Kenapa Go Pay
Bukan Riba?
Haram
atau halalkah transaksi Go Pay, Paytren, OVO, dan e-Money lainnya? Sebelum
mengambil kesimpulan hukum, baiknya pahami dahulu alur transaksi dan akadnya.
Sharianews.com. Ada
Hadits Dho'if yang dipake oleh sebagian Ustadz untuk mengharam-haramkan salah
satu alur transaksi Alat Pembayaran Elektronik seperti Go Pay, OVO, Paytren,
serta berbagai jenis e-Money lainnya. Hadits Dho'if tersebut adalah:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
Artinya,"Setiap pinjaman yang mengalirkan
manfaat adalah Riba".
Hadits Dho'if ini juga dijadikan pedoman oleh Sayyid Abu Bakar
bin Sayyid Muhammad Syatho dalam Kitab I'anah ath Thalibin Syarah Fath al Mu'in
Juz 3, halaman 53 ketika menjelaskan Riba dalam Qardh (Pinjaman) dengan
pernyataan,
واما القرض بشرط جر نفع لمقرض
ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا
"Adapun ketika ada akad Qardh atau akad Pinjaman yang
bersyarat aliran manfaat bagi pemberi pinjaman, maka akad ini fasid (batil
alias rusak), berdasarkan khabar (Hadits Dho'if), "Setiap pinjaman yang mengalirkan
manfaat adalah Riba."
Para Ustadz mengharamkan sebagian skema pada alat pembayaran
online tersebut oleh karena adanya diskon atau hadiah atau manfaat sejenisnya
yang muncul akibat adanya akad Pinjaman pada saat dilakukan top up saldo alat
pembayaran online tersebut. Pengharaman ini berdasarkan pada Hadits Dho'if
tersebut di atas.
Memahami
alur transaksi akad e-Money
Pertanyaan besarnya, benarkah akad yang terjadi pada saat
konsumen melakukan pengisian atau top up saldo alat pembayaran elektronik
tersebut adalah pinjaman, atau akad lainnya? Mari kita urai satu demi satu.
Pertama, pihak
Go Jek sebagai pemilik fitur Go Pay tidak pernah menyebut skema pengisian saldo
Go Pay sebagai Pinjaman dari Konsumen kepada pihak Go Jek. Oleh sebab itu,
cegahlah untuk serta-merta menghukumi dan menghakimi bahwa top up saldo Go Pay
adalah aktivitas pinjam meminjam.
Oleh karena pihak Go Jek atau penerbit kartu e-Money tersebut
tidak menyebutnya dengan aktivitas pinjaman dari konsumen kepada pihak Go Jek,
maka untuk sementara tashowwur valid skema
top up Go Pay tidak memungkinkan bisa disebut ada Riba Qardh (Riba atas
Pinjaman).
Kedua, pada
kondisi Go Pay bukan e-Money, maka tashowwur-nya lebih mudah
lagi, yakni terjadilah jual beli manfa'ah (akad ijarah) pada saat top
up saldo dan akad jual beli pesanan manfaat (akad ijarah maushufah fi dzimmah)
pada saat konsumen pesan beli jasa atau akad jual beli pesanan barang (bay'
maushuf fi dzimmah) pada saat konsumen pesan beli barang.
Skemanya sama seperti isi pulsa alat bayar Go Pay, sehingga pada
saat top up saldo, terjadilah akad beli pulsa buat aplikasi Go Pay. Oleh karena
skemanya adalah beli manfaat atas pulsa, maka semua janji bonus atau diskon
atau hadiah atau manfaat sejenisnya untuk konsumen, tidak merupakan Riba.
Oleh karena akadnya adalah beli pulsa saldo Go Pay, maka uang
yang digunakan konsumen untuk beli saldo Go Pay tersebut boleh saja
dipergunakan oleh penerbit (Go Jek), asalkan saldo Go Pay tetap bisa
dipergunakan sebagaimana mestinya sejumlah saldo yang tersisa.
Bahkan, boleh juga ada cash back. Catat baik-baik
bahwa penggunaan istilah cash back ini ada
dalam transaksi jual beli. Dengan demikian, ketika ada skema cash
back pada Go Pay, maka semakin valid bahwa top up saldo Go Pay
menggunakan skema jual beli manfa'ah (ijarah).
