau Radhiyallahu anhu ditanya lagi, “Meskipun harganya mencapai seribu
dinar ?” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Walaupun banyak.”[8] Dalam riwayat
lain disebutkan, “(Perhiasan itu) kadang dipinjamkan dan kadang dipakai.”
• Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia memakaikan
perhiasan pada anak perempuan saudaranya (keponakannya) yang yatim, yang berada
dalam pengasuhannya, dan ia tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan mereka.[9]
• Diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma, bahwa ia
tidak mengeluarkan zakat perhiasannya.”[10]
3. Dalil Qiyas
Menurut mereka, bahwa zakat hanya diwajibkan pada harta yang bisa berkembang. Adapun perhiasan mubah yang tidak bisa berkembang, maka hukumnya seperti pakaian yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya meskipun pakaian tersebut mahal harganya. Hal ini berbeda kalau emas tersebut memang untuk di simpan, atau dipersiapkan untuk perniagaan, maka ada zakatnya.
Menurut mereka, bahwa zakat hanya diwajibkan pada harta yang bisa berkembang. Adapun perhiasan mubah yang tidak bisa berkembang, maka hukumnya seperti pakaian yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya meskipun pakaian tersebut mahal harganya. Hal ini berbeda kalau emas tersebut memang untuk di simpan, atau dipersiapkan untuk perniagaan, maka ada zakatnya.
PENDAPAT KEDUA
Perhiasan emas dan perak wajib dikeluarkan zakatnya secara mutlak, jika telah mencapai nishabnya dan telah berlalu satu tahun, baik dipakai, disimpan maupun dipersiapkan untuk perdagangan.
Perhiasan emas dan perak wajib dikeluarkan zakatnya secara mutlak, jika telah mencapai nishabnya dan telah berlalu satu tahun, baik dipakai, disimpan maupun dipersiapkan untuk perdagangan.
Untuk memperkuat pendapatnya ini, mereka melandasinya dengan beberapa
dalil, di antaranya :
1. Keumuman dalil-dalil al-Qur’ân tentang zakat emas dan perak, seperti firman
Allâh Azza wa Jalla :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ﴿٣٤﴾يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا
فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ
هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di
jalan Allah, maka beritahukanlah kepaa mereka (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam ,
lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
[At-Taubah/9:34-35]
2. Hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum
tentang zakat emas dan perak, seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ
عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ
Tidaklah seorang pemilik emas dan perak lalu tidak menunaikan kewajibannya,
kecuali nanti pada hari kiamat akan di jadikan lempengan dari api neraka lalu
di panaskan dan di setrikakan kepada lambung, dahi dan punggung mereka.[11]
3. Hadits-hadits khusus tentang zakat perhiasan dan ancaman bagi yang tidak
mengeluarkannya. Di antaranya :
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي
يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ
زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا
فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا
لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasannya ada seorang
wanita yang datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama
putrinya, sedangkan ditangan putrinya terdapat dua gelang besar yang terbuat
dari emas. Lalu Rasûlullâh bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah
mengeluarkan zakat ini ?” Dia menjawab, “Belum.” Maka Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau mau bila Allâh Azza wa Jalla akan
memakaikan kepadamu pada hari kiamat dengan dua gelang dari api neraka?” Wanita
itupun melepas keduanya dan memberikannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam seraya berkata, “Keduanya untuk Allâh dan Rasul-Nya.”[12]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ أَنَّهُ قَالَ دَخَلْنَا
عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَتْ
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَرَأَى فِي
يَدَيَّ فَتَخَاتٍ مِنْ وَرِقٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ فَقُلْتُ
صَنَعْتُهُنَّ أَتَزَيَّنُ لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَتُؤَدِّينَ
زَكَاتَهُنَّ قُلْتُ لَا أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ قَالَ هُوَ حَسْبُكِ مِنَ
النَّارِ
Diriwayatkan dari Abdullah bin Syadad bin Hadi, ia berkata, “Kami masuk
menemui Aisyah istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia
berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku lalu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat di tanganku ada beberapa cincin dari
perak, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa itu, wahai Aisyah
?” Maka aku jawab, “Aku memakainya untuk berhias diri di depanmu, wahai
