Bisnis Diskotik Dari Perspektif Hukum, Etika dan Agama

Bisnis Diskotik Dari Perspektif Hukum, Etika dan Agama

Baru-baru ini, pemberitaan dari Tempo membuat geger masyarakat. Seorang polisi wanita, Inspektur Satu Rita, terbukti mengkonsumsi ekstasi setelah dilakukan tes urine terhadapnya. Rita yang sebelumnya bertugas di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Jakarta Selatan ini menkonsumsi ekstasi di sebuah diskotik dan kini telah dicopot dari jabatannya. Juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, mengatakan hasil tes urine terhadap Rita menyatakan ia mengkonsumsi amphetamine yang terkandung dalam ekstasi. “Dia juga mengaku pakai ekstasi pada Sabtu, 10 Maret kemarin, di Stadium,” kata Rikwanto di Markas Polda Metro Jaya pada Selasa, 13 Maret 2012.
Sebelumnya, kasus yang lebih menggegerkan pernah terjadi. Seperti yang sempat diberitakan dkinews.com dimana pengendara xenia maut Avriani Susanti yang menewaskan Sembilan warga di Tugu Tani, Jakarta positif menggunakan narkoba saat berkendara. Berdasarkan keterangan Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Nugroho, tersangka membeli  dan mengonsumsi narkoba jenis ekstasi di diskotik Stadium, Hayam Wuruk, Jakarta Barat pada Minggu dini hari kemarin.
Dua contoh diatas hanya sedikit dari banyaknya kasus yang berawal dari sebuah tempat hiburan yang biasa disebut diskotik. Sebelumnya sudah sangat banyak terjadi pelanggaran hukum di tempat ini. Baik yang terekspos media maupun tidak. Narkoba, kekerasan, perkelahian, pemerasan, prnografi dan pornoaksi hingga pembunuhan seringkali terjadi di tempat ini. Sehingga tak salah bila persepsi masyarakat terbentuk bahwa diskotik merupakan sarang berbagai tindak kejahatan. Ironisnya, pemerintah terkait seolah tak mampu berbuat banyak akan hal ini.
Diskotik di Indonesia sudah berdiri sejak lama. Sebagai hasil dari budaya hedonis barat, diskotik begitu cepat tumbuh. Keterbukaan Indonesia atas investasi dari luar negeri dalam berbagai sektor khususnya hiburan menjadi salah satu penyebab menjamurnya diskotik. Di Jakarta saja, ratusan diskotik telah berdiri. Dari yang kelas remang-remang sampai kelas eksekutif.
Sebagai bagian dari industri hiburan legal, diskotik memang sudah diatur sedemikian rupa oleh undang-undang maupun peraturan daerah. Dan setiap daerah tampaknya berbeda satu sama lain. di Jakarta misalnya, terdapat Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 21 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan diskotik. Di Banjarmasin ada Peraturan Walikota Banjarmasin Nomor 15 tahun 2005 tentang operasionalisasi tempat hiburan malam. Dan peraturan demi peraturan kesemuanya mengerucut kepada upaya pemerintah untuk mengontrol tempat hiburan ini agar tidak melanggar pidana seperti narkoba, prostitusi, pornoaksi dan lain sebagainya.
Fakta di lapangan tampaknya berbeda dengan cita-cita pemerintah yang tercantum dalam peraturan yang dibuat. Diskotik menjadi sarang tindak kejahatan. Seperti dua contoh diatas. Diskotik menjadi tempat transaksi narkoba yang begitu leluasa. Razia demi razia sering dilakukan namun yang terjaring seringkali hanya pengguna narkoba yang notbene adalah ‘korban’ dari narkoba itu sendiri. Para pengedar khusunya pengedar besar justru seringkali lolos dari usaha penangkapan. Wajar adanya apabila kemudian muncul pertanyaan dalam benak masyarakat: “Jangan-jangan ada oknum tertentu yang melindungi tempat-tempat hiburan dan para pengedar”.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat-tempat hiburan khususnya diskotik ada oknum pelindungnya. Sebut saja anggota Kei yang akhir-akhir ini heboh di media massa. Tidak hanya sipil yang ikut dalam bisnis ini. Oknum aparat pun seringkali disebut-sebut ikut terlibat. Dengan memanfaatkan jabatan, aparat ini kerap meminta fee kepada pengusaha dengan imbalan diskotik mereka aman dari gangguan. Pengedar pun demikian. Seringkali mereka membayar fee kepada oknum aparat dengan jaminan aman dalam transaksinya. Keterlibatan oknum-oknum ini terutama aparat layaknya musuh dalam selimut pemerintah dalam upaya membersihkan diskotik dari potensi kejahatan. Bahkan keterlibatan aparat inilah yang membuat diskotik terus-menerus menjamur hingga saat ini serta membuat kejahatan demi kejahatan di bisnis hiburan terus menerus meningkat. Lantas bagaimana mungkin pemerintah mampu menegakkan aturan-aturannya jika alat negaranya saja justru melindungi kejahatan.
