Disebut Meminta-minta yang Tercela
Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir berkata,
“Jika seseorang itu butuh, namun ia belum mampu bekerja dengan pekerjaan yang
layak, maka dibolehkan dengan syarat ia tidak menghinakan dirinya, tidak
meminta dengan terus mendesak, tidak pula menyakiti yang diminta. Jika
syarat-syarat tadi tidak terpenuhi, maka haram menurut kesepakatan para ulama.”
(Fatwa IslamWeb)
Kalau kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Al-Munawi
disebutkan mengemis atau meminta-minta yang tercela jika terpenuhi syarat:
1.
Meminta dengan
menghinakan diri.
2.
Meminta dengan terus
mendesak.
3.
Menyakiti orang yang
diminta.
Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir berkata, “Jika seseorang itu butuh, namun ia belum mampu bekerja dengan pekerjaan yang layak, maka dibolehkan dengan syarat ia tidak menghinakan dirinya, tidak meminta dengan terus mendesak, tidak pula menyakiti yang diminta. Jika syarat-syarat tadi tidak terpenuhi, maka haram menurut kesepakatan para ulama.” (Fatwa IslamWeb)
Sumber https://rumaysho.com/13306-meminta-traktir-teman-apa-sama-dengan-mengemis.html
Larangan Meminta-Minta Kepada Orang Lain
Dikeluarkan
oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17508),
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ آدَمَ، وَيَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا
إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ حُبْشِيِّ بْنِ جُنَادَةَ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ
فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ»
Yahya bin
Adam dan Yahya bin Abi Bukair menuturkan kepada kami, mereka berdua mengatakan,
Israil menuturkan kepada kami, dari Abu Ishaq, dari Hubsyi bin Junadah radhiallahu’anhu,
ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa
yang meminta-minta padahal ia tidak fakir maka seakan-seakan ia memakan bara
api”.
Dikeluarkan
juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (no. 2446),
Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar (no.
3021), dan Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (no.
3506), semuanya dari jalan Israil.
Derajat
hadits
Riwayat ini
lemah karena terdapat Abu Ishaq Amr bin Abdillah bin Ubaid As -Sabi’i Al-Kufi.
Ibnu Hajar mengatakan: “Ia tsiqah, banyak riwayatnya,
ahli ibadah, namun mukhtalith di akhir
usianya”. Adz-Dzahabi mengatakan: “Ia tsiqah, namun berubah
hafalannya menjadi buruk ketika di masa tua yaitu masa-masa sebelum wafatnya”.
Namun Abu
Ishaq di-mutaba’ah oleh
Asy-Sya’bi dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam
Al-Kabir (no. 3504),
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ غَنَّامٍ، ثنا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، ح وَحَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، ثنا
ابْنُ الْأَصْبَهَانِيِّ، قَالَا: ثنا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ
مُجَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ حَبَشِيِّ بْنِ جُنَادَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ فِي
حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَأَتَى أَعْرَابِيٌّ فَأَخَذَ بِطَرَفِ رِدَائِهِ وَسَأَلَهُ
إِيَّاهُ فَأَعْطَاهُ، فَذَهَبَ بِهِ فَعِنْدَ ذَلِكَ حُرِّمَتِ الْمَسْأَلَةُ، قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ
لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ، إِلَّا فِي فَقْرٍ مُدْقِعٍ، أَوْ غُرْمٍ
مُفْظِعٍ» ، وَقَالَ: «مَنْ سَأَلَ النَّاسَ لِيُثْرِيَ مَالَهُ كَانَ خُمُوشًا
فِي وَجْهِهِ وَرَضْفًا يَأْكُلُهُ مِنْ جَهَنَّمَ، فَمَنْ شَاءَ فَلْيُقِلَّ،
وَمَنْ شَاءَ فَلْيُكْثِرْ»
Ubaid bin
Ghannam menuturkan kepadaku, Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepadaku, juga
Ali bin Abdil Aziz menuturkan kepadaku, Ibnu Al-Ashbahan menuturkan kepadaku.
Keduanya (Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ibnu Al-Ashbahan) mengatakan: Abdurrahim
bin Sulaiman menuturkan kepadaku, dari Mujalid, dari Asy-Sya’bi, dari Hubsyi
bin Junadah, ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah
di Arafah pada haji wada’, lalu datang seorang badui yang
tiba-tiba menarik ujung selendang Nabi dan memintanya, maka Nabi pun memberikan
selendang itu kepadanya, lalu orang badui itu pun pergi. Dan ketika itulah
mulai diharamkan meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak
halal menerima sedekah bagi orang yang kaya juga bagi orang yang punya
kemampuan untuk bekerja, kecuali orang fakir yang sangat sengsara atau orang
yang punya tunggakan hutang dan sangat kesulitan membayarnya”.
