Mengapa Ekonomi Syariah Penting untuk Indonesia?

 

Mengapa Ekonomi Syariah Penting untuk Indonesia?

 
 
Oleh: Hendri Tanjung, dosen pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor
 
Bangsa yang maju dicirikan oleh Gross Domestic Product (GDP) per kapita yang tinggi, sedangkan bangsa yang mulia dicirikan oleh bangsa yang memiliki akhlaq yang tinggi. Setidaknya ada empat kategori bangsa di dunia terkait dengan pendapatan dan akhlaq ini.
Pertama, adalah bangsa yang memiliki pendapatan tinggi dan akhlaq yang tinggi sekaligus. Inilah yang menjadi impian setiap bangsa yang diberi istilah “Baldatun Toyyibatun wa robbun Gofuur”.
Kedua, bangsa yang memiliki pendapatan rendah, tetapi akhlaq yang tinggi. Bangsa ini dikategorikan bangsa yang miskin tapi bermartabat. Yang dalam bahasa sederhananya, bangsa yang penduduknya sabar dalam kemiskinannya.
Ketiga, adalah bangsa yang pendapatannya tinggi, namun akhlaqnya rendah, ini adalah bangsa kaya yang sombong, dimana penduduknya banyak terjangkiti penyakit stress, depresi, dan penyakit-penyakit kejiwaan lainnya.
Keempat, bangsa yang pendapatannya rendah dan akhlaqnya rendah. Ini adalah bangsa barbar yang hancur peradabannya. Bangsa ini akan mengalami tingkat kriminalitas yang tinggi. masyarakatnya miskin dan tidak punya etika maupun kebaikan sama sekali.
Untuk mencapai pendapatan yang tinggi, diperlukan penguasaan ekonomi lewat penguasaan ilmu-ilmu dasar (Fisika, Kimia, Biologi dan Matematika), ilmu-ilmu rekayasa, ilmu-ilmu tubuh manusia (kedokteran, psikologi, dll), ilmu-ilmu social (sosiologi, politik, hukum, sejarah, dll), ilmu-ilmu humaniora, serta ilmu-ilmu ekonomi (bisnis, manajemen, akuntansi, keuangan, dan lain-lain). Untuk mencapai akhlaq yang mulia, diperlukan penguasaan ilmu-ilmu agama seperti aqidah dan syariah dan pengamalannya dalam kehidupan sehari hari. Dalam perkawinan antara ekonomi dan agama inilah lahirnya Ekonomi Syariah.
Mengapa Ekonomi Syariah itu penting? Setidaknya ada dua alasan besar yang dapat menjelaskan hal ini.
Pertama, Karena ekonomi barat berlandaskan pada model-model yang salah.
Kedua, Ekonomi Barat tidak cocok dengan kita yang masih mempercayai agama sebagai tuntunan hidup.
  1. 1.     Ekonomi Barat berlandaskan pada model-model ekonomi yang keliru
Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskannya. Pertama, Apa yang diprediksi oleh ekonom barat, tidak benar. Persis sebulan sebelum The Great Depression terjadi, ekonom ternama Fisher meramalkan bahwa Amerika akan mencapai kejayaan emasnya. Krisis-krisis yang terjadi sebelum ini seperti krisis Meksiko, Krisis Rusia, maupun Krisis Asia Tenggara tidak dapat diprediksi oleh ekonom-ekonom ini. Bahkan sebaliknya, persis sebelum terjadinya krisis mereka mengeluarkan pernyataan bahwa ekonomi Negara-Negara tersebut akan meroket. Empat tahun sebelum krisis menghantam Indonesia, World Bank memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi Macan Asia.
Kedua, Treatment yang mereka lakukan untuk memperbaiki ekonomi setelah krisis terjadi, seringkali diakhiri dengan memburuknya keadaan ekonomi bangsa. Di Indonesia, misalnya, IMF dan World bank mengatakan bahwa salah satu tindakan pengobatan yang harus dilakukan adalah mencabut subsidi BBM. Pada tanggal 4 Mei 1998 presiden Soeharto mengumumkan kenaikan harga BBM 70 persen dan besoknya menerapkan tarif angkutan naik 67 persen. Hal ini menimbulkan protes yang sangat keras, khususnya Jakarta. Akhirnya, tanggal 21 Mei Presiden Soeharto mundur dan habibie sebagai presiden. Apa yang kita kenal dengan krisis moneter telah menjelma menjadi krisis ekonomi, social dan politik (World Bank, 2004).