Sebagai tempat hiburan, diskotik memainkan peran penting dalam berbagai kasus kejahatan seperti yang telah diutarakan diatas. Namun pemerintah tidak semerta-merta melarang pemberian izin dengan alasan tersebut untuk pengusaha yang ingin terjun dalam bisnis ini. Izin masih diberikan tentu dengan peraturan yang ketat dan pajak yang tinggi. Pertanyaannya lantas bagaimana terjun dalam bisnis tempat hiburan ditinjau dari perspektif hukum, etika dan agama?
Secara hukum, jelas bahwasanya bisnis tempat hiburan adalah legal. Bahkan dilindungi oleh undang-undang. Perdebatan akan muncul jika bisnis ini ditarik dalam ranah etika dan agama. Kita semua paham, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan budaya ketimuran yang kuat. Ada nilai-nilai kesopanan, saling tolong menolong dan hormat menghormati antara sesama manusia. Nilai-nilai ini dipegang tidak hanya dalam lingkup interaksi sosial masyrakat pada umunya, tetapi juga dalam berbisnis. Artinya, dalam bisnis sekalipun ada nilai kesopanan dan norma sosial yang dipegang. Jika tidak, maka individu dianggap telah melakukan tindakan amoral dalam lingkungannya. Sesuatu yang tidak ada dalam masyarakat barat.
Dari sudut pandang etika masyarakat, berbisnis dalam industri hiburan khususnya diskotik adalah sesuatu yang melanggar etiak / norma ketimuran yang menjunjung tinggi nilai kesopanan dan kemanusiaan. Sebagai tempat yang memfasilitasi hal-hal yang menjadi penyakit masyarakat seperti minuman beralkohol dan wanita-wanita penghibur yang berpakaian seksi, tentu saja membuat diskotik ini wajar apabila menjadi ‘musuh’ masyarakat. Dan orang-orang yang terlibat dalam bisnis ini merupakan orang-orang yang merusak nilai-nilai yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat indoneisa.
Sayangnya, semakin menjamurnya tempat-tempat hiburan di Indonesia membuat anggapan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai melupakan nilai-nilai ketimuran semakin benar adanya. Masyarakat Indonesia semakin mnyingkirkan isu-isu sosial dan lebih mementingkan keuntungan duniawinya semata. Uang menjadi nomor satu. Tak peduli apakah ia melakukan sesuatu yang benar atau tidak dari sudut pandang etika kemasyarakatan.
Setali tiga uang dengan sudut pandang etika / norma kemasyarakatan, pendekatan agama dalam memahami bisnis diskotik juga menghasilkan pandangan yang negatif. Sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, Islam sudah sangat sering mengungkapan larangan-larangan kegiatan tertentu seperti mabuk-mabukan, perkelahian, perzinahan dan lain sebagainya. Dan diskotik justru menyediakan itu atau paling tidak mendukung hal tersebut.
Nyaris tidak ada perdebatan mengenai halal / haram terjun dalam bisnis diskotik. Dan mayoritas ulama setuju bahwa bisnis diskotik adalah haram. Hal tersebut tidak terlepas dari kaidah islam itu sendiri yang menyatakan bahwa ketika kita memiliki sebuah simbol, maka sebenarnya kita adalah bagian dari simbol itu sendiri. Artinya adalah, bahwa kaidah diatas dapat dianalogikan seperti bisnis diskotik atau bisnis haram lainnya. Diskotik adalah fasilitator atau media tempat terjadinya tindakan pidana maupun asusila. Dan semua orang pasti menyadari hal tersebut. Dan sangat naïf jika masih ada yang mengatakan tidak. Ketika kita menyediakan fasilitas tersebut, itu berarti kita menyetujui tindakan-tindakan yang ada di dalamnya. Itu berarti ketika kita berbisnis dalam dunia diskotik dan tempat hiburan lain yang sejenis, kita sebenarnya menjadi bagian dari transaksi narkoba, perzinahan dan lain sebagainya. Dan itu merupakan dosa besar dimata Allah.
Akhirnya, kita mendapatkan sebuah gambaran besar betapa perkembangan bisnis tempat hiburan khususnya diskotik sangat mengkhawatirkan dan menjadi ironi mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya menganut agam Islam dan juga budaya ketimuran yang kental menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berbisnis. Namun bisnis tersebut haruslah tidak melanggar kaidah-kaidah islam seperti narkoba, alkohol, prostitusi, pornografi dan lain sebagainya. Diskotik sebagaimana diketahui secara luas menyediakan hal-hal tersebut. Dan itu artinya secara otomatis bisnis diskotik menjadi bisnis yang ditolak secara norma maupun agama.

Komentar

TOBA4D mengatakan…
Hai Gan... Artikel Yang Sangat Bagus dan Memberikan Informasi Yang Bermanfaat..^^
Terima Kasih^^
Dan Mohon Untuk Izin Comment yah Gan^^

MickeyMouse
Bandar Togel
TOBA4D
SLOT GAMES
SGP TOGEL
Bandar Togel
Hongkong Pools
Casino Online