Disebut Meminta-minta yang Tercela
Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir berkata,
“Jika seseorang itu butuh, namun ia belum mampu bekerja dengan pekerjaan yang
layak, maka dibolehkan dengan syarat ia tidak menghinakan dirinya, tidak
meminta dengan terus mendesak, tidak pula menyakiti yang diminta. Jika
syarat-syarat tadi tidak terpenuhi, maka haram menurut kesepakatan para ulama.”
(Fatwa IslamWeb)
Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir berkata, “Jika seseorang itu butuh, namun ia belum mampu bekerja dengan pekerjaan yang layak, maka dibolehkan dengan syarat ia tidak menghinakan dirinya, tidak meminta dengan terus mendesak, tidak pula menyakiti yang diminta. Jika syarat-syarat tadi tidak terpenuhi, maka haram menurut kesepakatan para ulama.” (Fatwa IslamWeb)
Sumber https://rumaysho.com/13306-meminta-traktir-teman-apa-sama-dengan-mengemis.html
Larangan Meminta-Minta Kepada Orang Lain


Derajat
hadits
Riwayat ini
lemah karena terdapat Abu Ishaq Amr bin Abdillah bin Ubaid As -Sabi’i Al-Kufi.
Ibnu Hajar mengatakan: “Ia tsiqah, banyak riwayatnya,
ahli ibadah, namun mukhtalith di akhir
usianya”. Adz-Dzahabi mengatakan: “Ia tsiqah, namun berubah
hafalannya menjadi buruk ketika di masa tua yaitu masa-masa sebelum wafatnya”.
Faidah
hadits
- Meminta-minta hukum
     asalnya terlarang. Banyak sekali dalil yang menunjukkan larangan hal ini,
     diantaranya:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا
فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
- Dibolehkan
     seseorang meminta-minta kepada orang lain jika dalam keadaan fakir dan
     darurat sebagaimana ditegaskan dalam hadits Junadah.- Ulama sepakat akan
     haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat. An-Nawawi ketika
     menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah”
     (larangan meminta-minta) beliau mengatakan:
مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ
عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ
- Meminta-minta dalam
     keadaan tidak fakir dan tidak darurat, termasuk dosa besar, karena diancam
     dengan azab di akhirat.- Jika dalam keadaan
     darurat, namun tidak fakir dan mampu bekerja, ulama berselisih pendapat
     mengenai hukumnya. An-Nawawi menjelaskan:
أَصْحَابُنَا فِي مَسْأَلَةِ الْقَادِرِ عَلَى
الْكَسْبِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا أَنَّهَا حَرَامٌ لِظَاهِرِ
الْأَحَادِيثِ وَالثَّانِي حَلَالٌ مَعَ الْكَرَاهَةِ بِثَلَاثِ شُرُوطٍ أَنْ لَا
يُذِلَّ نَفْسَهُ وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَالِ وَلَا يُؤْذِيَ المسؤول فَإِنْ
فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الشُّرُوطِ فَهِيَ حَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
- Meminta-minta untuk
     memperkaya diri itu perbuatan tercela. Al-‘Aini mengatakan:
من سَأَلَ النَّاس لأجل التكثر فَهُوَ مَذْمُوم
Artikel: Muslim.or.id
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/33524-larangan-meminta-minta-kepada-orang-lain.html
Artikel: Muslim.or.id
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/33524-larangan-meminta-minta-kepada-orang-lain.html
Wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Kepada
Abu Dzar al-Ghifari
WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM KEPADA ABU DZAR
AL-GHIFARI
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh
hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
al-Albâni t dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).
Pertama : Mencintai Orang-Orang Miskin Dan Dekat Dengan Mereka.
Wasiat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tujukan untuk Abu Dzar
ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum. Dalam hadits
ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar
mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat Islam
hendaknya menyadari bahwa nasihat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
tertuju juga kepada kita semua.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat orang
yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian.
Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan
kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang ia
jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyinggung hal ini dalam sabdanya:
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam
Ibnul-Atsir rahimahullah berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai
perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena
perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memperhatikan
keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. Sedangkan memutus
silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.”[14]
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan
mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur
kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda:
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan ilmu,
menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan
terus berlangsunng apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ
wa lâ quwwata illâ billâh?
Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada
orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai
sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu
yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah
Sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.
Dalam berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak, mencela, dan
lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang disampaikan.
Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka mencela, maka kita diperintahkan
untuk terus menyampaikan dakwah yang haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.
Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang tidak
meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang
lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar tidak
meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta hukum asalnya adalah haram.
Seorang Muslim harus berusaha makan dengan hasil keringatnya sendiri, dengan
usaha kita sendiri, dan bukan dari usaha dan belas kasihan orang lain. Seorang
Muslim harus berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena Allah
yang akan menolongnya.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat
Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud (no.
1631), dan an-Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr
Ibni Katsir (III/90).
[3]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325),
Abu Dawud (no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu
Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid). Dari Sahabat Abu Hurairah.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007) dan
Muslim (no. 2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 4126), ‘Abd bin Humaid
dalam al-Muntakhab (no. 1000), dan selain keduanya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 308) dan Irwâ`ul Ghalîl (no. 861).
