PASAR MODAL SYARIAH: LANDASAN HUKUM DAN KRITIK ATAS KINERJANYA

PASAR MODAL SYARIAH:
LANDASAN HUKUM DAN KRITIK ATAS KINERJANYA

1. Pendahuluan
            Kita tengah membicarakan sebuah produk pemikiran, produk budaya, sekaligus produk globalisasi yang diadopsi dari Sistem Ekonomi Konvensional (SEK), yaitu Pasar Modal Syariah (PMS). Awal mula kemunculan PMS dominan terinspirasi oleh Pasar Modal Konvensional (PMK). Walaupun telah menerapkan pola syariah, dan secara umum –sejak dioperasikan hingga kuartal pertama tahun 2008– mengalami pertumbuhan positif, indeks harga saham di PMS tetap dipengaruhi fluktuasi harga saham di PMK. Ini menunjukkan bahwa para investor di PMS pada dasarnya memiliki motivasi dan potensi untung rugi yang hampir sama dengan investor di PMK.
            Pasar modal mengambil peran besar yang turut memperumit perekonomian dunia dewasa ini. Didalamnya berbagai tindakan ekonomi bermunculan sebagai kreatifitas dan inovasi manusia yang menakjubkan. Menakjubkan karena melalui pasar modal berlangsung transaksi ekonomi bernilai fantastis yang dinamis, yaitu selalu berubah dari detik ke detik di saat prosesnya berlangsung. Transaksinya melibatkan berbagai instrumen, baik yang prosesnya halal maupun haram, secara bervariasi, campur aduk, dan rumit, dengan memanfaatkan teknologi informasi yang canggih.
            Pasar Modal merupakan salah satu ujung tombak perdagangan bebas yang menganut laissez faire yang selalu dikampanyekan oleh para petinggi negara maju kapitalis. Mereka –sebagai alat politik pengatur dunia yang dimanfaatkan para pemegang kapital– selalu menentang adanya intervensi pemerintah dalam proses perdagangan bebas, termasuk dalam aktivitas pasar modal. Padahal perdagangan bebas yang tidak mengenal nilai-nilai pengabdian kepada Tuhan berpotensi menimbulkan banyak keraguan dan pertanyaan. Diantaranya: (1) apakah sistem ini dapat berlaku bagi semua pihak untuk kepentingan dan kemakmuran bersama; (2) dapatkah sistem ini memacu pertumbuhan dan pembangunan; (3) apakah pembangunan di negara berkembang dapat meningkat, sehingga mampu menyamai pembangunan di negara maju; (4) apakah angka kemiskinan dan masalah kemiskinan menjadi berkurang; serta (5) bagaimana dampaknya terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
            Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di atas masih relevan bagi perdagangan bebas yang menganut nilai-nilai materialisme. Akan tetapi pada kenyataannya, jawaban pedagangan bebas atas pertanyaan-pertanyaan itu lebih banyak mengecewakan. Bukti yang jelas terlihat adalah makin tingginya kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, baik di dalam negara ataupun antarnegara. Jeff Faux, Presiden Economic Policy Institute di Amerika Serikat (AS), menyebutkan bahwa pada tahun 1980 pendapatan rata-rata 10 negara terkaya di dunia adalah 77 kali pendapatan 10 negara termiskin di dunia. Angka 77 ini kemudian meningkat menjadi 149 di tahun 1999. Demikian pula, pendapatan perorangan tidak jauh berbeda. Di tahun 1980 pendapatan 10% orang-orang terkaya di dunia adalah 70 kali pendapatan 10% orang-orang termiskin di dunia. Di tahun 1999 angka 70 ini sudah berlipat menjadi 122. Hasil studi UNDP menunjukkan bahwa 1% orang kaya di dunia pendapatannya sama dengan 57% orang miskin di dunia. Di AS, 10% penduduk terkayanya memiliki pendapatan sama dengan 43% penduduk miskin di dunia. Atau 25 juta penduduk terkaya di AS berpendapatan sama dengan 2 milyar penduduk bumi. Pendapatan 5% orang terkaya di dunia adalah 114 kali pendapatan 5% penduduk termiskin dunia.
