MAKALAH DINASTI BANI UMAYAH



DINASTI BANI UMAYAH
 


BAB I
PENDAHULUAN
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Bani Umayah menjadi dua, yaitu pertama, Dinasti Bani Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki) dan kedua, Dinasti Bani Umayah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid bin Abdul Al-Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan Dinasti Bani Umayah di Damaskus.[1]
Di dalam makalah ini akan membahas lebih rinci mengenai Dinasti Bani Umayah mulai dari latar belakang berdirinya Dinasti Bani Umayah, perkembangan dan kemajuan, sistem pemerintahan, hingga faktor-faktor kemunduran Dinasti Bani Umayah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.                Latar Belakang Berdirinya Dinasti Bani Umayah
Nama Dinasti Bani Umayah diambil dari Umayah bin Abd Al-Syam, kakek Abu Sufyan. Umayah segenerasi dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad Saw dan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib segenerasi pula dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib berasal dari keturunan Bani Hasyim sedangkan Mu’awiyah berasal dari keturunan Bani Umayah. Kedua keturunan ini merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam suku Quraisy.[2]
Setting cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan awal dan Ali adalah pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarganya dan memecat gubemur-gubemur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun Muawiyyah Gubernur Syiria menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Muawiyyah akhirnya tertumpah dalam perang Shiffin.[3]
Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyyah dikalahkan pasukan Ali, tapi berkat siasat penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin 'Ash, agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al Qur'an di ujung lembing mereka, pertanda seruan untuk damai dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan Mu’awiyah.[4]
Bukan saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Muawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir terjadi peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga dari delapan orang itu menyebar ke Amman, Kannan, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.[5]
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkang/ keluar dari kelompok Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan politik. [6]
Setelah terjadi kesepakatan antara Hasan bin Ali  dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H/ 661 M, maka secara resmi Mu’awiyah diangkat menjadi khalifah oleh umat Islam secara umum. Pusat pemerintahan Islam dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus. Pemerintahan Mu’awiyah berubah bentuk dari theo-demokrasi menjadi monarchi (kerajaan/dinasti) yang berbasiskan Islam, ini terjadi sejak dia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra mahkota. Sejak itulah sistem pemerintahan mamakai sistem monarchi hingga pada khalifah terakhir Marwan bin Muhammad, yang tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abul Abbas As-Safah dari Bani Abbas pada tahun 750 M. Dengan tewasnya Marwan bin Muhammad berakhir Dinasti Bani Umayah dan digantikan oleh Dinasti Bani Abbas.[7]
Pola pemerintahan menjadi kerajaan ini terjadi karena pada masa itu umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Mu’awiyah juga bermaksud meniru cara suksesnya kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium yaitu Kerajaan tetapi gelar pemimpin tetap menggunakan Khalifah dengan makna konotatif yang diperbaharui.[8]
B.                 Perkembangan Dinasti Bani Umayyah
Meskipun ummat Islam telah bersatu dalam satu kepemimpinan, kekhalifahan Muawiyah yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, dan tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak telah melahirkan golongan-golongan oposisi yang pada akhirnya nanti akan menjadi sebab kehancuran Dinasti tersebut.
Adik laki-laki al-Hasan, Husein yang pada masa pemerintahan Muawiyah hidup tenang di Madinah tidak mau mengakui pengganti Muawiyah yaitu Yazid. Ia pergi ke Kuffah untuk memenuhi seruan penduduk Irak yang akan menobatkannya sebagai khalifah pada tahun 680 M. Namun pada 10 Muharram 61 H (10 oktober 680) seorang jenderal terkenal dengan nama Sa’ad bin Abi Waqqas membawa 4000 pasukan mengepung al-Husein yang hanya didampingi 200 orang. Al-Hasan pun tidak selamat dalam pembantaian tersebut.
Adapun Khalifah-khalifah Bani Umayah adalah sebagai berikut:
1.         Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
2.         Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
3.         Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
4.         Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
5.         Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
6.         Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
7.         Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
8.         Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
9.         Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
10.     Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
11.     Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
12.     Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
13.     Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
14.     Marwan II bin Muhammad, 127-133 H / 744-750 M
Adapun khalifah-khalifah besar Bani Umayah adalah  Muawiyah I bin Abu Sufyan, Abdul-Malik bin Marwan, Al-Walid I bin Abdul-Malik, Umar II bin Abdul-Aziz, Hisyam bin Abdul-Malik. Puncak kejayaan Dinasti Bani Umayah ini pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, setelah itu merupakan masa kemundurannya.[9]
C.                Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Bani Umayah
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.[10]
1.      Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus.[11] Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a.       Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi.[12] Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis)[13]
b.      Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam memperlakukan orang  Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.[14]
Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin yang sebetulnya mereka bersaudara. Dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.[15]
c.       Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayah ini memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:
1)        Pemisahan Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di tunjuklah qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para Ulama.[16]
2)        Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani Umayah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:[17]
a)         Syiria dan Palestina;
b)        Kuffah dan Irak;
c)         Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah;
d)        Arenia;
e)         Hijaz;
f)         Karman dan India;
g)        Egypt (Mesir);
h)        Ifriqiyah (Afrika Utara);
i)          Yaman dan Arab selatan, dan
j)          Andalusia.
3)        Bidang Administrasi Pemerintahan. Dibidang pemerintahan, dinasti membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[18] Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok (diwan) yaitu :
a)         Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Diwan ini berfungsi untuk mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang menggunakan bahasa arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya kemudian menjadi bahasa arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa arab menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.[19]
b)        Diwan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada khalifah.[20]
c)         Diwan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah.[21]
d)        Diwan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus di segel dan dikirim ke alamat yang dituju.[22]
4)        Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,[23] yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.[24] Pada masa Bani Umayah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayah di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayah antara lain dalam pengangkatan kepala-kepala wilayah dari bangsa arab untuk ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Disamping itu ia mengajarkan bahasa arab diseluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa arab.[25]
5)        Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.[26]
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah Sbin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan ke mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).[27]
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada kekhaiwatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid 1 memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[28]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H.Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina di urungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[29]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.[30]
2.      Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah. [31]Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara.[32] Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk mencari rempah-rempah, bumbu. kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan.[33] Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.[34]
3.      Dinamika Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab mendapatkan posisi terhormat daiam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.