Rasûlullâh !” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah
sudah engkau keluarkan zakatnya ?” Aku jawab, “Belum” Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah itu untuk memasukkanmu ke dalam api
neraka.”[13]
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ دَخَلْتُ أَنَا وَخَالَتِي عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَعَلَيْهَا أَسْوِرَةٌ مِنْ ذَهَبٍ
فَقَالَ لَنَا أَتُعْطِيَانِ زَكَاتَهُ قَالَتْ فَقُلْنَا لَا قَالَ أَمَا
تَخَافَانِ أَنْ يُسَوِّرَكُمَا اللَّهُ أَسْوِرَةً مِنْ نَارٍ أَدِّيَا زَكَاتَهُ
Diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Saya
masuk bersama bibiku menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat
itu bibiku memakai beberapa gelang terbuat dari emas. Lalu Rasûlullâh bertanya
kepada kami, ‘Apakah kalian berdua sudah mengeluarkan zakatnya?’ Kami menjawab,
‘Tidak.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah kalian
takut kalau bila Allâh akan memakaikan kepada kalian gelang-gelang dari api
neraka, tunaikanlah zakatnya!”[14]
4. Atsar-atsar yang diriwayatkan dari sebagian sahabat, di antaranya :
• Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, bahwasanya ada seorang wanita yang bertanya kepada beliau Radhiyallahu anhu tentang zakat perhiasan, maka beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Jika telah mencapai 200 (dua ratus) dirham maka keluarkanlah zakatnya.” Wanita itu bertanya lagi, “Sesungguhnya di rumahku ada beberapa anak yatim (dalam pengasuhanku), apakah aku boleh memberikan zakatnya kepada mereka?” Beliau menjawab, “Boleh.”[15]
• Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, bahwasanya ada seorang wanita yang bertanya kepada beliau Radhiyallahu anhu tentang zakat perhiasan, maka beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Jika telah mencapai 200 (dua ratus) dirham maka keluarkanlah zakatnya.” Wanita itu bertanya lagi, “Sesungguhnya di rumahku ada beberapa anak yatim (dalam pengasuhanku), apakah aku boleh memberikan zakatnya kepada mereka?” Beliau menjawab, “Boleh.”[15]
• Dari Abdulllah bin Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwasannya beliau
menulis surat kepada bendaharanya, Salim agar mengeluarkan zakat perhiasan
putri-putrinya setiap tahun.[16]
• Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, ia menulis surat kepada Abu
Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu , yang isinya: “Perintahkan rakyatmu dari
kalangan kaum wanita agar mengeluarkan sedekah dari perhiasan-perhiasan mereka,
(dalam riwayat lain: Agar mengeluarkan zakat perhiasan). Janganlah mereka
menjadikan hadiah dan kelebihan sebagai pertentangan di antara mereka.”[17]
• Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Tidak mengapa memakai
perhiasan, asalkan dikeluarkan zakatnya.”[18]
• Pendapat tentang wajibnya zakat perhiasan juga diriwayatkan dari sejumlah
Ulama tabi’in, diantaranya : atsar dari Sa’id bin Musayyib, Sa’id bin Jubair,
Ibrahim An Nakha’i, Atha’ bin Abi Rabah, Zuhri, Abdullah bin Syadad, Sufyan
ats-Tsauri dan selainnya.[19]
PENDAPAT YANG RAJIH
Setelah memaparkan berbagai pendapat para Ulama beserta dalil-dalilnya, maka pendapat yang nampak rajih menurut kami adalah pendapat kedua yang menyatakan bahwa hukum mengeluarkan zakat perhiasan emas dan perak adalah wajib jika telah mencapai nishab dan genap berlalu satu tahun. Karena lebih kuat dalilnya dan lebih selamat untuk diamalkan serta dapat membebaskan seseorang dari perselisihan. Wallahu a’lam bish-shawab. Alasan lain yang menjadikan pendapat kedua ini lebih rajih ialah karena beberapa hal berikut:
Setelah memaparkan berbagai pendapat para Ulama beserta dalil-dalilnya, maka pendapat yang nampak rajih menurut kami adalah pendapat kedua yang menyatakan bahwa hukum mengeluarkan zakat perhiasan emas dan perak adalah wajib jika telah mencapai nishab dan genap berlalu satu tahun. Karena lebih kuat dalilnya dan lebih selamat untuk diamalkan serta dapat membebaskan seseorang dari perselisihan. Wallahu a’lam bish-shawab. Alasan lain yang menjadikan pendapat kedua ini lebih rajih ialah karena beberapa hal berikut:
1. Keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat emas dan perak, dan perhiasan
juga terbuat dari emas dan perak. Dan di dalam ilmu ushul fiqih ditetapkan
bahwa sebuah lafadz umum harus dibawa pada maknanya umum sampai ada dalil yang
mengkhususkan. Dan ternyata tiada dalil dari al-Quran maupun hadits shahih yang
mengkhususkan kewajiban mengeluarkan zakat emas dan perak. Adapun hadits yang
dijadikan hujjah bagi pendapat pertama derajatnya dha’if (lemah). Demikian juga
atsar atau perkataan para sahabat tidak bisa dijadikan sebagai pengkhusus bagi
keumuman makna al-Qur’ân dan as-Sunnah.