Ketiga, ekonomi barat hanya memfokuskan diri pada pengamatan atau observasi semata dengan menghilangkan faktor-faktor lainnya. Misalnya, hanya dengan mengamati dua variable, seseorang dapat mengambil suatu kesimpulan dan mendasarkan kebijakan yang harus diambil menurut kesimpulan itu. Dalam Export Led Growth Hypothesis (ELGH), hanya dengan mengamati dua variable (pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan GDP), banyak ekonom yang kemudian mengambil kebijakan yang berkaitan dengan ekspor. Jika disimpulkan bahwa Export leads to Growth (ELG), maka kebijakan yang diambil adalah terlebih dahulu meningkatkan pertumbuhan ekspor baru pertumbuhan ekonomi akan dicapai. Ini merupakan pandangan Neoclassical. Jika disimpulkan bahwa Growth leads to Export (GLE), maka kebijakan yang diambil adalah terlebih dahulu meningkatkan pertumbuhan ekonomi baru pertumbuhan ekspor akan dicapai.
Pada kenyataannya, kesimpulan yang diambil oleh ekonom berbeda-beda bergantung pada asumsi yang digunakannya meskipun menggunakan data yang sama dari variable yang sama. Portugal misalnya, menurut Oxley’s (1993), dengan menggunakan data tahunan pada variable real export dan real GDP dari tahun 1865 hingga 1991, disimpulkan ELG dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM) dengan asumsi ‘deterministic trend’. Tetapi, dengan mengubah sedikit asumsinya masih dalam data yang sama dan metode VECM yang sama, hanya saja asumsinya diubah menjadi ‘no deterministic trend’, maka kesimpulannya berubah menjadi bidirectional causality yang artinya, ELG dan GLE terjadi. Kalau sudah begini, kita dapat mengambil kebijakan apapun, hanya dengan mengubah asumsi-asumsi model diatas.

Ekonomi Barat tidak cocok dengan Budaya kita
Budaya kita masih mempercayai agama sebagai tuntunan hidup. Setidaknya ada empat alasan yang dapat menerangkan ini. Pertama, Teori ekonominya berdasar sejarah dan fakta masyarakat saat itu, misalnya saja teori Hutcheson yang menyatakan bahwa Pendapatan = Konsumsi + tabungan. Tidak ada yang salah dalam teori tersebut, karena perilaku masyarakat Inggris saat itu memang demikian. Yang salah adalah, kenapa tidak ada cara lain untuk merumuskan teori itu misalnya, Pendapatan = konsumsi + tabungan + zakat + infaq?
Kedua, Ekonomi Barat terlalu menyederhanakan masalah. Terlalu banyak variabel yang diabaikan dan dimasukkan dalam asumsi ceteris paribus, artinya dianggap tetap dan tidak berubah. Mereka pun terkadang salah kaprah dalam menggunakan matematika, padahal terkadang matematika tidak dapat menjelaskan keseluruhan faktor yang melandasi terjadinya sebuah fenomena. Contohnya adalah fungsi kepuasan (utility function), di mana penggunaan matematika ternyata belum mampu menerangkan secara utuh keseluruhan faktor yang menjelaskan tingkat kepuasan masyarakat.
Ketiga, manusia seperti partikel dan hanya menuruti satu hukum, yaitu mementingkan diri sendiri (selfish). Ini tidak benar. Mari kita lihat ultimatum game yang dijelaskan melalui eksperimen. Dari ultimatum game, dapat dijelaskan bahwa manusia itu tidak selfish. Manusia memiliki motivasi lain dalam perilaku ekonomi seperti keinginan berkorban, mencintai, dan keinginan menolong.
Keempat, ekonomi Barat menganut falsafah bebas nilai (positivism). Agama mengatur nilai-nilai (baik-buruk, halal-haram). Barat tidak memiliki pilihan karena mereka tidak punya wahyu. Sementara bagi kita, kita tidak bisa menjalankan ekonomi tanpa nilai-nilai. Terbukti salah satu penyebab utama terjadinya krisis global saat ini adalah akibat tidak adanya peran etika dan moralitas dalam ekonomi.
Melihat dua argumen utama diatas, yaitu ekonomi barat berlandaskan pada model-model yang salah dan Ekonomi Barat tidak cocok dengan kita yang masih mempercayai agama sebagai tuntunan hidup, maka di sinilah momentum ekonomi syariah untuk memberi solusi permasalahan ekonomi bangsa. Salah satu ciri dari ekonomi syariah yaitu berdasarkan azas kemurahan hati di mana ditunjukkan dengan konsep saling menolong satu sama lain. Dengan dasar ini, musuh utama ekonomi yaitu kemiskinan akan dapat terselesaikan. Bersamaan dengan itu, nilai-nilai moral bangsa akan dapat dibangun dengan menghilangkan berbagai perilaku selfish (egois, mementingkan diri sendiri) seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Bukankah Bert Hofman mengatakan bahwa korupsi adalah akar masalah ekonomi Indonesia?
—Wallahu A’lam bish showab—

di akses pada http://www3.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/mengapa-ekonomi-syariah-penting-untuk-indonesia-1.htm#.U1OB5XaonDc

Komentar