            Bukti-bukti kesenjangan ekonomi yang semakin besar antara si kaya dan si miskin yang menunjukkan kegagalan perdagangan bebas di atas adalah juga bukti kegagalan SEK, termasuk PMK sebagai salah satu produknya. Lantas bagaimana dengan Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang salah satu produknya PMS mampu berkinerja untuk tidak mengalami kegagalan itu? Tulisan ini tidak akan menunjukkan bukti bahwa SEI dengan produknya PMS telah berhasil membawa kemakmuran dan kesejahteraan secara merata di dunia. Di tengah hegemoni SEK dengan PMK-nya, SEI dengan PMS-nya memang belum teruji karena belum berperan dominan dalam perekonomian dunia. Akan tetapi, tetaplah kebenaran syariah adalah kepastian bagi terwujudnya keadilan. Dalam rangka menunjukkan bahwa syariah memang membawa kepada janji keadilan, makalah ini akan memaparkan secara ringkas landasan teori dan hukum berbagai proses yang terjadi di dalam Pasar Modal Syariah, di mana nilai-nilai keadilan dijunjung tinggi dalam setiap transaksinya. Akan tetapi, makalah ini juga akan mengkritisi PMS atas kinerjanya mengesankan masih bermotif konvensional.
2. Berbagai Istilah Di Dalam Operasional Pasar Modal dan Sejarah Pasar Modal Syariah di Indonesia
            Ada banyak Istilah di dalam operasional pasar modal. Di lain pihak ada banyak pula istilah yang berkaitan dengan pasar modal. Misalnya, dalam lingkup yang lebih besar dari pasar modal ada istilah pasar keuangan (financial market). Lalu, ada pula istilah pasar uang (money market), pasar valuta asing (foreign exchange market), pasar komoditi berjangka, dan sebagainya. Istilah pasar modal (capital market) sendiri, berdasarkan kegiatannya, setara dengan istilah bursa (bourse) efek dan ada pula yang menyetarakan dengan pasar saham (stock market atau stock exchange). Di dalam operasional pasar modal itu, istilah-istilah yang penting antara lain: saham (stocks) atau ekuitas (equities), obligasi (bond), reksadana (mutual fund), dan derivatif (derivatives). Pada masing-masingnya diturunkan lagi banyak istilah.
            Keseluruhan istilah yang berkaitan dengan pasar modal ataupun istilah di dalam operasional pasar modal adalah produk pemikiran dari SEK. Semuanya mempunyai makna spesifik dan telah beroperasi dalam proses dinamis pasar keuangan konvensional, serta semuanya turut andil dalam memperumit perekonomian dunia. Istilah-istilah tersebut diadopsi ke dalam SEI dengan akad dan operasional yang dilandaskan kepada syariah. Tentunya dengan harapan, setelah berbagai operasionalnya dalam kerangka SEK berlabuh kepada berbagai kegagalan, maka ketika operasionalnya dilandaskan kepada syariah akan membawa kepada kemakmuran bersama dan keadilan.
            Pada praktek pasar modal di Indonesia, di dalam Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, selain berisi pengaturan operasional pasar modal di Indonesia, didefinisikan juga berbagai istilah berkaitan dengan pasar modal. Di antaranya dituliskan definisi pasar modal, efek, dan bursa efek. Menurut UU RI no. 8/1995, pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Sementara efek didefinisikan sebagai surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka.
            Berdasarkan definisi-definisi tersebut, masyarakat umum di Indonesia mengidentikkan pasar modal dengan bursa efek, atau bursa efek dengan stock exchange. Maka Bursa Efek Indonesia pun mempunyai nama internasional Indonesia Stock Exchange (IDX). Produk-produk yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia meliputi: saham (stock), obligasi (bond) yang terdiri dari obligasi korporasi dan obligasi pemerintah, serta beberapa derivatif.