2. Adanya dalil-dalil khusus yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang kewajiban mengeluarkan zakat perhiasan emas dan perak.
3. Mengeluarkan zakat perhiasan emas dan perak merupakan sikap yang lebih
hati-hati dan lebih selamat dalam menjalankan perintah syariat.
4. Lemahnya dalil-dalil yang dipegangi oleh pendapat pertama yang
menyatakan tidak wajib mengeluarkan zakat perhiasan emas dan perak. Demikian
pula atsar atau perkataan para sahabat tidak bisa dijadikan landasan dalam
beramal karena bertentangan dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah yg shahih, disamping
itu juga bertentangan dengan atsar/perkataan para sahabat lainnya. Wallahu
a’lam bish-shawab.
APAKAH WAJIB DIKELUARKAN ZAKAT PADA PERHIASAN YANG TERBUAT DARI MUTIARA DAN
BATU-BATUAN BERHARGA?
Jawaban dari pertanyaan diatas adalah tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan selain emas dan perak, seperti mutiara, marjan, yaqut dan batu berharga lainnya berdasarkan kesepakatan para Ulama. Karena tidak ada dalil yang mewajibkannya.[20]
Jawaban dari pertanyaan diatas adalah tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan selain emas dan perak, seperti mutiara, marjan, yaqut dan batu berharga lainnya berdasarkan kesepakatan para Ulama. Karena tidak ada dalil yang mewajibkannya.[20]
Akan tetapi jika batu-batu mulia tersebut dipersiapkan untuk
diperdagangkan, maka wajib dikeluarkan zakatnya seperti barang-barang
perdagangan lainnya. Dan ini merupakan pendapat mayoritas Ulama.
NISHAB DAN KADAR ZAKAT PERHIASAN
Nishab Perhiasan emas adalah sama seperti nishab emas, yaitu 20 dinar/mitsqal atau seberat 85 gram emas murni (24 karat). Sedangkan nishab perhiasan perak adalah sama seperti nishab perak, yaitu 200 dirham atau seberat 595 gram perak murni.
Nishab Perhiasan emas adalah sama seperti nishab emas, yaitu 20 dinar/mitsqal atau seberat 85 gram emas murni (24 karat). Sedangkan nishab perhiasan perak adalah sama seperti nishab perak, yaitu 200 dirham atau seberat 595 gram perak murni.
Adapun rincian nishab emas dan perak berdasarkan ukuran modern hasil
penelitian sebagian Ulama seperti syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah dalam kitabnya asy-Syarhul Mumti’ VI/103 adalah sebagai berikut :
1 Dinar = 4,25 gr, 1 Dirham = 2,975 gr.
Berdasarkan data ini, maka nishab emas adalah: 4,25 gr x 20 = 85 gram. Dan nishab perak adalah: 2,975 gr x 200 = 595 gram.
Berdasarkan data ini, maka nishab emas adalah: 4,25 gr x 20 = 85 gram. Dan nishab perak adalah: 2,975 gr x 200 = 595 gram.