Akad
pada e-Money sebagai akad pinjaman
Ketiga, Fatwa DSN MUI No. 116 tahun 2017 tentang Uang Elektronik
alias eMoney menjelaskan bahwa akad yang dipergunakan pada eMoney adalah akad
titipan atau akad pinjaman. DSN menggunakan pernyataan bahwa akad yang
dipergunakan adalah akad titipan atau akad pinjaman, namun tidak menutup
peluang adanya kemungkinan bisa menggunakan akad lain.
Ketika akadnya titipan yang tidak dipergunakan, maka tidak
berlaku hukum pinjaman, sehingga adanya janji bonus atau hadiah atau manfaat
lain buat konsumen, tidak bisa disebut ada Riba.
DSN MUI juga mengatur bahwa ketika titipan tersebut dipergunakan
oleh pihak penerbit, maka berlaku hukum pinjaman. Alfazh dan mabani-nya
adalah titipan, maqashid dan ma'ani-nya adalah
pinjaman.
Faktanya, skema e-Money ini tidak menggunakan sistem
pinjam-meminjam. Perhatikan alur akuntansi e-Money di perbankan bahwa saldo
e-Money tidak bisa dijadikan sebagai Dana Pihak Ketiga, sehingga saldonya valid
tidak bisa dipergunakan oleh penerbit.
Dengan demikian semakin terang benderang bahwa e-Money di
perbankan dan e-Money pada umumnya, tidak memungkinkan terjadi riba
qardh oleh karena saldonya tidak akan dipergunakan oleh
penerbit. Saldonya sewaktu-waktu bisa diambil dan dipergunakan transaksi oleh
konsumen.
Keempat,
perhatikan esensi skema e-Money. Meskipun alfazh (lafazh) dan mabani (alur)nya
adalah titipan yang tidak dipergunakan oleh pihak yang dititipi, namun maqashid (maksud)
dan ma'ani (makna)nya
adalah Bay
Manfaah oleh karena terjadi tukar-menukar (jual beli) antara
uang dengan pulsa alias saldo Go Pay yang bisa dipergunakan untuk jual beli
pesan barang atau manfaat.
Penentuan hukum seperti ini sama halnya ketika ada titipan kok
dipergunakan oleh pihak yang dititipi, maka terjadi hukum qardh (pinjaman).
Jika demikian yang terjadi, maka semua kontrak titipan yang dipergunakan (wadiah yad
dhamanah) berlaku hukum qardh (pinjaman).
Perhatikan pula bahwa saldo e-Money ini tidak bisa dipergunakan
belanja di manapun, kecuali merchant atau toko
atau e-commerce tertentu
sesuai aturan penerbit e-Money tersebut. Oleh sebab itu, hal ini semakin
mempertegas bahwa skema e-Money ini merupakan Jual Beli Fasilitas (Manfa'ah).
Bandingkan juga dengan skema tabungan titipan di Bank Syariah.
Selain akadnya memang valid sebagai akad titipan yang dipergunakan (wadiah
yad dhamanah) dengan bukti valid saldonya otomatis diakui sebagai
Dana Pihak Ketiga, dana tersebut juga bisa diuangkan sewaktu-waktu. Sedangkan
saldo Go Pay, Paytren, OVO dan e-Money lainnya tidak bisa diuangkan
sewaktu-waktu.
Hati-hati
dalam haram-mengharamkan
Kelima, hati-hati jika ingin mengharamkan urusan Muamalah.
Menurut Ibnu Katsir, mengatakan Riba atas jual beli yang sah, merupakan
perilaku musyrik. Hal ini disebabkan karena hukum asal dari Syariat Islam
bidang Muamalah adalah boleh, sampai ada dalil keharamannya.
Buat Anda yang ahli fikih, jika Anda bukan ahli tashowwur (tidak
paham alur transaksi kontemporer, tidak pernah jadi praktisi, tidak paham SOP
alias aturan baku sebuah perusahaan, tidak paham akuntansi, tidak paham
perbankan, tidak paham sistem keuangan), cegahlah untuk berani
mengharam-haramkan suatu transaksi muamalah di bidang keuangan. Bisa sesat
menyesatkan.
Terlebih lagi buat Anda yang awam, cegahlah diri untuk
mengharam-haramkan suatu transaksi muamalah, sebab risikonya masuk perilaku
musyrik. Paling aman, tawadhu aja kepada Ulil Amri, yakni Ulama Dewan dan Umara
Dewan.