            Sementara itu, di dalam operasional pasar modal syariah, berbagai istilah yang merupakan instrumen pasar modal haruslah menerapkan prinsip syariah. Konsekuensinya, berbagai instrumen yang tidak sesuai dengan prinsip syariah tidak dipraktekkan dalam operasional pasar modal syariah. Di antara instrumen yang tidak sesuai dengan prinsip syariah adalah berbagai instrumen derivatif. Sedangkan instrumen pasar modal yang masih mungkin disesuaikan dengan prinsip syariah, didefinisikan kembali dengan ditambahkan syarat mengikuti prinsip syariah. Instrumen-instrumen itu antara lain sebagai berikut. (1) Saham syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Fatwa DSN-MUI no. 40/2003, dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa. (2) Obligasi syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. (3) Reksadana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harga (shahib al-mal / rabb al-mal) dengan manajer investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan penggunaan investasi. (4) Efek beragun aset (EBA) syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas, serta aset keuangan setara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dan (5) Surat berharga komersial syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
            Sejarah pasar modal syariah di Indonesia sendiri dimulai dengan diterbitkannya salah satu instrumen pasar modal syariah yaitu reksadana syariah oleh PT. Danareksa Investment Management, pada tanggal 3 Juli 1997. Selanjutnya, pada tanggal 3 Juli 2000 Bursa Efek Indonesia bekerja sama dengan PT. Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) yang melisting 30 saham berbasis syariah.
            Operasional pasar modal syariah di Indonesia diluncurkan secara resmi pada tanggal 14 Maret 2003, bersamaan dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dengan Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Instrumen pasar modal syariah lainnya berupa obligasi syariah muncul dengan diterbitkannya obligasi syariah PT Indosat Tbk. di awal September 2002. Pada tahun 2004 untuk pertama kalinya terbit pula obligasi syariah ijarah dan tahun 2006 terbit reksadana syariah.
            Selain JII, berdasarkan keputusan Bapepam-LK berkoordinasi dengan DSN-MUI dikeluarkan Daftar Efek Syariah (DES) yang per 30 November 2007 mendaftarkan 20 obligasi syariah dan 172 saham syariah. Dengan Demikian, dari sejarahnya di atas, pasar modal syariah di Indonesia memiliki diferensiasi antara lain: (1) adanya saham-saham syariah, (2) adanya JII, (3) keberadaan obligasi syariah, (4) keberadaan reksadana syariah, dan (5) adanya DES.
3. Dasar Hukum dan Akad pada Operasional Pasar Modal Syariah
            Belum ada dasar hukum resmi mengenai operasional pasar modal syariah (PMS) di Indonesia yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Akan tetapi, untuk penerbitan obligasi syariah Pemerintah RI telah mengeluarkan UU RI no. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Keberjalanan PMS Indonesia sendiri dalam lingkup hukum resmi NKRI masih mengacu kepada dasar hukum bagi pasar modal konvensional (PMK) di Indonesia. Dasar hukum PMK Indonesia meliputi: (1) UU RI no. 8/1995 tentang Pasar Modal, (2) UU RI no. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), (3) UU RI no. 23/2002 tentang Surat Utang Negara, (4) Peraturan Pemerintah RI no. 45 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, (5) Peraturan Bapepam, (6) Peraturan Bursa Efek Indonesia, (7) Peraturan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSE), dan (8) Peraturan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI).
            Karena dasar-dasar hukum operasional pasar modal di atas belum menerapkan prinsi-prinsip syariah, maka dasar hukum penerapan prinsip syariah bagi operasional PMS masih disandarkan kepada enam fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan industri pasar modal. Enam Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan industri pasar modal tersebut antara lain: (1) fatwa no. 5/2000 tentang Jual Beli Salam, (2) fatwa no. 20/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah, (3) fatwa no. 32/2002 tentang Obligasi Syariah, (4) fatwa no. 33/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah, (5) fatwa no. 40/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, dan (6) fatwa no. 41/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
            Berdasarkan Fatwa DSN-MUI no. 40/2003 di atas, emiten yang berhak mengeluarkan efek syariah di PMS harus memenuhi kriteria berikut ini.
1.      Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
2.      Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 angka 1 di atas, antara lain:
a.       perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
b.      Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
c.       Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram;
d.      Produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat;
e.       Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya.
3.      Emiten atau perusahaan publik yang bermaksud menerbitkan efek syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas efek syariah yang dikeluarkan.
4.      Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi prinsip-prinsip syariah dan memiliki syariah compliance officer.
5.      Dalam hal emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai efek syariah.
            Karena pada dasarnya praktek muamalah itu berhukum mubah kecuali yang jelas dilarang dalam syariah, maka Fatwa DSN-MUI no. 40/2003 juga mendefinisikan transaksi-transaksi yang dilarang dalam operasional PMS. Transaksi-transaksi yang dilarang itu adalah sebagai berikut.
1.      Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat, dan kezaliman.