Adapun kadar atau persentase zakat yang wajib dikeluarkan dari perhiasan emas
dan perak adalah 2,5% (dua setengah persen). Ketentuan-ketentuan tersebut di
atas telah dijelaskan di dalam hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَلِىٍّ z عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : « فَإِذَا
كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ
دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ – يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ
لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ
عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ »
Dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Jika engkau memiliki 200 dirham dan telah melewati 1 tahun
(haul), maka zakatnya adalah 5 dirham dan engkau setelah itu tidak ada
kewajiban apapun atas 200 dirham tersebut; Sampai engkau memiliki 20 dinar dan
telah melewati masa 1 tahun, maka zakatnya adalah ½ dinar. Adapun kelebihan
dirham atau dinar, maka patokannya adalah seperti tersebut di atas.” [HR. Abu
Daud I/493 no.1573. dan hadits ini di-shahih-kan oleh syaikh al-Albâni]
Dan diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنَ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ ،
Tidak ada kewajiban zakat pada wariq/perak yang kurang dari 5 uqiyah (1
uqiyah berjumlah 40 dirham)”. [HR. Bukhari II/529 no. 1390, dan Muslim II/675
no. 980]
Dan dalam sebuah surat Abu Bakar Radhiyallahu anhu yang ditulisnya kepada
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dinyatakan :
وَفِى الرِّقَةِ رُبْعُ الْعُشْرِ
Dan pada perak, ada kewajiban zakat sebesar 2,5% (dua setengah persen).”
[HR. Bukhari II/527 no. 1386].
CARA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT PERHIASAN
Untuk membayar zakat perhiasan emas dan perak ada dua cara.
Untuk membayar zakat perhiasan emas dan perak ada dua cara.
Cara Pertama : Yaitu dengan membeli perhiasan emas atau perak sebesar atau
seberat zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada orang
yang berhak menerimanya. Cara ini berlaku jika pemilik perhiasan tersebut tidak
mempersiapkannya untuk perniagaan, tetapi hanya untuk dipakai saja.
Cara Kedua : Yaitu dengan membayar zakat perhiasan emas atau perak dengan
uang yang berlaku di negerinya sesuai dengan jumlah harga zakat (perhiasan emas
atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu. Sehingga yang harus dilakukan
terlebih dahulu adalah menanyakan harga beli emas atau perak per gram saat
dikeluarkannya zakat. Jika ternyata telah mencapai nishab dan haul, maka
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (1/40) dari berat perhiasan emas atau perak
yang dimiliki dan disetarakan dalam mata uang di negeri tersebut. Cara ini
berlaku jika pemilik perhiasan telah mempersiapkannya untuk perniagaan.
Sebagai contoh.
Bila harga perhiasan emas murni Rp.550.000,-/gram, dan perhiasan perak murni 8.000,-/gram. Maka cara mengetahui nishab dan kadar zakatnya dalam bentuk emas atau uang (nilainya) adalah sebagai berikut:
Nishab emas = 85 gram x Rp.550.000,-/gram = Rp.46.750.000,-
Nishab perak = 595 gram x Rp.8.000,-/gram = Rp.4.760.000,-
Bila harga perhiasan emas murni Rp.550.000,-/gram, dan perhiasan perak murni 8.000,-/gram. Maka cara mengetahui nishab dan kadar zakatnya dalam bentuk emas atau uang (nilainya) adalah sebagai berikut:
Nishab emas = 85 gram x Rp.550.000,-/gram = Rp.46.750.000,-
Nishab perak = 595 gram x Rp.8.000,-/gram = Rp.4.760.000,-
Contoh 1.
Perhiasan yang dimiliki adalah 100 gram emas murni (24 karat) dan telah berputar selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishab.
Perhiasan yang dimiliki adalah 100 gram emas murni (24 karat) dan telah berputar selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishab.
Zakat yang dikeluarkan (kalau dengan emas) = 2,5 % x 100 gram emas = 2,5
gram emas
Zakat yang dikeluarkan (kalau dengan uang) = 2,5 gram emas x Rp.550.000,-/gram = Rp.1.375.000,-
Zakat yang dikeluarkan (kalau dengan uang) = 2,5 gram emas x Rp.550.000,-/gram = Rp.1.375.000,-
Contoh 2.
