Gelombang PHK Di Negeri Agraris ?
- Kategori : Entrepreneurship
- Published on Saturday, 13 February 2016 06:30
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Isu
 gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kini tengah menjadi perdebatan
 antara unsur pekerja dan unsur pemerintah. Unsur pekerja wajar 
mengkawatirkan adanya gelombang PHK dan bahkan bisa mulai menghitungnya 
dari sejumlah besar perusahaan yang diduga akan melakukan PHK dalam 
beberapa bulan kedepan. Unsur pemerintah nampak menolak isu adanya 
gelombang PHK ini dengan berbagai alasan yang dimilikinya. Tetapi lebih 
penting dari perdebatan ini semua,  adakah upaya untuk mencegah atau setidaknya mengantisipasi gelombang PHK ini  ?
Pertama
 yang perlu diketahui secara objective oleh semua pihak yang terkait 
adalah apakah ancaman PHK itu real, atau sekedar kekhawatiran yang tidak
 beralasan ?
Saya
 melihat setidaknya ada dua hal yang menjadikan ancaman gelombang PHK 
itu real. Pertama adalah harga minyak yang jatuh, ini akan mengancam 
kelangsungan ketersediaan lapangan pekerjaan di sektor migas dan 
industri lain yang menjadi substitusi dari produk-produk berbasis migas.
Ini
 bukan hanya terjadi di Indonesia, industri perminyakan di seluruh dunia
 mengalami ancaman ini. Menurut analisa comprehensive yang dilakukan 
oleh konsultan di bidang ini Graves & Co, tahun 2015 lalu saja telah
 terjadi sekurangnya PHK sebanya 258,000 tenaga kerja di seluruh 
industri perminyakan dunia. Tahun ini diperkirakan akan terus berlanjut 
karena harga minyak yang masih terus di rezim yang rendah.
Selain
 ancaman PHK di industri perminyakan, kita yang di Indonesia juga tidak 
bisa menganggap enteng ancaman PHK yang disebabkan secara langsung 
maupun tidak langsung dari berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN sejak 
awal tahun ini.
Tidak
 mengherankan bila (seolah-olah) tiba-tiba saja sejumlah industri 
merencanakan relokasi pabrik ke negeri lain yang lebih menarik dari 
berbagai sisinya, tanpa harus kehilangan pasar besar di Indonesia yang 
memiliki lebih dari 40% pasar consumer ASEAN.
Akibat
 dari MEA ini tiba-tiba saja tenaga kerja kita harus secara langsung 
mampu bersaing dengan tenaga kerja di bidang sejenis dari seluruh negara
 ASEAN, yang sebenarnya demikian pula para pengusahanya. Bedanya adalah 
bagi para pengusaha – sebagian mereka – bisa dengan mudah memindahkan 
unit usahanya ke negara ASEAN lainnya, sementara tidak demikian  dengan para pekerja.
Jadi
 ancaman MEA bagi para pengusaha tidak separah ancamannya terhadap para 
pekerja. Bahkan bagi sebagian pengusaha, MEA menjadi –peluang baru untuk
 memindahkan unit usaha atau pabriknya ke negeri-negeri yang paling 
kondusif untuk kelancaran usahanya.
 Tingkat
 threat atau tekanan yang berbeda ini lebih mudah digambarkan dengan 
ilustrasi kursi patah kaki. Ini berdasarkan rumus fisika P=F/A 
(P=Tekanan, F=Gaya, A=Luas Penampang). Ketika empat kaki kursi semua 
bersama menyangga beban gaya, keempat kakinya stabil dan beban 
terdistribusi merata.
Tingkat
 threat atau tekanan yang berbeda ini lebih mudah digambarkan dengan 
ilustrasi kursi patah kaki. Ini berdasarkan rumus fisika P=F/A 
(P=Tekanan, F=Gaya, A=Luas Penampang). Ketika empat kaki kursi semua 
bersama menyangga beban gaya, keempat kakinya stabil dan beban 
terdistribusi merata.
Ketika
 salah satunya patah, maka beban ke kursi yang tidak patah menjadi jauh 
lebih besar – itupun kalau kursi masih bisa bertahan untuk tidak roboh !
Tiga
 kaki kursi yang tidak patah tersebut adalah posisi yang dihadapi para 
pekerja, sedang kaki yang patah adalah posisi pengusaha industri 
tertentu yang dengan mudah hengkang ke negeri lainnya tanpa harus 
kehilangan pasarnya di negeri ini.
Walhasil
 dengan dua hal tersebut di atas saja – rendahnya harga minyak dunia dan
 berlakunya MEA sejak awal tahun ini – saya melihat ancaman gelombang 
PHK itu real dan harus diantisipasi oleh seluruh pihak yang berkompeten.