2.      Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat, dan kezaliman sebagaimana dimaksud di atas meliputi:
a.       najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
b.      bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling);
c.       insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam bentuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;
d.      menimbulkan informasi yang menyesatkan;
e.       margin trading, yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut;
f.        ikhtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain;
g.       dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.
            Karena adanya syarat kesesuaian syariah, maka emiten yang berhak listing dalam indeks syariah harus melalui proses screening (penyaringan). Misalnya proses penyaringan untuk JII dilakukan berdasarkan persetujuan Dewan Pengawas Syariah PT. Danareksa Investment Management dan penyaringan bagi DES berdasarkan keputusan Bapepam-LK berkoordinasi dengan DSN-MUI. Sementara itu, demi keterjagaan berbagai transaksi syariah di PMS Bursa Efek Indonesia, DSN-MUI berhak memperoleh informasi dari Bapepam atau pihak lain dalam rangka penerapan prinsip syariah di pasar modal.
            Jika kita amati aktivitas pasar modal secara cermat, banyak pihak yang terlibat di dalamnya, atau yang disebut pelaku pasar modal. Dalam garis besar, ada enam pihak yang menjadi pelaku pasar modal. (1) Emiten, yaitu badan usaha (Perseroan Terbatas) yang menerbitkan saham untuk menambah modal, atau menerbitkan obligasi untuk mendapatkan utang dari para investor di Bursa Efek. (2) Perantara Emisi, yang meliputi tiga pihak, meliputi: a) Penjamin Emisi (underwriter), yaitu perusahaan perantara yang menjamin penjualan emisi, dalam arti jika saham atau obligasi belum laku, penjamin emisi wajib membeli agar kebutuhan dana yang diperlukan emiten terpenuhi sesuai rencana; b) Akuntan Publik, yaitu pihak yang berfungsi memeriksa kondisi keuangan emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah dikeluarkan oleh emiten wajar atau tidak; c) Perusahaan Penilai (appraisal), yaitu perusahaan yang berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap emiten, apakah nilai aktiva emiten wajar atau tidak. (3) Badan Pelaksana Pasar Modal, yaitu badan yang mengatur dan mengawasi jalannya pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting) dari lantai bursa dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan pasar modal. Di Indonesia Badan Pelaksana Pasar Modal adalah BAPEPAM-LK yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Menteri Keuangan. (4) Bursa Efek, yakni tempat diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal yang didirikan oleh suatu badan usaha. Di Indonesia terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (BES) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya. Keduanya membentuk Bursa Efek Indonesia. (5) Perantara Perdagangan Efek, yaitu makelar (pialang/broker) dan komisioner yang hanya lewat kedua lembaga itulah efek dalam bursa boleh ditransaksikan. Makelar adalah perusahaan pialang (broker) yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan orang lain dengan memperoleh imbalan. Sedangkan komisioner adalah pihak yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan sendiri atau untuk orang lain dengan memperoleh imbalan. (6) Investor, adalah pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa efek dengan membeli atau menjual kembali efek tersebut.
            Keberadaan pelaku pasar modal secara lengkap di atas, tentunya demi keberjalanan pasar modal secara optimal. Akan tetapi tidak dapat diingkari, deretan pelaku pasar modal tersebut ditambah dengan berbagai instrumen pasar modal menunjukkan betapa rumitnya proses ekonomi yang terjadi dalam operasional pasar modal. Proses yang rumit itu harus dijalani pula oleh PMS. Maka dapat diperkirakan betapa akad-akad syariah yang harus diterapkan dalam jual beli sekuritas di pasar modal syariah akan beragam, bervariasi, dan tidak mustahil bercampur aduk. Patut diperhatikan pula, meskipun pasar modal adalah tempat di mana sekuritas diperjualbelikan, nyatanya bukanlah akad jual beli (tijarah) yang mengemuka di PMS.
            Akad-akad syariah yang kerap digunakan dalam operasional PMS adalah musyārakah, mudārabah (muqaradah), al-ijarah, salam, dan wakalah. Di dalam makalah ini selanjutnya, penulis akan memaparkan akad-akad tersebut secara ringkas dan dalam garis besarnya saja. Dari paparan ringkas tersebut diharapkan akan timbul diskusi yang akan lebih memahamkan kita tentang operasional PMS di Indonesia.