Perhiasan yang dimiliki adalah 700 gram perak murni dan telah berputar selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishab.
Perhiasan yang dimiliki adalah 700 gram perak murni dan telah berputar selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishab.
Zakat yang dikeluarkan (dengan perak) = 2,5% x 700 gram perak = 17,5 gram
perak
Zakat yang dikeluarkan (dengan uang) = 17,5 gram perak x Rp.8.000,-/gram perak = Rp.140.000,-
Zakat yang dikeluarkan (dengan uang) = 17,5 gram perak x Rp.8.000,-/gram perak = Rp.140.000,-
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan tentang cara menghitung dan
mengeluarkan zakat perhiasan. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi
kita semua. Wallahu ta’ala a’lam bish-showab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Umm oleh Imam Syafi’i II/36, Jami’ ahkamin Nisa’ Syaikh Mushthafa al-Adawi II/143-165, Shahîh Fiqhis Sunnah oleh Syaikh Abu Malik II/26.
[2]. Lihat ad-Durr al-Mukhtar II/41, Bidâyatu al-Mujtahid I/242, al-Majmu’ VI/29, dan al-Mughni III/9-17. Dan ini juga merupakan pendapat Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Aisyah dan Asma’ binti Abu Bakr Ash-Shiddiq. Dan Ini adalah mazhab imam Malik, imam Ahmad, dan imam asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya.
[3]. Ini adalah madzhab Hanafiyyah, satu riwayat dari imam Ahmad, dan Ibnu Hazm. Lihat Fathul Qadîr I/524, ad-Durr al-Mukhtar II/41, al-Muhalla VI/78. Ini juga merupakan pendapat Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Khathab, Abdullah bin Umar dan astu riwayat dari Aisyah x .
[4]. Lihat Subulus Salam, imam ash-Shan’âni IV/42-43.
[5]. Ibnul jauzi dalam at-Tahqiq, dan dinilai oleh al-Baihaqi serta selainnya sebagai hadits batil. (Lihat Irwâ’ul Ghalîl oleh Syaikh al-Albani no. 817)
[6]. Shahih. Diriwayatkan oleh imam Mâlik no. 585, al-Baihaqi IV/138 dengan sanad yang shahih.
[7]. Shahih. Diriwayatkan dari Abdur Razzaq IV/82, Ibnu Abi Syaibah III/138, Ad-Daruquthni 2/109 dengan sanad yang shahih.
[8]. Shahîh. Diriwayatkan dari Abdur Razzâq IV/82, Al-Baihaqi IV/148 dengan sanad shahih. Dan riwayat Ibnu Abi Syaibah III/155.
[9]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Malik no.584, dan Abdur Rozzaq 4/83. Hadits ini shahih.
[10]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf III/155 dengan sanad shahih.
[11]. Shahîh. Diriwayatkan imam Muslim II/680 no. 987, dan Abu Dawud no.1642.
[12]. Shahîh, dengan beberapa riwayat penguatnya. Diriwayatkan oleh Abu Dawud no.1563, an-Nasa’i V/38, at-Tirmidzi no.637, dan Ahmad II/178.
[13]. Hasan, dengan beberapa riwayat penguatnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud no.1565, Ad-Daruquthni II/105, Al-Hakim I/389, dan Al-Baihaqi IV/139.
[14]. HR. Ahmad VI/461, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir XXIV/181 dengan sanad hasan karena dikuatkan dengan riwayat-riwayat sebelumnya.
[15]. Shahîh Li Ghairihi. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq IV/83, Thabrani 9/371, dan ath-Thabrani IX/371.
[16]. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dalam sunannya II/107 dengan sanad hasan.
[17]. Dha’îf. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah III/ , Bukhari dalam at-Târîkhull-Kabir IV/217, dan al-Baihaqi IV/139. Sanad hadits ini Mursal.
[18]. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni II/107, dan al-Baihaqi IV/139 dengan sanad hasan.
[19]. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ II/156-157.