Saya
 tentu tidak berpretensi bisa memberikan seluruh solusi untuk masalah 
besar tersebut, yang saya tawarkan hanya salah satu saja dari sekian 
banyak kemungkinan solusinya.
Yang saya tawarkan adalah me-redefine jati diri negeri ini,  ingin
 menjadi seperti apa negeri kita ini ? Bila definisi ini jelas dan 
dibangun berdasarkan kekuatan yang memang ada di negeri ini – maka 
dengan itulah kita akan mampu bersaing secara global dan mampu 
mempertahankan pekerjaan dan kemakmuran di negeri ini.
Redefinisi
 ini sebenarnya juga tidak susah-susah amat karena sejak kecil kita 
sudah banyak belajar bahwa negeri ini negeri agraris, negeri 
katulistiwa, negeri bahari dlsb. Mengapa tidak menguatkan jati diri kita
 ini saja ?
Ambil
 misalnya kita kuatkan jati diri kita sebagai negeri agraris bahari, 
maka dengan dua kekuatan biodiversity yang ada di darat dan laut kita – 
kita pasti bisa unggul kalau hanya bersaing di area MEA saja. Industri 
berbasis pertanian dan kelautan tidak serta merta bisa dipindahkan oleh 
para pengusahanya ke negeri lain karena sumber daya utamanya ada di 
negeri ini.
Negeri
 yang keunggulannya dibangun atas dasar kekuatan pertanian juga sama 
sekali tidak bisa dianggap enteng, karena berbasis pertanian inilah 
semua kebutuhan pangan, sandang dan bahkan papan kita dipenuhi. Artinya 
industri inilah yang bisa menjawab kebutuhan utama penduduk suatu 
negeri. 
Lebih
 jauh lagi, negeri yang baik menurut definisi Al-Qur’an-pun adalah 
negeri kebun yang penduduknya makan cukup dari kebun-kebun tersebut – 
negeri yang disebut Baldatun Thoyyibatun WaRabbun Ghafuur.
“Sesungguhnya
 bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka 
yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada 
mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) 
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang 
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". (QS 34:15)
Potensi
 untuk menjadi negeri yang baik itu ada di sekitar kita, tetapi malah 
kita sibuk mencari keunggulan kesana-kemari yang tidak kunjung ketemu 
dan berbuntut pada ancaman gelombang PHK di era MEA dan rezim harga 
minyak rendah dunia tersebut di atas.
Bila
 pertanian kita selama ini masih dilihat sebelah mata bahkan dunia 
perbankan-pun enggan mengucurkan dananya, bila masyarakat petani kita 
masih manjadi bagian dari kelompok masyarakat yang berdaya beli rendah –
 bisa jadi itu semua karena kita kurang meng-elaborasi peluangnya saja.
Tiga tahun lalu saya menulis “Petani Yang Mengendarai Lamborghini”
 memuat prediksi salah satu guru investasi dunia Jim Rogers, bahwa tidak
 berapa lama lagi yang mampu membeli mobil-mobil sekelas Lamborghini 
adalah para petani. Prediksi ini dibuat karena orang sekelas Jim Rogers 
bisa melihat peluang di dunia pertanian tersebut.
Saya-pun
 bisa melihat peluang yang sama, bahkan lebih dari itu saya mengenal 
secara pribadi beberapa tokoh pertanian yang sudah berada di kelas yang 
diprediksi oleh Jim Rogers tersebut. Mereka tidak perlu membeli 
Lamborghini meskipun mereka mampu melakukannya. Dan salah satu yang saya
 kenal tersebut exactly mantan korban perampingan industri perminyakan 
tahun 1990-an !
Peluang-peluang semacam inilah yang antara lain akan dielaborasi dalam workshop dua hari Integrated Organic Farming di Tawangmangu
 bulan depan. Workshop semacam ini bisa menjadi persiapan terbaik bagi 
para perusahaan yang merencanakan mem-PHK karyawannya, atau para 
karyawan sendiri yang belum tahu what to do menghadapi ancaman PHK. 
Selain
 untuk para pemula di dunia pertanian, workshop ini juga untuk para 
petani atau pengusaha pertanian kawakan sekalipun yang stuck dengan 
berbagai kendala yang dihadapi saat ini seperti kendala pasar, kendala 
modal dlsb.
Maka
 inilah kontribusi kami dalam mengantisipasi gelombang PHK dan ancaman 
ekonomi lainnya, sekaligus membaliknya menjadi peluang untuk membangun 
keunggulan negeri yang dari dulu by default sudah kita sebut sebagai 
negeri agraris ini. Insyaallah.
 
Komentar