            Definisi musyārakah secara terminologi adalah transaksi yang dilakukan dua pihak dalam hal permodalan dan keuntungan. Ada pula yang mendefinisikannya sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Secara lebih lengkap musyārakah didefinisikan sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Akad musyārakah dalam operasional PMS antara lain digunakan dalam transaksi saham syariah dan obligasi syariah (sukuk), di mana pihak-pihak yang bersepakat di antaranya adalah investor dan emiten.
            Mudārabah (muqaradah) adalah pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pekerja (amil) untuk diperdagangkan dan mereka berkongsi keuntungan dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati bersama, adapun kerugian dijamin sendirian oleh pemilik modal. Dan mudarib (orang yang diberi modal) tidak menanggung/menjamin kerugian, tetapi ia rugi tenaga dan pemikiran. Dalam hal ini, kerugian tersebut bukan karena kelalaian mudarib. Akan tetapi, jika kerugian itu diakibatkan oleh kelalaian mudarib, maka ia harus mempertanggungjawabkan kerugian itu. Akad mudārabah dapat diterapkan baik di dalam transaksi saham syariah, sukuk, atau reksadana syariah. Dalam hal ini investor adalah pemilik modal dan emiten adalah mudarib-nya.
            Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atau pemanfaatan atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Kegunaan atau manfaat, terkadang berbentuk manfaat barang, seperti rumah untuk ditempati, atau mobil untuk dikendarai. Ada juga manfaat karena keahliannya menghasilkan karya, seperti penjahit, ahli bangunan, tukang kayu. Serta manfaat karena kemampuan atau tenaganya, seperti guru, dokter, psikolog, pembantu rumah tangga. Akad al-ijarah telah dimanfaatkan pada transaksi obligasi syariah.
            Salam secara sederhana berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Para fuqaha menamainya dengan al-mahawi‘ij (barang-barang mendesak), karena ia sejenis jual beli barang yang tidak ada di tempat, sementara dua pihak yang melakukan jual beli mendesak untuk segera bertransaksi. Pemilik uang butuh membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh pembayarannya sebelum barang ada di tangan untuk ia gunakan memenuhi kebutuhan dirinya serta kebutuhan tanamannya sampai tanaman dapat dipanen. Jual beli semacam ini termasuk kemaslahatan kebutuhan. Akad salam dalam pasar modal dapat digunakan antara lain pada transaksi sukuk dan futures. Hanya saja, futures tidak memenuhi prinsip syariah karena mengandung potensi spekulasi yang besar, sehingga bukan termasuk instrumen PMS.
            Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Yang dimaksudkan di sini adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal yang dapat diwakilkan. Dalam mazhab Syafi‘i pelimpahan kekuasaan itu berlaku sesuai waktunya ketika pemberi mandat masih hidup. Adanya ketentuan pemberi mandat masih hidup adalah untuk membedakan dengan wasiat. Akad wakalah dalam operasional PMS dapat dimanfaatkan pada transaksi saham, obligasi, atau reksadana syariah. Dapat dikatakan pada transaksi reksadana syariah akad wakalah akan selalu digunakan, karena investasi dana investor akan selalu difungsikan melalui Manajer Investasi.
            Akad-akad di atas menjadi bagian dari aspek legal kesyariahan “jual beli” instrumen-instrumen PMS. Hanya saja, peraturan atau fatwa-fatwa yang ada, belum secara rinci menjelaskan hingga ke taraf ilustrasi bagaimana akad-akad tersebut terkait dalam transaksi “jual beli” instrumen PMS. Misalnya, ada yang menyatakan bahwa dalam transaksi “jual beli” saham syariah digunakan akad campuran antara musyārakah dan mudārabah. Dalam hal percampuran akad tersebut dan bahwa saham dapat dijual kembali kapan pun tanpa perlu persetujuan emiten, dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Sebab, musyārakah dan mudārabah ditetapkan atas dasar persetujuan pihak-pihak yang bersepakat. Di samping itu, muncul pula kesangsian kesyariahan PMS, sepanjang emiten masih berbentuk Perseroan Terbatas yang dinilai bukanlah perusahaan yang Islami.
