Bolehkah Berdoa Selain Bahasa Arab Ketika Sujud dan Bagaimana Doa Yang Di Anjurkan Nabi Saat Sujud Terakhir?
Doa Sujud Selain
Bahasa Arab
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Barakallahu fik, Ustadz.
Ada pertanyaan yang saya ingin tanyakan. Apakah boleh,
jika dalam keadaan sujud dalam shalat dan setelah tasyahud akhir sebelum salam,
saya berdoa memakai bahasa
Indonesia? Karena saya tidak bisa berbahasa Arab. Apakah bisa
membatalkan shalat saya, jika saya berdoa memakai bahasa Indonesia? Jazakallahu khairanatas jawabannya, Ustadz.
Fakhri Noerand (fakhri**@yahoo.***)
Jawaban:
Ulama berselisih pendapat tentang hukum berdoa ketika
sujud dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Mazhab Hanafiyah menganggap
bahwa berdoa dengan selain bahasa Arab, baik ketika shalat maupun di luar
shalat, adalah makruh, karena Umar bin Khattab melarang “rathanatal a’ajim” (berbicara dengan selain bahasa arab).
Sementara, dalam Mazhab Malikiyah diharamkan untuk
berdoa dengan selain bahasa Arab yang maknanya jelas. Allah berfirman, yang
artinya, “Tidaklah
Kami mengutus seorang rasul pun kecuali (mereka berdakwah) dengan bahasa
kaumnya.” (Q.S. Ibrahim:4)
Dalam Mazhab Syafi’iyah, masalah ini dirinci. Mereka
menjelaskan bahwa berdoa dalam shalat ada dua: doa yang ma’tsur (terdapat
dalam Alquran dan hadis) dan doa yang tidak ma’tsur (tidak
ada dalam Alquran dan hadis). Doa yang ma’tsur tidak
boleh diucapkan dengan bahasa lain, selain bahasa Arab.
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah
ini adalah diperbolehkan berdoa dengan menggunanakan bahasa selain bahasa Arab.
Pendapat ini dikuatkan oleh Komite Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa Arab
Saudi. Dalam suatu kesempatan, mereka ditanya, “Bolehkah seseorang berdoa dalam shalatnya
dengan bahasa apa pun? Apakah ini membatalkan shalat?”
Mereka menjawab, “… Seseorang diperbolehkan berdoa
kepada Allah di dalam shalatnya dan di luar shalatnya dengan menggunakan bahasa
Arab atau selain bahasa Arab, sesuai dengan keadaan yang paling mudah menurut
dia. Ini tidaklah membatalkan shalatnya, ketika dia berdoa dengan selain bahasa
Arab. Namun, ketika dia hendak berdoa dalam shalat, selayaknya dia memilih doa
yang terdapat dalam hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ….” (Fatwa Lajnah Daimah,
volume 24, nomor 5782)
Sementara itu, Syekh Abdul Karim Al-Hudhair menyatakan
bahwa seseorang boleh berdoa dengan selain bahasa Arab jika dia tidak mampu
berbicara dengan bahasa Arab. Setiap muslim dituntut untuk mempelajari bahasa
Arab, sekadar sebagai bekal untuk beribadah dengan sempurna. (Fatwa Syekh Abdul Karim Al-Hudhair, no. 4337)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Di antara do’a yang ringkas namun penuh makna adalah
do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakr. Do’a tersebut adalah: ‘ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN
KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN
‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR RAHIIM (Ya Allah, sungguh aku telah
menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada
yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan
suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang)
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq, beliau berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَلِّمْنِى
دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ :اللَّهُمَّ إِنِّى
ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ،
فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ
الرَّحِيمُ »
“Ajarkanlah aku suatu do’a yang bisa aku
panjatkan saat shalat!” Maka Beliau pun berkata, “Bacalah: ‘ALLAHUMMA INNII
ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA
FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR RAHIIM (Ya
Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang
banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.
Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah
aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ‘.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705)
Faedah dari hadits ini:
Pertama:
Dianjurkan untuk membaca do’a ini sebelum salam. Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin mengatakan bahwa do’a ini bisa jadi dibaca ketika sujud atau setelah
tasyahud akhir (sebelum salam).
Kedua:
Setiap orang pasti memiliki kekurangan, sampai pula pada orang yang disifati
Shiddiq semacam Abu Bakr. Oleh karena itu, tidak selayaknya seorang pun lalai
dari beristighfar atau memohon ampunan pada Allah.
Ketiga:
Ketika bertaubat dan memohon ampunan Allah hendaklah disertai dengan mengakui
setiap dosa yang telah dilakukan.
Keempat:
Dianjurkannya mencari ilmu dari orang alim sebagaimana yang dilakukan oleh Abu
Bakr pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima: Hendaklah
ketika memulai do’a dimulai dengan pengakuan terhadap keadaan dirinya yang
faqir (butuh pada Allah) dan penuh dosa. Inilah di antara wasilah dalam
berdo’a. Sebagaimana pula dilakukan oleh Nabi Musa ‘alaihis salam sebagaimana disebutkan dalam ayat,
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Ya
Rabbku, sesungguhnya aku sangat faqir yaitu memerlukan sesuatu kebaikan yang
Engkau turunkan kepadaku” (QS. Al Qoshshosh:
24)
Keenam:
Yang mengampuni dosa hanyalah Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ
“Dan
siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?” (QS. Ali Imron: 135)
Seandainya seluruh manusia bersatu untuk mengampuni
satu dosa saja dari seorang hamba, tentu mereka tidak mampu. Karena yang
mengampuni dosa hanyalah Allah.
Ketujuh:
Meminta ampunan dan rahmat Allah berkaitan dengan nama Allah Al Ghofur (Maha
Pengampun) dan Ar Rohiim (Maha Penyayang). Oleh karena itu, ketika berdo’a
hendaklah permintaan dalam do’a tersebut disesuaikan dengan nama dan sifat
Allah yang sesuai.
Referensi:
Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish
Sholihin, Salim bin ‘Ied Al Hilali, cetakan Dar
Ibnul Jauzi, jilid II, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub
Al ‘Ilmiyyah, jilid IV, cetakan ketiga, tahun 1424 H
Selesai disusun di Pangukan-Sleman di saat turun
berkah air dari langit, Kamis, 15 Jumadal Awwal 1431 H (29/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Komentar