4.      Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah. Antiokia, Harran dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh imuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[35]
Pengaruh lain dan ilmuwan kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi : ilmu pengetahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat.[36] Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Musiim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).
5.      Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan abad ke delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu dalam suatu kesatuan sosial politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu merupakan suatu kawasan ekonomi yang terpadu dala suatu jaringan pasaran bersama. Wilayah inti meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan  Internasional yang terbentang antara China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam dengan Asia Tengah.[37]
D.                Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa al-Rasydun yang menguasai keduanya. Dan pada masa ini khalifah diangkat secara turun temurun dari keluarga Umayah.[38]
E.                 Sistem Fiskal[39]
Sumber uang masuk pada Dinasti Bani Umayah, pada umumnya seperti di zaman permulaan Islam. Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-Dharaaib yaitu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-pajak istimewa. Adapun saluran uang keluarnya sama seperti permulaan Islam, seperti gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara, pembangunan pertanian termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang hukuman dan tawanan perang, perlengkapan perang, serta hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para Ulama.
Pada masa Umayah di cetak mata uang muslimin secara teratur dan pembayaran dengan mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah dicetak mata uang kaum muslimin namun belum begitu teratur seperti pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.
F.                 Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin Abdul Aziz
Interregnum ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana pada peerintahan yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya, menjadi kepada masa yang damai, lemah, lembut dan makmur. Dengan kebijaksanaannya ini banyak orang yang masuk Islam. Dan mengadakan dialog dengan orang syi’ah dan khawarij sehingga mereka puas dan tidak mengganggu lagi. Namun kedamaian dan kemakmuran ini dimanfaatkan oleh Bani Hasyim untuk membentuk gerakan bawah tanah. Gerakan ini terdiri dari orang-orang Syi’ah dan keluarga Abbas. Gerakan inilah yang berhasil menumbangkan bani Umayah nantinya.[40]
G.                Sistem Peradilan[41]
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum terpengaruh dengan politik.
H.                Pembangunan Peradaban, Intelektual, bahasa dan sastera Arab.[42]
Masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang aling menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) sehingga Sibawaihi menyusun al-kitab untuk memperlajari tata bahasa arab.
Khalifah Mu’awiyah memerinthkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung berbagai macam Ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu kedokteran, ilmu Kalam, seni bangunan (architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan seni bangunan yang terkenal sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of the Rock) yang didirikan di Yerussalem pada 91 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik.
I.                   Sistem Militer
Pada masa Dinasti Bani Umayah orang masuk tentara kebanyakan dengan dipaksa atau setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan semacam undang-undang wajib militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary.
Politik ketentaraan dari Bani Umayah, yaitu politik Arab, dimana anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu mereka terpaksa meminta bantuan kepada bangsa Barbari untuk menjadi tentara karena wilayah mereka yang luas meliputi Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain.
1.      Perluasan Ke Asia Kecil
Dengan armada laut yang terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan persenjataannya. Lalu Mu’awiyah menyerang pulau-pulau dilaut tengah sehingga berhasil menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Kemudian di serang kota Konstatinopel. Pulau-pulau ini dekat Cyprus yang telah ditaklukkan pada zaman Usman. Penyerangan ini dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayah. Kemudian mengepung kota Konstatinopel di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyah dan didampingi oleh pahlawan Islam yang berani seperti Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber, Abdullah ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Pengepungan ini selama 7 tahun (54-61 H). Abu Ayyub al-Anshar gugur pada peperangan ini. Penyerangan pertama ini gagal karena ada pengkhianatan Loen Mar’asy. [43]
2.      Perluasan ke Timur
Ke arah Timur dapat menaklukkan daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian diteruskan pada zaman bd. Malik di bawah pimpinan Al- Hajjaj ibn Yusuf. Kemudian dapat menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Fergnana, dan Samarkand. Selanjutnya pasukan muslim juga samapi ke India serta dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).[44]
3.      Perluasan ke Afrika Utara
Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah menetap di Barqah setelah wilayah itu dikuasai. Oleh karena kemahiran dan keberaniannya, ia mengalahkan armada Bizantium di daerah pantai, barbar dipedalaman, serta Tripoli dan Fazzan.[45]
Kekuatan Maritim Islam menjadi lebih berkembang pada masa Umayah timur. Pada masa Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq bin Ziyad dapat menyeberangkan ajaran Isla ke Spanyol. Dan pada tahun 95 H/ 713 M dapat membebaskan rakyat Spanyol dan Eropa dari penindasan bangsa Visigoth (Gothik) Barat yang telah berkuasa selama 300 tahun.[46]
J.                  Pemberontakan: al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair[47]
Ketika Yazid ibn Mu’awiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka Madinah tidak mau menyatkan setia kepadanya. Yazid kemudian mendirim surat kepada Gubernur Madinah meminta untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Pada tahun 680 M, Husein pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan Syiah di Irak. Umat Islam di daerah ini mengakui khaifahnya adalah Husein. Sehingga terjadi pertempuran dan tentra Husein kalah sedangkan Husein mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Gerakan Syiah semakin keras, gigih dan tersebar luas. Pemberontakan yang paling terkenal diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Walaupun dibantu oleh kalangan kaum mawali di Persia, Armenia dan lain-lain,  Mukhtar terbunuh oleh pasukan oposisi lainnya yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.