4. Perkembangan Pasar Modal Syariah di Indonesia dan Berbagai Kritik yang Menyertainya
            Dinamika PMS di Indonesia secara langsung atau tidak langsung dapat diukur dari fluktuasi grafik JII. Sejak diluncurkannya JII hingga dua bulan pertama tahun 2008, PMS di Indonesia secara umum menunjukkan pertumbuhan yang positif. Dimulai dengan angka dasar 100, pada penutupannya di tahun 2005 JII telah mencapai angka 199,749. Lalu pada penutupan tahun 2006, JII telah mencapai angka 311,251 meningkat 55,8% dari tahun sebelumnya. Lebih hebat lagi pada penutupan tahun 2007 dan awal 2008, JII sempat menembus level 500.
            Pertumbuhan positif JII dalam besaran yang membanggakan itu menimbulkan ekspektasi yang besar bagi berbagai kalangan untuk berinvestasi pada saham syariah. Tidak hanya pada saham syariah, para investor juga berinvestasi pada obligasi dan reksadana syariah. Para ekonom syariah Indonesia malahan memandang prospek di obligasi syariah masih sangat luas dan besar, karena obligasi syariah baru diterbitkan untuk dua akad, yaitu mudārabah dan ijarah. Padahal seperti yang tercantum dalam peraturan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) terdapat 14 jenis investasi sukuk, antara lain istisna sukuk, murābahah sukuk, musyārakah sukuk, mudārabah sukuk, wakalah sukuk, muzaraah sukuk, musaqah sukuk, mugarasah sukuk, salam sukuk, sukuk of existing owned assets, sukuk of existing leased assets, dan sukuk of future assets on lease contracts.
            Akan tetapi, pertumbuhan yang positif pada PMK dan PMS di Indonesia belum tentu menunjukkan bahwa kemakmuran bersama telah menaungi seluruh rakyat Indonesia. Kenyataannya justru menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin semakin membesar. Hal ini karena para pelaku pasar modal hanya meliputi jumlah manusia yang sangat kecil dibandingkan keseluruhan manusia Indonesia. Akan tetapi, jumlah manusia yang kecil itu menggulirkan investasi yang fantastis, dapat mencapai nominal trilyunan rupiah setiap harinya.
            Di samping itu, nilai dasar Sistem Ekonomi Islam, yaitu keseimbangan, keadilan, dan kepemilikan oleh ahlinya, belum merasuki dinamika dan tekad para pelaku pasar di PMS. Akibatnya, PMS masih pekat diwarnai spekulasi serta sikap egois para pelaku pasarnya yang selalu tergesa-gesa mengejar laba dan melupakan sikap saling tolong-menolong. Dengan kata lain, PMS masih rapat mengikuti PMK yang mengedepankan kapitalisme dan sikap materialis.
 Gambar 1. Grafik JII hingga awal November 2008.
            Bukti yang tidak bisa disanggah adalah trend JII yang selalu mirip dengan IHSG. Pertumbuhan positif yang dialami IHSG selalu diikuti oleh JII. Misalnya, setelah terus tumbuh positif, IHSG di tahun 2006 ditutup pada angka 1582,6. Begitu pula setelah terus tumbuh positif, JII tahun 2006 ditutup pada angka 311,281. Pertumbuhan positif terus terjadi, di akhir tahun 2007 IHSG ditutup pada angka 2.745, 826. Begitu pula JII tumbuh positif dan ditutup di tahun 2007 pada angka 500-an. Tapi ketika krisis global mendera Sistem Ekonomi Konvensional, di mana IHSG anjlok, ternyata JII juga anjlok. Terbukti pada penutupan 21 November 2008 IHSG terpuruk menjadi 1.146,28, begitu pula JII terpuruk menjadi 179,355.
            Kondisi tersebut dapat menjadi pelajaran berharga bahwa penerapan prinsip syariah haruslah disikapi secara sungguh-sungguh dengan meneladani karakter seimbang dan adil sebagai nilai dasarnya. Dengan demikian watak spekulan dan egois ingin untung dengan cepat, tidak lagi mewarnai operasional PMS di Indonesia. Demikian pula, tidak salah untuk selalu mempertimbangkan kembali berbagai akad dan praktek di dalam PMS. Jangan-jangan mekanisme yang langsung memutar uang masyarakat di sektor riil justru lebih baik dibandingkan memutar uang itu di pasar keuangan termasuk pasar modal.
Alhamdulillah.
Jakarta 31 Desember 2008
Yadi Nurhayadi
http://yadinurhayadi.wordpress.com/komentar-ekonomi-islam/

Komentar