[6]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts (II/385) oleh Imam Ibnul-Atsir.
[7]. HR an-Nasâ`i (VIII/265, 268) dan al-Hakim (I/531).
[8]. Hadits hasan shahîh. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2353, 2354) dan
Ibnu Majah (no. 4122), dari Abu Hurairah. Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi
(II/276, no. 1919).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini miliknya,
at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan oleh at-Tirmidzi.
At-Tirmidzi berkata,”Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il –yakni
Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits ini hasan shahîh’.” Dari Sahabat
Mu’adz bin Jabal Radhiyalahu anhu . Di akhir hadits, Rasulullah bersabda:
إِنَّهَا حَقٌّ، فَادْرُسُوْهَا وَتَعَلَّمُوْهَا.
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari
(hafalkan), dan perdalamlah.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat
Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu .
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat Mush’ab
bin Sa’d Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i (II/669, no. 2978).
[12]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6490), Muslim (no.
2963), at-Tirmidzi (no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142), dari Sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu.
[13]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2346), Ibnu Majah (no.
4141), dan al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad (no. 300), dan selainnya. Dari
‘Ubaidullah bin Mihshan Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 2318).
[14]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[15]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud (no.
1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu
anhuma.
[16]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[17]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim (no.
2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini milik Muslim.
[18]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[19]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu.
[20]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim (no.
2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[21]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[22]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85),
an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/409-410,439, 451).
[23]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557
(21)).
[24]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no.
13).
[25]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i
(III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau menshahîhkannya,
dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[26]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah (no.
4012), ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam
Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari Sahabat Abu Umamah z . Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 490).
[27]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab:
Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad
(III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm z .
[28]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2822, 6365, 6370, 6390)
dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[29]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075), dari
Sahabat az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu anhu.
[30].Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1044), Abu Dawud (no. 1640),
Ibnu Khuzaimah (no. 2361), dan selain mereka.
[31]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) dan Muslim (no.
1040), dari Sahabat Ibnu ‘Umar c . Lafazh ini milik Muslim.
[32]. Lihat Syarah Shahîh Muslim (VII/130) oleh Imam an-Nawawi rahimahullah .
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni t dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).
Pertama : Mencintai Orang-Orang Miskin Dan Dekat Dengan Mereka.
Wasiat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tujukan untuk Abu Dzar ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tertuju juga kepada kita semua.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang ia jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyinggung hal ini dalam sabdanya:
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam Ibnul-Atsir rahimahullah berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.”[14]
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda:
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?
Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.
Dalam berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak, mencela, dan lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang disampaikan. Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka mencela, maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan dakwah yang haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.
Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar tidak meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta hukum asalnya adalah haram. Seorang Muslim harus berusaha makan dengan hasil keringatnya sendiri, dengan usaha kita sendiri, dan bukan dari usaha dan belas kasihan orang lain. Seorang Muslim harus berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena Allah yang akan menolongnya.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud (no. 1631), dan an-Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr Ibni Katsir (III/90).
[3]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid). Dari Sahabat Abu Hurairah.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007) dan Muslim (no. 2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 4126), ‘Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab (no. 1000), dan selain keduanya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 308) dan Irwâ`ul Ghalîl (no. 861).
[6]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts (II/385) oleh Imam Ibnul-Atsir.
[7]. HR an-Nasâ`i (VIII/265, 268) dan al-Hakim (I/531).
[8]. Hadits hasan shahîh. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2353, 2354) dan Ibnu Majah (no. 4122), dari Abu Hurairah. Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi (II/276, no. 1919).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini miliknya, at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan oleh at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,”Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il –yakni Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits ini hasan shahîh’.” Dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyalahu anhu . Di akhir hadits, Rasulullah bersabda:
إِنَّهَا حَقٌّ، فَادْرُسُوْهَا وَتَعَلَّمُوْهَا.
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari (hafalkan), dan perdalamlah.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu .
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i (II/669, no. 2978).
[12]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6490), Muslim (no. 2963), at-Tirmidzi (no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[13]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2346), Ibnu Majah (no. 4141), dan al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad (no. 300), dan selainnya. Dari ‘Ubaidullah bin Mihshan Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2318).
[14]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[15]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud (no. 1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma.
[16]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[17]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim (no. 2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini milik Muslim.
[18]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[19]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[20]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim (no. 2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[21]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[22]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85), an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/409-410,439, 451).
[23]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557 (21)).
[24]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no. 13).
[25]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i (III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau menshahîhkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[26]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah (no. 4012), ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari Sahabat Abu Umamah z . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 490).
[27]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm z .
[28]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2822, 6365, 6370, 6390) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[29]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075), dari Sahabat az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu anhu.
[30].Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1044), Abu Dawud (no. 1640), Ibnu Khuzaimah (no. 2361), dan selain mereka.
[31]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) dan Muslim (no. 1040), dari Sahabat Ibnu ‘Umar c . Lafazh ini milik Muslim.
[32]. Lihat Syarah Shahîh Muslim (VII/130) oleh Imam an-Nawawi rahimahullah .
 

Komentar