Beliau juga bersabda: “Barangsiapa yang meminta-minta kepada
orang lain untuk menumpuk harta maka pada hari kiamat akan ada cakaran di
wajahnya dan akan memakan batu panas dari neraka jahanam. Maka silakan pilih
sendiri, kurangilah meminta-minta atau perbanyaklah”.
Riwayat ini sendiri
lemah karena terdapat Mujalid. Ibnu Hajar mengatakan: “Laysa bi qawiy, hafalannya
berubah di akhir usianya”. Ad-Daruquthni mengatakan: “Ia tidak dianggap
haditsnya”. Yahya bin Ma’in mengatakan: “Haditsnya bukan hujjah”. Al-Bukhari
mengatakan: “Shaduq”.
Ibnu Hibban mengatakan: “Tidak boleh berhujjah dengannya”.
Namun riwayat ini bisa menjadi i’tibar.
Abu Ishaq di-mutaba’ah oleh
Asy-Sya’bi dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam
Al-Kabir (no. 3505),
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ
الْحَضْرَمِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، ثنا
أَبِي، ثنا أَبُو حَمْزَةَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ حَبَشِيِّ بْنِ جُنَادَةَ
السَّلُولِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: «مَنْ سَأَلَ النَّاسَ فِي غَيْرِ مُصِيبَةِ حَاجَتِهِ فَكَأَنَّمَا
يَلْتَقِمُ الرَّضْفَةَ»
Muhammad bin
Abdillah Al-Hadhrami menuturkan kepadaku, Muhammad bin Ali bin Al-Hasan bin
Syaqiq menuturkan kepadaku, ayahku (Ali bin Al-Hasan bin Syaqiq) menuturkan
kepadaku, Abu Hamzah menuturkan kepadaku, dari Asy-Sya’bi, dari Hubsyi bin
Junadah As-Saluli, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang meminta-minta kepada
orang lain padahal ia tidak sedang dalam kebutuhan mendesak disebabkan musibah
yang ia derita, maka seakan-seakan ia memakan bara api”.
Riwayat ini
sendiri juga lemah, karena terdapat Abu Hamzah yaitu Tsabit bin Abi Shafiyyah.
Imam Ahmad berkata: “Dha’iful hadits, laysa bisya’in”. Yahya bin
Ma’in mengatakan: “Laysa bisya’in”. Abu Zur’ah mengatakan: “Layyin”.
Abu Hatim mengatakan: “Haditsnya lemah, ditulis haditsnya namun bukan hujjah”.
Adz-Dzahabi mengatakan: “Para ulama melemahkannya”. Ibnu Hajar mengatakan:
“lLmah, seorang rafidhah”. Namun riwayat ini masih bisa
menjadi i’tibar.
Sampai di
sini dari keseluruhan riwayat yang ada, hadits Hubsyi bin Junadah ini statusnya
hasan, karena riwayat-riwayatnya saling menguatkan.
Terdapat
jalan dari sahabat Wahb bin Khanbasy Ath-Tha’i radhiyallahu ‘anhu.
Dikeluarkan oleh Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar (no.
3020),
حَدَّثَنَا أَبُو أُمَيَّةَ , قَالَ: ثنا
الْمُعَلَّى بْنُ مَنْصُورٍ , قَالَ: أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ , قَالَ:
أَخْبَرَنِي مُجَالِدٌ , عَنِ الشَّعْبِيِّ , عَنْ وَهْبٍ , قَالَ: «جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ
, فَسَأَلَهُ رِدَاءَهُ , فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ , فَذَهَبَ بِهِ , ثُمَّ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ
إِلَّا مِنْ مُدْقِعٍ أَوْ غُرْمٍ مُفْظِعٍ , وَمَنْ سَأَلَ النَّاسَ لِيُثْرِيَ
بِهِ لَهُ , فَإِنَّهُ خُمُوشٌ فِي وَجْهِهِ , وَرَضْفٌ يَأْكُلُهُ مِنْ جَهَنَّمَ
, إِنْ قَلِيلًا فَقَلِيلٌ , وَإِنْ كَثِيرًا فَكَثِيرٌ»
Abu Umayyah
menuturkan kepadaku, ia berkata: Al-Mu’alla bin Masnhur menuturkan kepadaku, ia
berkata: Yahya bin Sa’id menuturkan kepadaku, ia berkata: Mujalid mengabarkan
kepadaku, dari Asy-Sya’bi, dari Wahb, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau
sedang berdiri di Arafah. Orang tersebut meminta selendang Nabi dan beliau pun
memberikannya. Orang tersebut lalu pergi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
bersabda: “Tidak
halal meminta-minta kecuali bagi orang fakir yang sangat sengsara atau orang
yang punya tunggakan hutang dan sangat kesulitan membayarnya. Barangsiapa yang
meminta-minta kepada orang lain untuk menumpuk harta maka pada hari kiamat akan
ada cakaran di wajahnya dan akan memakan batu panas dari neraka jahanam. Jika
ia meminta-minta hanya sedikit, maka sedikit pula azab yang ia terima, jika ia
meminta-minta banyak maka banyak pula azab yang ia terima”.