Abdullah ibn Zubair baru secara terbuka menyatakan khalifah setelah Husein bin Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Mekah dan akhirnya terjadi pertempuran, pada pertempuran ini Abdullah bin Zubair dikabarkan wafat, maka tentara Yazid kembali ke Damaskus. Gerkaan Abdullah ini baru dapat dihancurkan pada masa khalifah Abdul Malik pada tahun 693 M.
K.                Prestasi Dinasti Umayyah
1.    Bidang Fisik
Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah telah didirikan pos-pos yang pada pemerintahan sebelumnya tidak ditemukan. Lebih lengkapnya, dapat dikatakan bahwa beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam pembangunan fisik adalah sebagai berikut:
a.         Membangun pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya.
b.         Membangun jalan raya.
c.         Mencetak mata uang.
d.        Membangun panti asuhan.
e.         Membangun gedung pemerintahan.
f.          Memblingun mesjid.
g.         Membangun rumah sakit.
h.         Membangun sekolah studi kedokteran.[48]
2.    Perluasan Wilayah Kekuasaan.
Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjalankan ekspansi sebagai berikut:
a.       Menguasai Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi'.
b.      Menguasai Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur.
c.       Menguasai Bizantium.
d.      Menguasai Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani.
e.       Di sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan Maroko.
f.       Selanjutnya, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova.
g.      Penaklukkan yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica.
h.      Menaklukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand.
i.        Menaklukkan India, hingga ke Brahmanabat.[49]
L.                 Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Bani Umayah
Dinasti yeng didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain : Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Maiik, selain mereKa itu merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.[50]
Diantara faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan adalah :
1.        Pengkatan Dua Putera Mahkota
Perubahan sistero kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan, berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan diantara sesama anogota keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua putera mahkota yang diberi mandat, agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama, hal itu dilakukan khalifah Marwan bin al Hakim dengan mengangkat Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz, berikutnya adalah Abdul Malik mengikuti jejak mendiang ayahnya dengan mengangkat puteranya, yatu al Walid dan Sulaiman. Langkah ini tidak hanya menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga merembet masuk di lingkungan para panglima dan pejabat.[51]
2.        Munculnya Fanatisme Suku
Setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah dari rongrongan kakuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai pemegang supremasi politik umat Islam.
Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebih dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, ia seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah. la terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.[52]
Namun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab selatan (Arab Yaman)  /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang Murj Rahith,[53] yang mengkibatkan terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia seorang yang telah mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah, yaitu pembelaannya dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang memerangi penduduk Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal al Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab Yamani untuk merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman.
Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul Malik mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur wilayah setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab, dan juga mengangkat Umar bin Kubairah yang berasal dari suku Qais.
Ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kadua unsur tersebut berimbang.[54] Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak, dan juga mengangkat saudara Khaiid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi melemah, kemudian orang-orang dan unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.
Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah. sehingga negara menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti ini teriadi.
3.        Terlena Dalam Kemewahan
Pola hidup sebagian khalifah Dinasti Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah sangat terkenal sebagai pengagum berat wanita, memelihara para penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang  pecandu minuman karas.
Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al Walid, ia seorang khalifah yang sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.[55]
4.        Fanatik Arab
Dinasti Umayyah adalah muni daulat Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab (mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara sesama kum Muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme di dalam Isiam. Bibit daripada geraka tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling tinggi dibanding dengan yang lain.
Tindakan diskriminatif tersebut telah membangkitkan kebencian kaum mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij untuk bersekutu dan ditambah dengan propagandis kaum abassi untuk memberontak dan menggulingkan Dinasti Umayyah.[56]
Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua puteranya yaitu ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyas-akat pendukung Ali di Khurasan. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam partempuran di Zab Hulu sebelah Mosul, Marwan II. khalifah terakhir Dinasti Umayyah dapat dikalahkan, Marwan II di bunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus.
Menurut Yatim Badri, secara garis besar faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran yang berujung pada kehancuran Dinasti Bani Umayyah adalah:[57]
1.      Perebutan kekuasaan antara anggota keluarga istana, pengaturan yang tidak jelas mengenai pergantian khalifah. Sistim pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2.      Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.      Lemahnya pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan Al-Abbas Ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.








BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
1.      Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
2.      Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679 M.
3.      Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
4.      Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.
B.     Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pemakalah dan seluruh pembaca. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan dan kesempurnaan di masa mendatang.
















REFERENSI
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2012), cet ke-5
Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,  (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2003)
A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975)
A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,  (Jakarta, UI Press, 1978), jilid 1
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj, Jahdan Ibn Human (Yogyakarta; Kota Kembang. 1995)
Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), jilid 1, Cet ke-2
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenada Media, 2010)
Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing (Bandung Sumur Bandung.tt)
Siti Maryam (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002)
W. Montgomary Watt, Pergolakan Pemikiran politik  Islam, (Jakarta: Bennabi Cipta, 1985)





[1] Siti Maryam (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002). h.79
[2] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), jilid 1, Cet ke-2, h. 83
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj, Jahdan Ibn Human (Yogyakarta; Kota Kembang. 1995), h.62
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 103
[5] Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,  (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2003), h.176.
[6] Dedi Supriyadi, loc.cit
[7] Maidir Harun dan Firdaus, loc.cit
[8] Dedi Supriyadi, op.cit, h. 104
[9] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 84
[10] Siti Maryam, loc.cit
[11] Ibid, h.79
[12] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 103
[13] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h.63
[14] W. Montgomary Watt, Pergolakan Pemikiran politik  Islam, (Jakarta: Bennabi Cipta, 1985) h.67
[15] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 92
[16] Ibid, h. 85
[17] Ibid, h. 86
[18] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975) h.151
[19] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 87
[20] Ibid, h. 88
[21] Ibid.
[22] Ibid, h. 89
[23] Siti Maryam, op.cit, h. 88
[24] W. Montgomery Watt, op.cit, h.72
[25] Maidir Harun dan Firdaus, loc.cit
[26] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h 95
[27] Ibid, h. 84- 58.
[28] Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing (Bandung Sumur Bandung.tt) h.85
[29] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,  (Jakarta, UI Press, 1978), jilid 1, h.61
[30] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h.83
[31] Siti Maryam, loc.cit
[32] Ibid, h. 92
[33] Ibid, h. 91
[34] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h.448
[35] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenada Media, 2010), h.40
[36] Ibid, h. 42
[37] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 91
[38] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 90
[39] Ibid, h. 98
[40] Ibid, h. 99
[41] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 102
[42] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h. 66
[43] ibid, h. 94
[44] Ibid, h. 95
[45] Ibid.
[46] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2012), cet ke-5, h. 64-65
[47] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 103-105
[48] Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.236
[49] A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951), h.99.
[50] Harun Nasution, op.cit, h.62
[51] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit h.111
[52] Ibid, h. 112
[53] Ibid, h. 114
[54] Ibid.
[55] Ibid, h. 121
[56] Ibid, h.123
[57] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 90-91

Komentar