Berdasarkan uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa Go Pay dan
sejenisnya, bukan riba. Silahkan pergunakan alat pembayaran elektronik atau
uang elektronik tersebut, silahkan nikmati promonya, hadiahnya, bonusnya dan
manfaatnya. Jangan lupa gunakan rekening Bank Syariah ketika melakukan
pengisian saldo e-Money tersebut.
Semoga uraian ini bermanfaat dan barakah. Amin. Wallahu
a'lam. (*)
Oleh:
Ahmad lfham Sholihin
Go-Pay Dan Ovo Haram?
Tren transaksi
keuangan secara elektronik melalui Go-Pay dan Ovo ternyata menyisakan persoalan
terkait kehalalannya. MUI sejak tahun 2017 sudah mengeluarkan fatwa terkait
transaksi menggunakan uang elektronik ini. Dalam fatwanya tersebut MUI
memberikan rambu-rambu agar uang elektronik tidak masuk kategori haram.
Status
uang elektronik pada asalnya halal sebagaimana uang kartal (kertas dan logam)
karena sama-sama sebagai alat pembayaran yang sah. Akan tetapi ketika uang
elektronik itu disimpan di satu lembaga keuangan baik itu bank atau lembaga
non-bank seperti Go-Jek, Grab, dan Telkom, maka statusnya tidak jauh beda
dengan menyimpan uang kartal di lembaga keuangan seperti bank. Prinsip-prinsip
akad syari’ah tidak boleh diabaikan. Fatwa-fatwa para ulama internasional
termasuk MUI tentang haramnya hukum menabung di bank atau lembaga keuangan
konvensional harus dijadikan pertimbangan oleh umat Islam.
Uang
elektronik sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 20
tahun 2018 adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh
pemegang kepada penerbit.
- Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server
atau chip.
- Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan
penerbit uang elektronik tersebut
- Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh
penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan.
Uang
elektronik dibagi menjadi dua, yakni uang elektronik berbasis chip, umumnya
berbentuk kartu seperti e-money, flazz, dan brizzi yang biasa digunakan untuk
pembayaran e-toll. Jenis kedua yakni uang elektronik berbasis server, biasanya
berbentuk aplikasi seperti Go-Pay, Ovo, dan LinkAja (yang diterbitkan oleh Bank-bank
BUMN beserta Telkom dan Pertamina).
Peraturan
BI yang menyebutkan bahwa uang elektronik “bukan merupakan simpanan sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan” mungkin bisa
dibenarkan jika merujuk uang elektronik berbasis chip. Akan tetapi jika yang
dimaksud berlaku juga untuk uang elektronik berbasis server tampaknya tidak
demikian karena pada faktanya uang elektronik seperti Go-Pay, Ovo, dan LinkAja
berwujud “dompet digital”, yakni sebagai simpanan yang bisa digunakan untuk
transaksi di luar Go-Jek, Grab, dan Telkom.
Dalam
hal ini, fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tahun 2017 nomor 116/DSN-MUI/IX/20I7
juga menyatakan adanya akad simpanan dalam uang elektronik ini. Fatwa tersebut
dengan tegas menyatakan: “Akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik
adalah akad wadi’ah atau akad qardh.” Akan wadi’ah adalah
akad titipan/simpanan dimana pihak penerbit tidak boleh menggunakan uang
tersebut. Sementara akad qardl adalah akan
pinjam-meminjam/utang-piutang dimana penerbit boleh menggunakan uang tersebut.
Lebih lengkapnya tentang akad wadi’ah dan qardl tersebut,
fatwa MUI menjelaskan:
Dalam
hal akad yang digunakan adalah akad wadi’ah, maka berlaku ketentuan
dan batasan akad wadi’ah sebagai berikut:
- Jumlah
nominal uang elektronik bersifat titipan yang dapat diambil/digunakan
oleh pemegang kapan saja;
- Jumlah
nominal uang elektronik yang dititipkan tidak boleh digunakan oleh
penerima titipan (penerbit), kecuali atas izin pemegang kartu;
- Dalam
hal jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan digunakan oleh
penerbit atas izin pemegang kartu, maka akad titipan (wadiah)
berubah menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab
penerima titipan sama dengan tanggung jawab dalam akad qardh.