Riwayat ini
juga lemah karena terdapat Mujalid, namun bisa menjadi syahid yang
menguatkan, sehingga
hadits di atas dengan keseluruhan jalannya, statusnya menjadi shahih
lighairihi.
Al Haitsami
dalam Majma’
Az Zawaid (3/99) mengatakan: “hadits ini perawinya adalah
perawi Ash Shahih”. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shahih Al Musnad (298)
mengatakan: “hadits ini shahih”. Syaikh Al Albani dalam Shahih
At Targhib (802) mengatakan hadits ini shahih
li ghairihi.
Faidah
hadits
- Meminta-minta hukum
asalnya terlarang. Banyak sekali dalil yang menunjukkan larangan hal ini,
diantaranya:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا
فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa
meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya,
sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan
mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim no. 1041).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى
ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ
مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ
الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
“Jika
salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang
di panggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan
hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu
lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka
memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di
bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung”
(HR. Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ
حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang
yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap
Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya”
(HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040 ).
Dari Auf bin
Malik Al-Asyja’i beliau berkata,
قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ،
فَعَلَامَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ: «عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا، وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً
خَفِيَّةً – وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا»
“Kami
telah berbai’at kepadamu wahai Rasulullah, namun apa saja perjanjian yang wajib
kami pegang dalam bai’at ini? Rasulullah bersabda: ‘Wajib bagi kalian untuk
menyembah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun,
mengerjakan shalat lima waktu, taat kepada pemimpin, (lalu beliau melirihkan
perkataannya) dan tidak meminta-meminta kepada orang lain sedikit pun‘”
(HR. Muslim no. 1043).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا
الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ
لَا بُدَّ مِنْهُ
“Sesungguhnya,
meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri,
kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat
memaksa” (HR. At-Tirmidzi no. 681, ia berkata: “hasan shahih”).
- Dibolehkan
seseorang meminta-minta kepada orang lain jika dalam keadaan fakir dan
darurat sebagaimana ditegaskan dalam hadits Junadah.
- Ulama sepakat akan
haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat. An-Nawawi ketika
menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah”
(larangan meminta-minta) beliau mengatakan:
مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ
عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ
“Maksud dari bab ini dan hadits-hadits yang ada di
dalamnya adalah larangan meminta-minta. Ulama sepakat hukumnya terlarang jika
tidak dalam keadaan darurat” (Syarah Shahih Muslim,
7/127).
- Meminta-minta dalam
keadaan tidak fakir dan tidak darurat, termasuk dosa besar, karena diancam
dengan azab di akhirat.
- Jika dalam keadaan
darurat, namun tidak fakir dan mampu bekerja, ulama berselisih pendapat
mengenai hukumnya. An-Nawawi menjelaskan:
أَصْحَابُنَا فِي مَسْأَلَةِ الْقَادِرِ عَلَى
الْكَسْبِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا أَنَّهَا حَرَامٌ لِظَاهِرِ
الْأَحَادِيثِ وَالثَّانِي حَلَالٌ مَعَ الْكَرَاهَةِ بِثَلَاثِ شُرُوطٍ أَنْ لَا
يُذِلَّ نَفْسَهُ وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَالِ وَلَا يُؤْذِيَ المسؤول فَإِنْ
فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الشُّرُوطِ فَهِيَ حَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum
meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja, dalam dua pendapat. Pendapat yang
lebih tepat, hukumnya haram, berdasarkan zahir hadits-hadits yang ada. Pendapat
yang kedua, hukumnya boleh namun disertai kemakruhan, jika memenuhi tiga
syarat: [1] tidak menghinakan dirinya, [2] tidak memaksa ketika meminta, dan
[3] tidak memberikan gangguan kepada orang yang dimintai. Jika salah satu
syarat ini tidak dipenuhi, maka hukumnya menjadi haram dengan sepakat ulama. Wallahu
a’lam” (Syarah Shahih Muslim, 7/127).
- Meminta-minta untuk
memperkaya diri itu perbuatan tercela. Al-‘Aini mengatakan:
من سَأَلَ النَّاس لأجل التكثر فَهُوَ مَذْمُوم
“Barangsiapa yang meminta-minta kepada orang lain untuk
memperkaya diri itu tercela” (Umdatul Qari, 9/56).
