Sistem Ekonomi Islam
Sistem
Ekonomi Islam (SEI) bangkit di tengah belantara Sistem Ekonomi
Konvensional (SEK). Kebangkitannya perlahan-lahan di tengah hegemoni
SEK, yang sudah hampir dua abad terakhir mendominasi sistem ekonomi
dunia. Karenanya tidak mengherankan, terminologi “Ekonomi” yang yang
dipakai dalam istilah “Ekonomi Islam” hingga saat ini masih mengacu
kepada terminologi “Ekonomi Konvensional”. Demikian pula, isi Ilmu
Ekonomi Konvensional, yang terurai menjadi ilmu-ilmu cabang dan berbagai
spesialisasinya, secara garis besar diadopsi ke dalam Ilmu Ekonomi
Islam. Dampak dari adopsi itu, kerangka dan penjabaran Ilmu Ekonomi
Islam disesuaikan dengan Ilmu Ekonomi Konvensional. Buktinya, walaupun
pembahasannya disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, dalam menilai
kinerja SEI yang menjadi tempat dituangkannya Ilmu Ekonomi Islam,
dibahas pula kondisi Ekonomi Mikro dan Ekonomi Makro yang sebenarnya
merupakan cabang utama Ilmu Ekonomi Konvensional.
Ilmu
Ekonomi Konvensional membahas segala hal yang meliputi produksi,
distribusi, pertukaran, serta konsumsi barang dan jasa. Kedua cabang
utama Ilmu Ekonomi Konvensional: Ekonomi Mikro dan Ekonomi Makro,
membahas ekonomi tersebut dari dua sisi yang berbeda dan berlawanan.
Ekonomi Mikro membahas ekonomi dari sisi entitas individual seperti:
individu, rumah tangga, perusahaan, atau pasar; sedemikian sehingga dari
bahasan ini terbangun analisis ekonomi secara keseluruhan
(nasional/internasional). Sedangkan Ekonomi Mikro mengawali dengan
membahas ekonomi secara keseluruhan (nasional/internasional) untuk
dianalisis dan diambil keputusannya dalam mengendalikan entitas
individual.
Ilmu Ekonomi Konvensional memulai bahasannya dari asumsi kelangkaan sumber daya (scarcity of resources)
baik berbentuk barang maupun jasa, sehingga manusia harus memanfaatkan
sumber daya tersebut secara efisien. Kelangkaan dan efisiensi (scarcity and eficiency)
ini menjadi tema kembar dari Ilmu Ekonomi Konvensional. Asumsi ini
berdasarkan kenyataan bahwa apapun yang diinginkan seluruh manusia
berupa barang atau jasa, tersedia dalam jumlah yang terbatas, sehingga
harus dimanfaatkan secara efisien. Ilmu Ekonomi hadir untuk menjawab
kenyataan kelangkaan sumber daya ini, lalu merancang cara pemanfaatannya
yang paling efisien. Dalam pengaturan pemanfaatan sumber daya yang
langka secara efisien, muncul tiga pertanyaan mendasar dari organisasi
ekonomi: komoditas apa yang akan diproduksi dan berapa banyak, bagaimana
komoditas ini diproduksi, serta untuk siapa komoditas tersebut
diproduksi.
Agar
dapat menjawab tiga pertanyaan tersebut, harus dipilih input dan output
ekonomi yang bersesuaian. Input ekonomi adalah barang atau jasa yang
dibutuhkan untuk memproduksi output (yang juga bisa berupa barang atau
jasa). Input ekonomi dapat pula disebut sebagai faktor produksi yang
dapat diuraikan dalam tiga kategori: tempat (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital).
Sedangkan output ekonomi adalah variasi barang atau jasa yang
dihasilkan dari proses produksi. Dalam hal input dan output ini, tiga
pertanyaan diulang menjadi: output apa yang akan diproduksi dan berapa
banyak, bagaimana memproduksinya – yaitu dengan teknik apa input
dikombinasikan untuk menghasilkan output yang diharapkan, serta untuk
siapa output tersebut diproduksi dan didistribusikan.
Dalam
Ilmu Ekonomi Konvensional, untuk menentukan komoditas (barang atau
jasa) yang akan diproduksi atau dikonsumsi, individual dihadapkan kepada
pertimbangan-pertimbangan costs and benefits, marginal cost and marginal benefits, serta opportunity cost, yang akan membawa kepada supply and demand, serta market forces dan akhirnya market equilibrium.
Sampai di sini, dari keseluruhan pertimbangan dan aktifitas di atas,
konsep yang bekerja untuk menjawab adalah konsep Ekonomi Mikro.
Karenanya, dapat dipahami, komponen-komponen yang menjadi inti dalam
pembahasan Ekonomi Mikro adalah supply, demand, dan market equilibrium.
Keseluruhan
argumentasi yang membangun konsep ekonomi mikro terkesan sangat logis.
