Ketentuan Membaca Hadits Haruskan Bertajwid?


Ketentuan Membaca Hadits Haruskan Bertajwid?



Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang itu. Sebagian melarang bahkan menganggapnya bid’ah, sebagian lain menganggapnya Sunnah.

  Yg mengatakan terlarang
Alasan mereka adalah Al Qur’an itu mesti dibaca tartil, sebagaimana turunnya, sehingga membacanya sesuai aturan tajwid adalah agar Tartil, dan yg seperti ini tidak berlaku bagi selain Al Qur’an.
Lagi pula, tujuannya adalah agar bisa dibedakan antara Al Qur’an dan selainnya. Kalau selain Al Qur’an dibaca dgn menggunakan hukum tajwid maka tidak beda lagi dengan Al Qur’an.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
ذكر بعض المتأخرين في تفسير قوله تعالى : ( وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقاً يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَاب ) آل عمران/78
ذكر بعض المتأخرين : أن من ذلك أن يتلو الإنسان غير القرآن على صفة تلاوة القرآن ، مثل أن يقرأ الأحاديث – أحاديث النبي الله عليه وسلم – كقراءة القرآن ، أو يقرأ كلام أهل العلم كقراءة القرآن
وعلى هذا : فلا يجوز للإنسان أن يترنم بكلامٍ غير القرآن على صفة ما يقرأ به القرآن ، لا سيما عند العامة الذين لا يُفَرِّقون بين القرآن وغيره إلا بالنغمات والتلاوة
Sebagian ulama belakangan menyebutkan tafsir firman Allah Ta’ala:
Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab
Sebagian mereka mengatakan: yang termasuk ini adalah membaca selain Al Qur’an tapi dengan cara sifat baca seperti membaca Al Qur’an. Seperti membaca hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan perkataan ulama seperti membaca Al Qur’an.
Oleh karena itu, tidak boleh melagukan membaca selain Al Qur’an seperti membaca Al Qur’an. Bagi bagi orang awam yang tidak mampu membedakan mana Al Qur’an dan mana bacaan selain Al Qur’an, kecuali dgn melagukan dan membacanya.
(Fatawa Nuur ‘Alad Darb, kaset ke 212)
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:
قالوا : هذا العمل محدث ، والأصل في المحدثات المتعلقة بالعبادات أنها من البدع حتى يثبت الدليل على مشروعيتها .
في ترتيل قراءة الحديث النبوي الشريف والأذكار النبوية إيهام أنها من القرآن الكريم ، والأصل صيانة كتاب الله عن الاختلاط بغيره من الكلام . ترتيل غير كلام الله من عادات أحبار اليهود والنصارى ، وقد نهينا عن التشبه بهم .
Mereka (para ulama) mengatakan: ini adalah perbuatan baru, hal-hal yang baru pada dasarnya terkait dalam ibadah, dan itu termasuk bid’ah sampai adanya dalil yang mensyaratkannya.
Membaca hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dzikir-dzikir nabawi secara tartil adalah persangkaan yang lemah jika dianggap termasuk dari Al Qur’an, dan pada dasarnya ini adalah penjagaan agar Al Qur’an tidak tercampur dengan perkataan manusia.
Membaca selain Al Qur’an secara tartil merupakan kebiasaan pendeta Yahudi dan Nasrani, dan kita dilarang menyerupai mereka.
(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 148358)
  Boleh membaca Hadits dengan tajwid
Golongan ini membolehkan, dan menolak dikatakan ini bid’ah, sebab ini sudah terjadi sejak masa awal Islam. Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca doa dengan gaya rajaz , yaitu bersenandung dgn suara yang ditinggikan.
Sebagaimana riwayat berikut:
عَنْ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ يَنْقُلُ التُّرَابَ حَتَّى وَارَى التُّرَابُ شَعَرَ صَدْرِهِ وَكَانَ رَجُلًا كَثِيرَ الشَّعَرِ وَهُوَ يَرْتَجِزُ بِرَجَزِ عَبْدِ اللَّهِ اللَّهُمَّ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا
وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا
فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا
وَثَبِّتْ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا
إِنَّ الْأَعْدَاءَ قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا
إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا
يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ
Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada perang Khandaq sedang mengangkut tanah hingga tanah itu menutup bulu dada Beliau. Beliau memang seorang yang berbulu lebat Saat itu Beliau menyenandungkan sya’ir ‘Abdullah:
“Ya Allah, kalau bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk. Dan tidak akan pula kami bershadaqah dan shalat”. Maka turunkanlah sakinah kepada kami dan teguhkanlah kaki berpijak kami karena kami sedang berhadapan”.
“Dengan musuh yang telah durjana terhadap kami. Jika mereka menghendaki fitnah terhadap kami, kami akan mengabaikannya”.
Beliau menyenandungkannya dengan suara keras.
(HR. Bukhari no. 3034)
Alasan lainnya adalah bahwa membaca secara tajwid adalah kebiasaan orang Arab yg berlangsung sejak lama, baik dalam perkataan, doa, bukan hanya saat membaca Al Qur’an, tapi juga saat membaca hadits dan perkataan ulama.
Dalam kitab Wafayat Al A’yan diceritakan tentang salah satu ulama salaf, Al Humaidiy Al Andalusia Rahimahullah:
وكان موصوفا بالنباهة والمعرفة والإتقان والدين والورع ، وكانت له نغمة حسنة في قراءة الحديث
Dia orang yg digambarkan sebagai orang yang cerdas, berpengetahuan, profesional, ahli agama dan wara’, dan memiliki senandung yang bagus saat membaca hadits. (Wafat Al A’yan, 4/282)
Imam Muhammad Al Badiriy Ad Dimyathi Rahimahullah berkata:
وأما قراءة الحديث مجودة كتجويد القرآن ، من أحكام النون الساكنة ، والتنوين ، والمد ، والقصر ، وغير ذلك ، فهي مندوبة ، كما صرح به بعضهم
Ada pun membaca hadits dengan bertajwid seperti tajwidnya Al Qur’an, semisal hukum nun mati, tanwin, panjang, pendek, dan lainnya, maka ini Sunnah, sebagaimana dijelaskan oleh mereka (para ulama).
(Hasyiyah Al Ajhuriy ‘ala Syarh Az Zarqaniy ‘alal Manzhumah Al Baiquniyah, Hal. 227)
Ini juga pendapat ulama kontemporer, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Shalih Al Fauzan, dll.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkaya:
تحسين الصوت ليس بتلحين ، التلحين غناء لا يجوز ، لكن تحسين الصوت بالقرآن ، وتحسين الصوت بالأذكار : هذا طيب
Memperindah suara bukanlah termasuk talhin (menggubah nyanyian), talhin itu nyanyian dan tidak boleh. Tetapi memperindah suara saat membaca Al Qur’an dan dzikir-dzikir, itu bagus. (sebagaimana dikutip Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid dalam fatwanya)
Demikian. Wallahu a’lam
Farid Nu’man Hasan
Al-Badiri –rahimahullah– berkata dalam akhir syarahnya terhadap Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah, “Adapun membaca hadits dengan tajwid sebagaimana tajwidnya Al-quran maka dianjurkan. Sebab, sejatinya tajwid termasuk keindahan ucapan, bahasa orang ‘Arab, dan kefashihan dalam berbicara. Seluruh arti ini terhimpun pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, siapa yang berkata dengan hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya ia memperhatikan apa yang diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi –rahimahullah– berkata, “Dan tidak samar lagi bahwa tajwid termasuk tuntutan bahasa ‘Arab karena termasuk dzat sifat. Sebab, orang ‘Arab tidak berucap kecuali bertajwid. Maka barangsiapa yang berucap dengannya tanpa bertajwid, seakan-akan ia tidak berucap dengannya. Sebenarnya ia termasuk keindahan perkataan bahkan bagian dari dzatnya. Jadi, ia termasuk tabiat bahasa. Oleh sebab itu siapa yang meninggalkannya, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan lahn jail. Karena orang ‘Arab tidak mengetahui perkataan kecuali secara bertajwid.”
( Priksa Qawa’id At-Tahdits min Funun Mushtalah Al-Hadits (hlm. 145-246), karya Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi rahimahullah)
https://almarwadi.wordpress.com/2013/03/24/membaca-hadits-dengan-bertajwid/

Komentar