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/33524-larangan-meminta-minta-kepada-orang-lain.html
Artikel: Muslim.or.id
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/33524-larangan-meminta-minta-kepada-orang-lain.html
Wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Kepada
Abu Dzar al-Ghifari
WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM KEPADA ABU DZAR
AL-GHIFARI
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ
إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ
أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ
إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي
اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kekasihku
(Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:
(1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau
memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan
tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar
aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku
dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak
ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk
mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut
celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang
aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh
hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
al-Albâni t dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).
FIQIH HADITS
Pertama : Mencintai Orang-Orang Miskin Dan Dekat Dengan Mereka.
Wasiat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tujukan untuk Abu Dzar
ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum. Dalam hadits
ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar
mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat Islam
hendaknya menyadari bahwa nasihat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
tertuju juga kepada kita semua.
Orang-orang miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya
tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan
mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا
الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ
وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ. قَالُوْا : فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ
اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ
فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا.
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta
kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir
kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang
dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,”Mereka ialah orang yang hidupnya
tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia
diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada
orang lain.”[1]
Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang
miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul bersama
orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi mereka enggan duduk bersama
dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir
orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka masuklah dalam
hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi dengan kehendak
Allah Ta’ala. Lalu turunlah ayat:
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan
petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya. [al-An’âm/6:52].[2]
Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan
membantu dan menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa yang ada
pada kita, kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh
Allah Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan
memperoleh ganjaran yang besar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ…
Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang
mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan
barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan
memudahkan atasnya di dunia dan akhirat…[3]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
السَّاعِى عَلَى اْلأَرْمَلَةِ
وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –وَأَحْسِبُهُ قَالَ-:
وَكَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ.
“Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin
bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau
bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan
orang yang berpuasa terus-menerus”[4].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berkumpul bersama
orang-orang miskin, sampai-sampai beliau berdo’a kepada Allah agar dihidupkan
dengan tawadhu’, akan tetapi beliau mengucapkannya dengan kata “miskin”.
اَللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ
مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ مِسْكِيْنًا وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ.
Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku
dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang
miskin.[5]
Ini adalah doa dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
Allah Ta’ala memberikan sifat tawadhu` dan rendah hati, serta agar tidak termasuk
orang-orang yang sombong lagi zhalim maupun orang-orang kaya yang melampaui
batas. Makna hadits ini bukanlah meminta agar beliau menjadi orang miskin,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir rahimahullah , bahwa kata “miskin”
dalam hadits di atas adalah tawadhu`.[6] Sebab, di dalam hadits yang lain
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari kefakiran.[7]
Beliau berdoa seperti ini, karena beliau mengetahui bahwa
orang-orang miskin akan memasuki surga lebih dahulu daripada orang-orang kaya.
Tenggang waktu antara masuknya orang-orang miskin ke dalam surga sebelum orang
kaya dari kalangan kaum Muslimin adalah setengah hari, yaitu lima ratus tahun.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ
الْمُسْلِمِيْنَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُ
مِائَةِ عَامٍ.
Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum
orang-orang kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima
ratus tahun.[8]
Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang taat
kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik, menjalankan
Sunnah dan menjauhi perbuatan bid’ah, menjalankan perintah-perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya.
Sebab terlambatnya orang-orang kaya memasuki surga selama lima
ratus tahun, adalah karena semua harta mereka akan dihitung dan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdo’a agar mencintai orang-orang miskin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ
أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ
الْمَسَاكِيْنِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ وَتَرْحَمَنِيْ، وَإِذََا أَرَدْتَ فِتْنَةَ
قَوْمٍ فَتَوَفَّنِيْ غََيْرَ مَفْتُوْنٍ، وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ
يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ إِلَى حُبِّكَ.
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan
perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang
miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak
menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku
dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta
kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada
segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu.[9]
Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita
akan memperoleh rezeki dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلْ تُنْصَرُوْنَ
وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ.
Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab
adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian.[10]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ
هَذَهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ.
Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang
lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan
mereka.[11]
Kedua : Melihat Kepada Orang Yang Lebih Rendah Kedudukannya Dalam
Hal Materi Dan Penghidupan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat orang
yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian.
Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan
kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ
أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ
أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.
Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat
orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian
tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.[12]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang Muslim melihat
kepada orang yang di atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang kaya, banyak
harta, kedudukan, jabatan, gaji yang tinggi, kendaraan yang mewah, rumah mewah,
dan lainnya. Dalam kehidupan dunia terkadang kita melihat kepada orang-orang
yang berada di atas kita. Hal ini merupakan kesalahan yang fatal. Dalam masalah
tempat tinggal, misalnya, terkadang seseorang hidup bersama keluarganya dengan
“mengontrak rumah”, maka dengan keadaannya ini hendaklah ia bersyukur karena
masih ada orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur beratapkan
langit. Begitu pun dalam masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya
mendapat nafkah yang hanya cukup untuk makan hari yang sedang dijalaninya saja,
maka dalam keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur karena masih ada
orang-orang yang tidak memiliki penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari
menggantungkan harapannya kepada orang lain.
Sedangkan dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada
Allah, meraih pahala dan surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada orang
yang berada di atas kita, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para
syuhada, dan orang-orang yang shalih. Apabila para salafush-shalih sangat
bersemangat dalam melakukan shalat, puasa, shadaqah, membaca Al-Qur`ân, dan perbuatan
baik lainnya, maka kita pun harus berusaha melakukannya seperti mereka. Dan
inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam masalah berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Tabarâka
wa Ta’ala berfirman:
وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ
الْمُتَنَافِسُونَ
Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba.
[al-Muthaffifîn/83:26].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita
melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia, agar kita
menjadi orang-orang yang bersyukur dan qana’ah. Yaitu merasa cukup dengan apa
yang Allah telah karuniakan kepada kita, tidak hasad dan tidak iri kepada
manusia.
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang ia
jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyinggung hal ini dalam sabdanya:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا
فِيْ سِرْبِهِ، مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ، وَعِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا
حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا.
Siapa saja di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya,
diberikan kesehatan pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk harinya itu,
maka seolah-olah ia telah memiliki dunia seluruhnya.[13]
Abu Dzar Radhiyallahu anhu adalah teladan kita dalam hal ini.
Beliau mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok
harinya beliau mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu
terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah meridhai beliau.
Ketiga : Menyambung Silaturahmi Meskipun Karib Kerabat Berlaku
Kasar.
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam
Ibnul-Atsir rahimahullah berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai
perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena
perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memperhatikan
keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. Sedangkan memutus
silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.”[14]
Dari pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada orang-orang
yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua, kakak,
adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya yang memiliki hubungan
kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum Muslimin salah dalam menggunakan kata
silaturahmi. Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan
kawan-kawan mereka. Padahal silaturahmi hanyalah terbatas pada orang-orang yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun kepada orang yang bukan
kerabat, maka yang ada hanyalah ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam).
Silaturahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan
orang yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki adalah
menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan berbuat baik kepada
kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ
بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.
Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas
kebaikan, tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung
kekerabatannya apabila diputus.[15]
Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullah menyatakan
bahwa rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi
konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.[16]
Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah. Rahim (kekerabatan), Allah
letakkan di ‘Arsy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مَعَلَّقَةٌ
بِالْعَرْشِ، تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ
قَطَعَهُ اللهُ.
Rahim (kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,”Siapa
yang menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah
akan memutuskannya. [17]
Menyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua adalah
wajib berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya, memutus
silaturahmi dan durhaka kepada orang tua adalah haram dan termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ
اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
…Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan…
[al-Baqarah/2:27].
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari t
berkata: “Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya agar menyambung
hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim, serta tidak
memutuskannya”.[18]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan antara
menyambung silaturahmi dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia
menyambung silaturahmi.[19]
Dengan bersilaturahmi, Allah akan melapangkan rezeki dan
memanjangkan umur kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi, Allah
akan sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya.
Adapun haramnya memutuskan silaturahmi telah dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
قَاطِعٌ.
Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi.[20]
Bersilaturahmi dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib
kerabat, menanyakan kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka yang
miskin, menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang lebih
muda dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik dengan cara datang
langsung, melalui surat, maupun dengan menghubunginya lewat telepon ataupun
short massage service (sms). Bisa juga dilakukan dengan meminta mereka untuk
bertamu, menyambut kedatangannya dengan suka cita, memuliakannya, ikut senang
bila mereka senang dan ikut sedih bila mereka sedih, mendoakan mereka dengan
kebaikan, tidak hasad (dengki) terhadapnya, mendamaikannya bila berselisih, dan
bersemangat untuk mengokohkan hubungan di antara mereka. Bisa juga dengan
menjenguknya bila sakit, memenuhi undangannya, dan yang paling mulia ialah
bersemangat untuk berdakwah dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan Sunnah,
serta menyuruh mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan dosa dan
maksiat.
Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib
kerabat yang baik dan istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib kerabat
yang kafir atau fasik atau pelaku bid’ah, maka menyambung kekerabatan dengan
mereka dapat melalui nasihat dan memberikan peringatan, serta berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam melakukannya.[21]
Silaturahmi yang paling utama adalah silaturahmi kepada kedua
orang tua. Orang tua adalah kerabat yang paling dekat, yang memiliki jasa yang
sangat besar, mereka memberikan kasih dan sayangnya sepanjang hidup mereka.
Maka tidak aneh jika hak-hak mereka memiliki tingkat yang besar setelah beribadah
kepada Allah. Di dalam Al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang memerintahkan kita
agar berbakti kepada kedua orang tua.
Birrul-walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik
berupa bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga
nama baik pada saat keduanya masih hidup maupun setelah keduanya meninggal
dunia. Birrul-walidain adalah perbuatan baik yang paling baik.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu,
ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟
قَالَ : اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ: قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ
الْوَالِدَيْنِ قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ
اللهِ.
“Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,”Shalat pada
waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).” Aku
bertanya,”Kemudian apa?” Beliau menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku
bertanya,”Kemudian apa?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [22]
Selain itu, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita berbuat
durhaka kepada kedua orang tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang tua adalah
dosa besar yang paling besar.
Silaturahmi memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar,
diantaranya sebagai berikut.
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan
mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur
kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda:
مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ
لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ .
Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan
umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.[23]
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan ilmu,
menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan
terus berlangsunng apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu,
bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang
dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ
بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ.
Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung
silaturahmi.[24]
Keempat : Memperbanyak Ucapan ‘Lâ Haula wa lâ Quwwata illâ Billâh’
(Tidak Ada Daya Dan Upaya Kecuali Dengan Pertolongan Allah)
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ
wa lâ quwwata illâ billâh?
Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang
kita merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada
Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah
Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali melakukan shalat,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan. [al-Fâtihah/1:5].
Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan
dalam akhir shalat kita:
اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى
ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur
kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.[25]
Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya
kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin
duduk di majlis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak
akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan
pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat bekerja
melainkan dengan pertolongan Allah.
Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu
untuk melakukan segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa segala
apa yang dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah. Sebab, jika Allah
tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan segala sesuatu. Artinya, dengan
mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti telah menunjukkan kelemahan,
ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat
membutuhkan pertolongan Allah.
Kelima : Berani Mengatakan Kebenaran Meskipun Pahit.
Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada
orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai
sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu
yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah
Sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.
Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun
banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan yang
masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas mengatakan kebenaran, perbuatan
yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan perbuatan yang haram harus dikatakan
haram, dengan membawakan dalil dan penjelasan para ulama tentang keharamannya.
Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang
haq (kebenaran) kepada penguasa.
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ
حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq
(kebenaran) kepada penguasa yang zhalim.[26]
Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara
yang baik. Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui
orang yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan orasi, provokasi,
demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka melalui mimbar, mimbar
Jum’at, dan yang lainnya.
Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin
(ulil amri). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ
لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ
فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ.
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia
menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri
dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik.
Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah
melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.[27]
Keenam : Tidak Takut Celaan Para Pencela Dalam Berdakwah Di Jalan
Allah.
Dalam berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak, mencela, dan
lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang disampaikan.
Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka mencela, maka kita diperintahkan
untuk terus menyampaikan dakwah yang haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.
Di antara akhlak yang mulia, adalah berani dalam menyampaikan
kebenaran, dan ini merupakan akhlak Salafush-Shalih. Islam mencela sifat
penakut. Hal ini dapat tercermin dari perintah untuk maju ke medan perang dan
tidak boleh mundur pada saat telah berhadapan dengan musuh. Disamping itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari sifat
pengecut. Beliau berdoa dalam haditsnya:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ
بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ
الْعُمُرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat
pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu
dari dikembalikan kepada umur yang paling hina (pikun), aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur.[28]
Dakwah yang diberkahi Allah ini (dakwah kepada tauhid dan Sunnah)
harus diperjuangkan oleh para dai, supaya tegak dan berkembang. Para dai yang
menyeru kepadanya tidak boleh merasa takut. Kepada para dai yang menyeru kepada
dakwah yang haq ini, jangan merasa takut apabila mendapat celaan, cobaan,
penolakan, dan pertentangan. Jangan sekali-kali mundur dalam menegakkan
kebenaran dan tidak mau lagi berdakwah. Dakwah mengajak manusia kepada tauhid
dan Sunnah harus terus berjalan meskipun orang mencela, mencomooh, dan
menolaknya.
Seorang dai tidak boleh mundur dalam berdakwah di jalan Allah dan
tidak boleh takut, karena Allah yang akan menolong orang-orang yang berada di
atas manhaj yang haq.