Ekonomi akan membawa individu meraih kepuasan dalam konsumsi atau
produksi secara maksimal melalui mekanisme pasar. Dengan kata lain,
Ekonomi Mikro Konvensional dibangun untuk meraih tujuan maksimalisasi
kepuasan individu melalui mekanisme pasar. Kondisi ekonomi pasar seperti
itu kental mewarnai Eropa pada abad 19. Praktek ekonomi pasar yang
leluasa tak dapat menghalangi kalangan investor berkapital besar (kaum
kapitalis) untuk melakukan praktek monopoli, oligopoli, atau praktek
lain yang membuat mekanisme pasar berjalan tidak sempurna.
Praktek-praktek ini dapat muncul dan mendominasi proses mekanisme pasar
yang jika terus berjalan dapat mengakumulasi perekonomian menuju
depresi. Dan ketika depresi besar ekonomi dunia terjadi (dengan
puncaknya di tahun 1930-an yang dimulai di Amerika Serikat), para ekonom
konvensional menyadari bahwa mekanisme pasar yang menjadi bagian dari
teori Ekonomi Mikro Konvensional belum mampu membawa semua individu
meraih kemakmuran bersama.
Demi
mengatasi depresi besar, Ilmu Ekonomi Konvensional melengkapi dirinya
dengan konsep Ekonomi Makro. Ada dua tema sentral Ekonomi Makro: (1)
fluktuasi output, tenaga kerja, dan harga dalam jangka pendek, yang
disebut siklus bisnis (business cycle); (2) kecenderungan output dan standar kehidupan dalam jangka panjang, yang dikenal sebagai pertumbuhan ekonomi (economic growth).
Dua tema sentral ini diproses dalam Ekonomi Makro untuk dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan, diantaranya: mengapa output dan tenaga kerja
produktif kadang-kadang mengalami penurunan dan bagaimana mengurangi
pengangguran; apa sumber inflasi harga dan bagaimana mengendalikannya;
serta bagaimana negara meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Ekonomi
Makro berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan
memformulasikan tujuan yang hendak diraih dan instrumen untuk meraih
tujuan tersebut. Tujuan utama Ekonomi Makro adalah: pertumbuhan output
yang tinggi dan cepat, tingkat pengangguran yang rendah, serta tingkat
harga yang stabil. Instrumen utama Ekonomi Makro dalam meraih tujuannya
adalah: menentukan kebijakan moneter berupa pengaturan perputaran uang
dan suku bunga, serta kebijakan fiskal berupa pengaturan anggaran
belanja dan perpajakan.
Pada
kenyataannya praktek Ekonomi Makro akan berlawanan dengan praktek
Ekonomi Mikro yang di antaranya mempunyai doktrin maksimalisasi kepuasan
individu dan laissez-faire. Maka, pelaksanaan Ekonomi Makro
Konvensional akan selalu mengalami tarik ulur dengan pelaksanaan Ekonomi
Mikro Konvensional. Praktek Ekonomi Makro dan Mikro yang saling
berlawanan memunculkan istilah “ekonomi positif” dan “ekonomi normatif”.
Ekonomi positif cenderung bebas nilai, obyektif, dan membawa muatan
konsep Ekonomi Mikro. Sedangkan Ekonomi Normatif cenderung mengandung
nilai-nilai, subyektif, dan membawa muatan konsep Ekonomi Makro.
Pelaksanaan ekonomi normatif akan meminta pengorbanan dari pelaksanaan
ekonomi positif. Dalam hal ini sering terjadi perseteruan antara kaum
kapitalis dengan pemerintah, ketika pemerintah menjalankan ekonomi
normatif.
Meskipun
memiliki kerangka isi yang sama, SEK dan SEI mengandung
perbedaan-perbedaan mendasar. Perbedaan utama antara SEK dan SEI
terletak pada paradigmanya. Khursid Ahmad menuliskan bahwa paradigma
ilmu ekonomi konvensional di masa kini memiliki dua karakteristik utama.
Pertama, ilmu ekonomi berkembang terintegrasi di sekitar inti
kepentingan individu, usaha privat, mekanisme pasar, serta motif mencari
keuntungan, dengan berusaha memecahkan semua persoalan ekonomi dalam
matriks kerangka individu ini. Kedua, paradigma tersebut pada hakikatnya
memutus hubungan antara ilmu ekonomi dan persoalan-persoalan
transendental dan keprihatinan terhadap etika, agama, dan nilai-nilai
moral. Kedua paradigma di atas sangat sekuler, bersifat keduniaan,
positivistik, dan pragmatis, serta jelas tidak islami.
Secara
mendasar, SEK tidak memasukkan peran serta Tuhan, Sang Pencipta, di
mana seharusnya pelaku ekonomi mendasarkan tingkah laku ekonominya
sebagai wujud pengabdian kepada-Nya. SEK bersifat netral, bebas dari
nilai-nilai pengabdian kepada Sang Pencipta, serta tidak memposisikan
langkah-langkahnya dalam rangka mengabdi kepada Sang Pencipta tersebut.