- Otoritas
terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana titipan dari
pemegang kartu (dana float).
- Penggunaan
dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan
peraturan pemndang-undangan.
Tampak
jelas MUI memberikan ketegasan hukum bahwa pihak penerbit tidak boleh
menggunakan uang elektronik yang dititipkan tersebut. Sebagai contoh, Bank
Mandiri tidak boleh menggunakan uang e-toll yang ada di kartu yang
diterbitkannya. Demikian halnya Go-Jek tidak boleh menggunakan saldo Go-Pay customernya.
Jika Go-Jek turut menggunakan saldo Go-Pay customernya maka akadnya, tegas MUI,
otomatis berpindah menjadi qardl (pinjam-meminjam/utang-piutang).
Dalam hal tersebut MUI menyatakan: “Maka akad titipan (wadiah)
berubah menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab penerima
titipan sama dengan tanggung jawab dalam akad qardh.” Maksudnya
pihak penerbit uang elektronik wajib memenuhi ketentuan yang berlaku dalam
akad qardl secara umum.
Lebih
jelasnya MUI menerangkan lebih lanjut tentang akad qardl dalam
uang elektronik sebagai berikut:
Dalam
hal akad yang digunakan adalah akad qardh, maka berlaku ketentuan
dan batasan akad qardh sebagai berikut:
- Jumlah nominal uang elektronik bersifat utang
yang dapat diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja.
- Penerbit dapat menggunakan (menginvestasikan)
uang utang dari pemegang uang elektronik.
- Penerbit wajib mengembalikan jumlah pokok
piutang pemegang uang elektronik kapan saja sesuai kesepakatan;
- Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam
penggunaan dana pinjaman (utang) dari pemegang kartu (dana float).
- Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syari’ah dan peraturan perundang-undangan.
Dalam
hal ini masyarakat sebenarnya belum tahu jelas bagaimana akad antara pemegang
saldo Go-Pay dengan pihak perusahaan Go-Jek; apakah simpanan (wadi’ah)
ataukah pinjaman (qardl). Hanya secara logika dinilai mustahil jika uang
Go-Pay yang jumlahnya miliaran atau bahkan triliunan tidak dimanfaatkan oleh
Go-Jek. Kalaupun jelas akadnya pasti qardl, masyarakat dalam
hal ini costumer Go-Pay juga belum tahu berapa persen uang mereka yang
dimanfaatkan oleh perusahaan Go-Jek? Apakah sudah sesuai dengan “batasan
minimal” sebagaimana dianjurkan oleh fatwa MUI di atas? Demikian halnya
“batasan minimal”-nya itu berapa juga belum jelas, karena memang peraturannya
juga tidak diketahui oleh masyarakat khususnya pemegang saldo Go-Pay. Termasuk
siapa pihak otoritas terkait yang wajib mengawasi dan membatasi penggunaannya,
apakah BI ataukah OJK, dan bagaimana pengawasannya?
Maka
dari itu tidak heran kalau kemudian lahir kontroversi di tengah-tengah
masyarakat. Pihak pertama, adalah para ulama yang membolehkan
bertransaksi dengan uang elektronik semisal Go-Pay, tetapi dengan ketentuan
yang ketat. Di antara ketentuannya itu adalah tidak boleh menerima bunga dalam
bentuk diskon potongan harga. Alasannya, akad antara Go-Pay dengan pemilik uang
adalah qarld (pinjaman), dan dalam pinjaman tidak boleh ada
kelebihan yang diberikan oleh peminjam (dalam hal ini Go-Pay) kepada yang
meminjamkan (dalam hal ini pemilik saldo Go-Pay). Jika ada kelebihan yang
diberikan oleh peminjam, maka termasuk bunga atau riba.
Para
ulama kelompok ini menolak mentah-mentah asumsi bahwa saldo Go-Pay itu
bukan qardl, melainkan wadi’ah biasa sehingga
dinilai sama dengan jual beli uang di muka (salam). Dalam jual beli uang
di muka sudah jelas akad jual belinya terjadi, sementara dalam Go-Pay, ketika
pemilik saldo melakukan Top Up (mengisi saldo) akad jual belinya belum terjadi.