Dalam Al-Qur`ân, Allah Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang
menyampaikan risalah Allah, sedangkan mereka tidak takut. Allah Ta’ala
berfirman:
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ
رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ۗ
وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah,
mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada
Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan. [al-Ahzaab/33:39].
Dan di antara ciri hamba yang dicintai Allah, adalah mereka tidak
takut celaan para pencela. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى
الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ
لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang
murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum,
Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang
yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Mahamengetahui.”
[al-Mâidah/5:54].
Ketujuh : Tidak Meminta-Minta Sesuatu Kepada Orang Lain.
Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang tidak
meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang
lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar tidak
meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta hukum asalnya adalah haram.
Seorang Muslim harus berusaha makan dengan hasil keringatnya sendiri, dengan
usaha kita sendiri, dan bukan dari usaha dan belas kasihan orang lain. Seorang
Muslim harus berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena Allah
yang akan menolongnya.
Masyarakat yang masih awam (minim dalam ilmu agama), mereka berusaha
untuk menghidupi keluarga mereka dengan berjualan, baik di pinggir-pinggir
jalan maupun di kendaraan umum, seperti bus dan kereta api. Yang demikian itu
lebih mulia daripada dia meminta-minta kepada manusia. Seharusnya hal ini
menjadi cambuk bagi para penuntut ilmu, agar mereka pun berusaha memenuhi
kebutuhan hidup mereka dengan keringat mereka sendiri, dan tidak bergantung
kepada orang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َلأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ
حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِخُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ
اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ
مَنَعُوْهُ.
Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa
seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga
dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada ia
meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak memberinya.[29]
Meminta-minta merupakan perbuatan yang sangat tercela, dan hukum
asalnya adalah haram, kecuali untuk maslahat kaum Muslimin karena termasuk
tolong-menolong dalam kebaikan, seperti untuk pembangunan masjid, pondok
pesantren, biaya hidup anak yatim, dan yang sepertinya. Ini pun harus dengan
cara yang baik, yaitu dengan mendatangi orang-orang yang kaya dan mampu atau
diumumkan di masjid, bukan dengan cara meminta-minta di pinggir jalan. Sebab,
perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya, serta merusak nama baik Islam dan kaum Muslimin.
Adapun meminta-minta untuk kepentingan pribadi, maka hukumnya haram dalam
Islam.
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali
Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ
الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَلَةً
فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ. وَرَجُلٌ
أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى
يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ (أَوْ قَالَ:سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ). وَرَجُلٌ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ
قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ. فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ (أَوْ قَالَ:سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ) فَمَا
سِوَاهُنَّ مَنَ الْمَسْأَلَةِ، يَا قَبِيْصَةُ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا
سُحْتًا.
Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan
kecuali bagi salah seorang dari tiga macam: (1) seseorang yang menanggung
hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia
berhenti (tidak meminta-minta lagi), (2) seseorang yang ditimpa musibah yang
menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup,
dan (3) orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang
berakal dari kaumnya mengatakan “Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan,” ia boleh
meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga
hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan
yang haram.[30]
Bahkan orang yang selalu meminta-minta, kelak pada hari Kiamat
tidak ada daging sedikit pun pada wajahnya, sebagaimana ia tidak malu untuk
meminta-minta kepada manusia di dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ
مُزْعَةُ لَحْمٍ.
Seseorang senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan
datang pada hari Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.[31]
Maksudnya bahwa pada hari Kiamat ia akan dikumpulkan di hadapan
Allah dalam keadaan wajahnya hanya tulang (tengkorak) saja, tidak ada daging
padanya. Hal itu sebagai hukuman baginya, dan sebagai tanda dosa baginya ketika
di dunia ia selalu minta-minta dengan wajahnya tanpa malu.[32]
PENUTUP
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat
Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.
Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud (no.
1631), dan an-Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr
Ibni Katsir (III/90).
[3]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325),
Abu Dawud (no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu
Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid). Dari Sahabat Abu Hurairah.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007) dan
Muslim (no. 2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 4126), ‘Abd bin Humaid
dalam al-Muntakhab (no. 1000), dan selain keduanya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 308) dan Irwâ`ul Ghalîl (no. 861).
[6]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts (II/385) oleh Imam Ibnul-Atsir.
[7]. HR an-Nasâ`i (VIII/265, 268) dan al-Hakim (I/531).
[8]. Hadits hasan shahîh. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2353, 2354) dan
Ibnu Majah (no. 4122), dari Abu Hurairah. Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi
(II/276, no. 1919).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini miliknya,
at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan oleh at-Tirmidzi.