[20]. Lihat al-Muwaththo’ karya imam Mâlik I/250, al-Umm karya imam Asy-Syafi’I II/36, dan al-Majmu’ karya imam an-Nawawi VI/6, Jami’ Ahkâmin nisa’ Syaikh Mushthofa al-‘Adawi II/143-165, Shahih fiqhis sunnah oleh Syaikh Abu Malik II/26.
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Umm oleh Imam Syafi’i II/36, Jami’ ahkamin Nisa’ Syaikh Mushthafa al-Adawi II/143-165, Shahîh Fiqhis Sunnah oleh Syaikh Abu Malik II/26.
[2]. Lihat ad-Durr al-Mukhtar II/41, Bidâyatu al-Mujtahid I/242, al-Majmu’ VI/29, dan al-Mughni III/9-17. Dan ini juga merupakan pendapat Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Aisyah dan Asma’ binti Abu Bakr Ash-Shiddiq. Dan Ini adalah mazhab imam Malik, imam Ahmad, dan imam asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya.
[3]. Ini adalah madzhab Hanafiyyah, satu riwayat dari imam Ahmad, dan Ibnu Hazm. Lihat Fathul Qadîr I/524, ad-Durr al-Mukhtar II/41, al-Muhalla VI/78. Ini juga merupakan pendapat Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Khathab, Abdullah bin Umar dan astu riwayat dari Aisyah x .
[4]. Lihat Subulus Salam, imam ash-Shan’âni IV/42-43.
[5]. Ibnul jauzi dalam at-Tahqiq, dan dinilai oleh al-Baihaqi serta selainnya sebagai hadits batil. (Lihat Irwâ’ul Ghalîl oleh Syaikh al-Albani no. 817)
[6]. Shahih. Diriwayatkan oleh imam Mâlik no. 585, al-Baihaqi IV/138 dengan sanad yang shahih.
[7]. Shahih. Diriwayatkan dari Abdur Razzaq IV/82, Ibnu Abi Syaibah III/138, Ad-Daruquthni 2/109 dengan sanad yang shahih.
[8]. Shahîh. Diriwayatkan dari Abdur Razzâq IV/82, Al-Baihaqi IV/148 dengan sanad shahih. Dan riwayat Ibnu Abi Syaibah III/155.
[9]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Malik no.584, dan Abdur Rozzaq 4/83. Hadits ini shahih.
[10]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf III/155 dengan sanad shahih.
[11]. Shahîh. Diriwayatkan imam Muslim II/680 no. 987, dan Abu Dawud no.1642.
[12]. Shahîh, dengan beberapa riwayat penguatnya. Diriwayatkan oleh Abu Dawud no.1563, an-Nasa’i V/38, at-Tirmidzi no.637, dan Ahmad II/178.
[13]. Hasan, dengan beberapa riwayat penguatnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud no.1565, Ad-Daruquthni II/105, Al-Hakim I/389, dan Al-Baihaqi IV/139.
[14]. HR. Ahmad VI/461, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir XXIV/181 dengan sanad hasan karena dikuatkan dengan riwayat-riwayat sebelumnya.
[15]. Shahîh Li Ghairihi. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq IV/83, Thabrani 9/371, dan ath-Thabrani IX/371.
[16]. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dalam sunannya II/107 dengan sanad hasan.
[17]. Dha’îf. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah III/ , Bukhari dalam at-Târîkhull-Kabir IV/217, dan al-Baihaqi IV/139. Sanad hadits ini Mursal.
[18]. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni II/107, dan al-Baihaqi IV/139 dengan sanad hasan.
[19]. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ II/156-157.
[20]. Lihat al-Muwaththo’ karya imam Mâlik I/250, al-Umm karya imam Asy-Syafi’I II/36, dan al-Majmu’ karya imam an-Nawawi VI/6, Jami’ Ahkâmin nisa’ Syaikh Mushthofa al-‘Adawi II/143-165, Shahih fiqhis sunnah oleh Syaikh Abu Malik II/26.
Read more https://almanhaj.or.id/3684-panduan-praktis-menghitung-dan-mengeluarkan-zakat-perhiasan.html
Komentar