Jadi tidak tepat dinilai wadi’ah, yang tepat adalah qardl. Kalaupun
mau diasumsikan sebagai jual beli uang di muka untuk layanan-layanan yang
disediakan Go-Jek, tetap disangsikan sebab faktanya saldo Go-Pay hari ini bisa
juga digunakan untuk membayar transaksi jual beli di luar layanan yang
disediakan Go-Jek, misalnya untuk berbelanja di minimarket. Jadi unsur qardl-nya
lebih jelas daripada unsur wadi’ah-nya.
Sementara
pihak kedua menilai bahwa transaksi dengan menggunakan Go-Pay
atau Ovo itu tidak ubahnya dengan jual beli uang di muka. Deposit atau saldo
yang ada dalam Go-Pay itu adalah pembayaran di muka untuk semua layanan yang
akan dibeli dari Go-Jek. Kalaupun kemudian ada potongan harga, itu merupakan
discount yang wajar karena bayarnya di muka. Ketika pembayaran dilakukan di
muka, otomatis pihak penjual bisa menggunakan uang tersebut lebih cepat untuk
digunakan modal kembali atau setidaknya dinikmati keuntungannya lebih awal,
sehingga wajar jika ada potongan harga yang diberikan kepada pembayar uang di
muka. Status Go-Pay/Go-Jek dalam hal ini harus ditempatkan sebagai penjual,
bukan sebagai bank. Jika seorang penjual memberikan discount untuk pembayaran
transaksi di muka, maka ini dipandang sebagai sesuatu yang halal, bukan sebagai
bunga sebagaimana halnya dalam perbankan.
Kalaupun
kemudian Go-Pay bisa digunakan dalam transaksi di minimarket maka itu
akadnya ijarah (pembayaran biasa), sebagaimana kartu e-toll
yang dibayarkan jasa tol atau digunakan membayar di EDC yang tersebar di
beberapa toko. Atau sebagaimana dijelaskan fatwa MUI akadnya bisa ju’alah (semacam
imbalan) atau wakalah bil-ujrah (mewakilkan dan kemudian
memberi upah).
Akan
tetapi penjelasan pihak kedua ini tetap belum mampu
menjelaskan ketidakjelasan (syubhat) yang diuraikan di atas. Seperti,
apakah benar bisa dipastikan bahwa akad antara Go-Jek dengan pemegang saldo
Go-Pay itu hanya wadi’ah dan bukan qardl? Siapa
yang bisa menentukan dan otoritas mana yang mengawasinya? Ketika faktanya lebih
berat kepada qardl, apakah masih bisa diklaim sebatas wadi’ah biasa?
Tidak
sampai di situ, MUI masih memberikan rambu-rambu lainnya, yaitu:
Dalam
penyelenggaraan uang elektronik, penerbit dapat mengenakan biaya layanan
fasilitas uang elektronik kepada pemegang dengan ketentuan sebagai berikut:
- Biaya-biaya layanan fasilitas harus berupa
biaya riil untuk mendukung proses kelancaran penyelenggaraan uang
elektronik; dan
- Pengenaan biaya-biaya iayanan fasilitas harus
disampaikan kepada pemegang kartu secara benar sesuai syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rambu-rambu
ini berlaku ketika ada potongan saldo Go-Pay, Ovo, atau LinkAja dari pihak
penerbit. Potongannya untuk apa harus jelas. Jika itu untuk biaya administrasi,
apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku?
Penyelenggaraan
dan penggunaan uang elektronik wajib terhindar dari :
- Transaksi yang ribawi, gharar, maysir,
tadlis, risywah, dan israf:, dan
- Transaksi atas objek yang haram atau maksiat.
Fatwa
ini tertuju pada pihak pemegang saldo Go-Pay dan sejenisnya. Jika transaksi
yang dilakukan adalah transaksi-transaksi yang haram, maka otomatis haram.
Demikian juga tertuju kepada pihak penerbit Go-Pay dan sejenisnya, harus
dipastikan tidak ada unsur riba dan semacamnya yang haram. Untuk yang terakhir
ini tidak bisa dipastikan kecuali jika sudah ada labelisasi syari’ah dari Dewan
Syariah Nasional (DSN) MUI. Jika belum ada, berarti syubhat (tidak jelas halal
haramnya).
Ketentuan
Khusus
- Jumlah nominal uang elektronik yang ada pada
penerbit harus ditempatkan di bank syariah.