At-Tirmidzi berkata,”Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il –yakni
Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits ini hasan shahîh’.” Dari Sahabat
Mu’adz bin Jabal Radhiyalahu anhu . Di akhir hadits, Rasulullah bersabda:
إِنَّهَا حَقٌّ، فَادْرُسُوْهَا وَتَعَلَّمُوْهَا.
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari
(hafalkan), dan perdalamlah.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat
Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu .
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat Mush’ab
bin Sa’d Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i (II/669, no. 2978).
[12]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6490), Muslim (no.
2963), at-Tirmidzi (no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142), dari Sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu.
[13]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2346), Ibnu Majah (no.
4141), dan al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad (no. 300), dan selainnya. Dari
‘Ubaidullah bin Mihshan Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 2318).
[14]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[15]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud (no.
1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu
anhuma.
[16]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[17]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim (no.
2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini milik Muslim.
[18]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[19]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu.
[20]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim (no.
2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[21]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[22]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85),
an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/409-410,439, 451).
[23]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557
(21)).
[24]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no.
13).
[25]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i
(III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau menshahîhkannya,
dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[26]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah (no.
4012), ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam
Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari Sahabat Abu Umamah z . Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 490).
[27]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab:
Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad
(III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm z .
[28]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2822, 6365, 6370, 6390)
dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[29]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075), dari
Sahabat az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu anhu.
[30].Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1044), Abu Dawud (no. 1640),
Ibnu Khuzaimah (no. 2361), dan selain mereka.
[31]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) dan Muslim (no.
1040), dari Sahabat Ibnu ‘Umar c . Lafazh ini milik Muslim.
[32]. Lihat Syarah Shahîh Muslim (VII/130) oleh Imam an-Nawawi rahimahullah .
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni t dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).
Pertama : Mencintai Orang-Orang Miskin Dan Dekat Dengan Mereka.
Wasiat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tujukan untuk Abu Dzar ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tertuju juga kepada kita semua.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang ia jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyinggung hal ini dalam sabdanya:
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam Ibnul-Atsir rahimahullah berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.”[14]
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda:
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?
Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.
Dalam berdakwah di jalan Allah Ta’ala, banyak orang yang menolak, mencela, dan lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang disampaikan. Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka mencela, maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan dakwah yang haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.
Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar tidak meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta hukum asalnya adalah haram. Seorang Muslim harus berusaha makan dengan hasil keringatnya sendiri, dengan usaha kita sendiri, dan bukan dari usaha dan belas kasihan orang lain. Seorang Muslim harus berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena Allah yang akan menolongnya.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud (no. 1631), dan an-Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr Ibni Katsir (III/90).
[3]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid). Dari Sahabat Abu Hurairah.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007) dan Muslim (no. 2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 4126), ‘Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab (no. 1000), dan selain keduanya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 308) dan Irwâ`ul Ghalîl (no. 861).
[6]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts (II/385) oleh Imam Ibnul-Atsir.
[7]. HR an-Nasâ`i (VIII/265, 268) dan al-Hakim (I/531).
[8]. Hadits hasan shahîh. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2353, 2354) dan Ibnu Majah (no. 4122), dari Abu Hurairah. Lihat Shahîh Sunan at-Tirmidzi (II/276, no. 1919).
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini miliknya, at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan oleh at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,”Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il –yakni Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits ini hasan shahîh’.” Dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyalahu anhu . Di akhir hadits, Rasulullah bersabda:
إِنَّهَا حَقٌّ، فَادْرُسُوْهَا وَتَعَلَّمُوْهَا.
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari (hafalkan), dan perdalamlah.
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu .
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i (II/669, no. 2978).
[12]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6490), Muslim (no. 2963), at-Tirmidzi (no. 2513), dan Ibnu Majah (no. 4142), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[13]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2346), Ibnu Majah (no. 4141), dan al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad (no. 300), dan selainnya. Dari ‘Ubaidullah bin Mihshan Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2318).
[14]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[15]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud (no. 1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma.
[16]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[17]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim (no. 2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini milik Muslim.
[18]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[19]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[20]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim (no. 2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[21]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[22]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85), an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/409-410,439, 451).
[23]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557 (21)).
[24]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no. 13).
[25]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i (III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau menshahîhkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[26]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah (no. 4012), ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari Sahabat Abu Umamah z . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 490).
[27]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm z .
[28]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2822, 6365, 6370, 6390) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[29]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075), dari Sahabat az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu anhu.
[30].Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1044), Abu Dawud (no. 1640), Ibnu Khuzaimah (no. 2361), dan selain mereka.
[31]. Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) dan Muslim (no. 1040), dari Sahabat Ibnu ‘Umar c . Lafazh ini milik Muslim.
[32]. Lihat Syarah Shahîh Muslim (VII/130) oleh Imam an-Nawawi rahimahullah .
Komentar