Berdasarkan
paparan di atas, dalam bahasa yang lebih lugas, sebenarnya paradigma
SEK secara dominan mengakomodasi sifat serakah manusia, individu maupun
kolektif, tanpa adanya batasan nilai-nilai. Apalagi praktek lembaga
keuangan sistem ekonomi ini dilandasi oleh mekanisme bunga (interest).
Maka lengkaplah, universalitas nilai-nilai kebersamaan, saling tolong
menolong, dan mengutamakan kesederhanaan, dikalahkan oleh maksimalisasi
kepuasan individu yang berdampak kepada kecintaan terhadap gaya hidup
mewah, tingginya persaingan yang saling menjatuhkan, serta kecurigaan
yang membangkitkan perselisihan. Semakin jelas, bahwa secara mendasar
paradigma SEK harus dirombak total.
Meskipun
Ekonomi Makro telah dirumuskan yang di antaranya dituangkan dalam
praktek ekonomi normatif, akan tetapi pelaksanaannya seringkali
berbenturan dengan ekonomi positif yang didominasi Ekonomi Mikro.
Pencapaian tujuan positif dan mikroekonomi diraih melalui penekanan
maksimalisasi kekayaan, kebebasan individu, dan netralitas nilai, yang
semuanya sejalan dengan pandangan sekularis. Sementara, pencapaian
tujuan normatif dan makroekonomi, walaupun nampak humanitarian,
sebenarnya lebih karena pemaksaan oleh pemerintah yang seakan terpaksa
pula karena telah dipilih oleh rakyat. Dalam hal ini kebijakan fiskal
menjadi satu-satunya cara yang dilakukan oleh pemerintah dengan tingkat
kepatuhan yang semu. Keseluruhan proses di dalam sistem ekonomi
konvensional di atas selalu berpotensi membangkitkan stagflasi yang akan membawa kepada depresi-depresi ekonomi berikutnya.
Berdasarkan
pengalaman jatuh bangunnya perekonomian yang dilandasi SEK para sarjana
Muslim mengajukan SEI. Di dalam sistem ekonomi Islam yang memiliki
acuan dasar al-Quran, al-Sunnah, serta Ijtihad (ijma’ dan Qiyas) ini,
eksistensi Tuhan berada pada posisi puncak, di mana segala sesuatu
dikembalikan kepada-Nya. Segala sesuatu berdasarkan ketuhanan, yaitu
sistem yang bertitik tolak dari-Nya, bertujuan akhir kepada-Nya, dan
menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat-Nya, atau sistem ini
berlandaskan kepada tauhid.
Monzer
Kahf menjabarkan interpretasi tauhid sebagai landasan filosofis sistem
ekonomi Islam sebagai berikut. Pertama, dunia termasuk isinya merupakan
milik Allah swt. Pengakuan kepemilikan individual secara tidak terbatas
(seperti pada doktrin kapitalisme yang diadopsi sistem ekonomi
konvensional) merupakan sebuah pengingkaran kepada kekuasaan Allah swt.
Manusia hanya berlaku sebagai khalifah-Nya di muka Bumi yang harus
mengabdi kepada-Nya dan bertindak adil kepada manusia lain. Kedua, Allah
swt itu Esa, dan semua manusia adalah sama di hadapan-Nya. Tidak
dikenal si kaya dan si miskin atau si kuat dan si lemah, yang membedakan
hanya ketakwaan masing-masing. Karena persamaan itu manusia dituntut
menjalin kebersamaan dan persaudaraan yang saling tolong menolong dalam
kegiatan ekonomi. Ketiga, keimanan kepada hari akhir, yang membawa
manusia untuk selalu mempertimbangkan tingkah lakunya, khususnya dalam
kegiatan perekonomian, karena setiap tindakan akan ada ganjarannya di
akhirat.
Sebagian
sasaran dan fungsi SEI dinyatakan oleh Chapra yaitu: (a) kesejahteraan
ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja penuh dan laju
pertumbuhan ekonomi yang optimal; (b) keadilan sosioekonomi serta
distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata; (c) stabilitas nilai
mata uang; (d) mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan
perekonomian dalam suatu cara yang adil; serta (e) memberikan semua
bentuk pelayanan yang efektif di setiap lembaga ekonomi. Rumusan sasaran
dan fungsi ini boleh jadi sama dengan yang berlaku dalam SEK. Akan
tetapi, tetap ada perbedaan penekanan yang signifikan dalam komitmen
kepada nilai-nilai spiritual, keadilan sosioekonomi, dan persaudaraan
kemanusiaan.
Kini
di semester kedua 2008 dan seterusnya, SEK dihadapkan kembali kepada
ancaman resesi ekonomi dunia. Akibat SEK ini yang sudah mengglobal,
dampak resesi ekonomi ini segera menjalar ke seluruh dunia. Maka SEI
haruslah cepat bangkit mengambil alih hegemoni ekonomi dunia. Wallahu
A’lam.
Yadi Nurhayadi
Juni 2008
Komentar