- Dalam hal kartu yang digunakan sebagai media
uang elektronik hilang maka jumlah nominal uang yang ada di penerbit
tidak boleh hilang.
Untuk
aturan yang terakhir ini, lebih nyata lagi syubhatnya atau bahkan haramnya,
ketika faktanya Go-Jek dan Grab tidak menempatkan uangnya di bank syari’ah.
Apalagi LinkAja yang nyata-nyata diterbitkan oleh bank-bank konvensional.
Kesimpulannya,
transaksi menggunakan kartu uang elektronik seperti e-toll hukumnya halal.
Sementara transaksi menggunakan Go-Pay, Ovo, dan LinkAja banyak mengandung
unsur syubhat-nya. Nabi saw mengharuskan setiap muslim
bersikap wara’ dengan meninggalkan perkara yang syubhat. Hal-hal
yang syubhat ini bisa hilang jika pihak Go-Jek, Grab, Telkom,
Himbara, dan semacamnya menempuh lisensi syari’ah sebagaimana diatur dalam
fatwa MUI di atas. Wal-‘Llahu a’lam.
Apakah Riba Jika Menggunakan
Fitur Go-Pay dari Go-Jek?
Untuk melihat bagaimana status akad pada go-pay, kita
simak dulu FAQ yang diberikan oleh go-pay,
GO-PAY adalah dompet virtual untuk menyimpan GO-JEK
Credit Anda yang bisa digunakan untuk membayar transaksi di dalam aplikasi
GO-JEK.
Saldo GO-PAY bisa digunakan untuk membayar biaya
pengantaran dan/atau biaya produk yang digunakan di dalam aplikasi GO-JEK
seperti GO-RIDE, transport untuk GO-BUSWAY, membeli makanan di GO-FOOD,
membayar produk belanja di GO-MART, proses pindah barang di GO-BOX, dan
pengiriman barang dengan GO-SEND.
Jika saya tidak mau menggunakan layanan GO-JEK lagi
tapi masih memiliki sisa saldo GO-PAY, apakah sisa saldonya bisa saya uangkan?
#Jawab
Saldo GO-PAY untuk saat ini tidak bisa diuangkan.
Sumber: www.go-pay.co.id/faq/id
Melihat ketentuan yang diberikan pihak gojek, akad
yang terjadi bukan utang piutang, tapi pembayaran akad ijarah yang disegerakan.
Berdasarkan ketentuan di atas, ada beberapa bukti yang
menunjukkan bahwa pembayaraan go pay bukan utang piutang,
[1] Go-pay merupakan dompet untuk membayar semua
transaksi di dalam aplikasi GO-JEK
[2] Go-pay tidak bisa diuangkan atau dikembalikan.
Artinya, pihak gojek tidak menerima pembatalan akad, bagi yang sudah beli
voucher go pay.
Ini berbeda dengan akad utang piutang. Dalam akad
utang piutang, uang yang kita serahkan kepada penerima utang, harus
dikembalikan, dan selama uang itu masih ada, tidak akan hangus sampai dilunasi.
Dalam Fiqh Sunah disebutkan definisi utang (Qardh),
القرض
هو المال الذي يعطيه المقرض للمقترض ليرد مثله إليه عند قدرته عليه
Utang adalah harta yang diberikan oleh orang yang
menghutangi kepada orang yang menerima utang, untuk dikembalikan dengan yang
semisal, ketika dia mampu membayar. (Fiqh Sunah, Sayid Sabiq, 3/144).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
ancaman bagi orang yang berutang, sementara dia tidak mau mengembalikannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِى
نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ
ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ
الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ
Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya.
Seandainya ada seseorang yang terbunuh di jalan Allah, lalu dia dihidupkan
kembali, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, lalu dia dihidupkan kembali,
kemudian terbunuh lagi (di jalan Allah), sementara dia masih memiliki utang,
maka dia tidak masuk surga, sampai utangnya dilunasi.’” (HR. Nasa’i 4701 dan
Ahmad 22493)
Sebagian ulama memahami bahwa hadis di atas berlaku
untuk orang yang berutang dengan niat tidak mau melunasinya.
Ash-Shan’ani menyebutkan salah satu pendapat tentang
hadis di atas,
ويحتمل
أن ذلك فيمن استدان ولم ينو الوفاء
“Ada yang memahami bahwa ini berlaku bagi orang yang
utang namun dia tidak berniat untuk melunasinya. (Subulus Salam, 3/51)
Selanjutnya kita akan melihat ketentuan ijarah…
Pada prinsipnya, yang ditawarkan gojek adalah jual
beli jasa transportasi. Hanya saja, dikemas dengan lebih up to date,
memaksimalkan pemanfaatan IT, dan kebutuhan pelanggan. Tidak ada beda dengan
media transportasi lainnya.
Karena itu, objek transaksi dalam akad ijarah adalah
jasa layanan transportasi.
Bolehkah dalam akad ijarah, uang dibayarkan lebih dulu
sebelum jasa diberikan?
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
وما
دامت الإجارة عقد معاوضة فيجوز للمؤجّر استيفاء الأجر قبل انتفاع المستأجر، …
كما يجوز للبائع استيفاء الثّمن قبل تسليم المبيع، وإذا عجّلت الأجرة تملّكها
المؤجّر اتّفاقاً دون انتظار لاستيفاء المنفعة
Selama ijarah berupa akad muawadhah (berbayar) maka
boleh bagi penyedia jasa meminta bayaran (upah) sebelum memberikan layanan
kepada pelanggan… sebagaimana penjual boleh meminta uang bayaran (barang yang
dijual) sebelum barangnya diserahkan. Jika upah sudah diserahkan maka penyedia
jasa berhak untuk memilikinya sesuai kesepakatan, tanpa harus menunggu
layanannya diberikan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 1/253).
Ini seperti akad salam. Transaksi uang dibayar tunai,
barang menyusul. Hanya saja, objek transaksi akad salam adalah barang. Konsumen
beli barang, uangnya dibayar tunai di depan, namun barang datang satu atau dua
bulan kemudian.
Masyarakat kita banyak melakukan transaksi ini,
seperti e-Toll atau e-money untuk pembayaran beberapa layanan yang disediakan
oleh penyelenggara aplikasi. Akadnya adalah jual beli, dengan uang dibayarkan
di depan, sementara manfaat/layanan baru didapatkan menyusul sekian hari atau
sekian waktu kemudian.
Bolehkah ada diskon?
Bolehkah ada diskon?
Kita lakukan perbandingan dengan akad salam.
Diantara keuntungan konsumen ketika mengadakan akad
salam adalah konsumen mendapatkan barang dengan harga murah. Dan penjual
mendapat modal untuk membeli barang dagangan lebih cepat.
Ibnu Qudamah keterangan ulama akan bolehnya salam
قال
ابن المنذر : أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على أن المسلم جائز ولأن المثمن
في البيع أحد عوضي العقد فجاز أن يثبت في الذمة كالثمن
Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Para ulama yang saya kenal
sepakat bahwa akad salam hukumnya boleh.’ Karena barang adalah salah satu objek
transaksi, sehingga boleh ditangguhkan sebagaimana pembayaran.
Lalu beliau menyebutkan hikmah dibolehkannya Salam,
ولأن
الناس حاجة إليه لأن أرباب الزروع والثمار والتجارات يحتاجون إلى النفقة على
أنفسهم وليها لتكمل وقد تعوزهم النفقة فجوز لهم السلم ليرتفقوا ويرتفق المسلم
بالاسترخاص
Manusia sangat membutuhkan akad ini, karena pemilik
tanaman atau buah-buahan atau barang dagangan butuh modal untuk dirinya,
sementara mereka kekurangan modal itu. Sehingga boleh melakukan akad salam,
agar mereka bisa terbantu, dan konsumen mendapat manfaat dengan adanya diskon.
(Al-Mughni, 4/338).
Karena secara prinsip, pemilik barang berhak untuk
menentukan harga barangnya, selama harganya jelas. Penjual berhak memberikan
diskon, bagi konsumen yang membeli dengan pembayaran tunai di muka sebelum
barang diserahkan.
Bagi penjual, dia mendapat modal lebih cepat,
sementara pembeli mendapat barang dengan harga murah.
Sebagaimana ini berlaku pada barang, ini juga berlaku
untuk jasa. Sehingga boleh saja bagi konsumen yang memiliki credit go pay
mendapatkan diskon dari pihak penyedia aplikasi…
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Tulisan diatas diambil dari: https://konsultasisyariah.com/29181-go-pay-itu-riba.html
Komentar