Al-‘Ukud Al-Maliyah al-Murakkabah
(Hybrid Contract Keuangan)
Perkembangan perbankan dan keuangan syariah syariah mengalami
kemajuan yang sangat pesat dan menghadapi tantangan yang makin kompleks.
Perbankan dan lembaga keuangan syariah harus bisa memenuhi kebutuhan bisnis
modern dengan menyajikan produk-produk inovatif dan
lebih variatif serta pelayanan yang memuaskan. Tantangan
ini menuntut para praktisi, regulator, konsultan, dewan syariah dan
akademisi bidang keuangan syariah untuk senantiasa aktif dan kreatif
dalam memberikan respon terhadap perkembangan tersebut. Para praktisi dituntut
secara kreatif melakukan inovasi produk; regulator membuat regulasi yang
mengatur dan mengawasi produk yang laksanakan oleh praktisi, Dewan syariah
dituntut secara aktif dan kreatif mengeluarkan fatwa-fatwa yang dibutuhkan
industri sesuai tuntutan zaman, dan akademisi pun dituntut memberikan
pencerahan ilmiah dan tuntunan agar produk maupun regulasi mendukung kebutuhan
industry modern dan benar-benar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah.
Salah satu pilar penting untuk menciptakan produk perbankan
dan keuangan syariah dalam menyahuti tuntutan kebutuhan masyarakat modern,
adalah pengembangan hibryd conctract (multi akad). Bentuk akad
tunggal sudah tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer. Metode hybrid
contracy seharusnya menjadi unggulan dalam pengembangan produk. Dr Mabid
Al-Jarhi, mantan direktur IRTI IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman
sekarang adalah sebuah keniscayaan. Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah
yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak
membolehkan dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Larangan
ini ditafsirkan secara dangkal dan salah, sehingga menyempitkan pengembangan
produk bank syariah. Padahal syariah membolehkannya dalam ruang lingkup yang
sangat luas.
Harus difahami, bahwa larangan two in one hanya
terbatas dalam dua kasus saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang
terkait dengan itu. Two in one tidak boleh diperluas kepada masalah
lain yang tidak relevan dan tidak pas konteksnya. Para dosen, ahli ekonomi
syariah, bankir syariah dan konsultan harus mempelajari secara mendalam
pandangan ulama tentang akad two in one dan al-ukud al-murakkabah,
agar pemahaman terhadap design kontrak syariah, bisa lebih komprehensif,
dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan
metodologis syariah dan kelangkaan litaratur yang sampai kepada kita.
Memang ada tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan
larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits itu berisi tiga
larangan, pertama larangan bay’ dan salaf, larangan bai’ataini
fi bai’atin, dan larangan shafqataini fi shafqatin. Ketiga hadits itulah
yang selalu dijadikan rujukan para konsultan dan banker syariah tentang
larangan two in one. Namun harus dicatat, larangan itu hanya berlaku
kepada dua kasus, karena maksud hadits kedua dan ketiga sama, walaupun
redaksinya berbeda. Telaah dan analisis atas ketiga hadits ini akan diuraikan
pada paparan selanjutnya.
A.
Pandangan Ulama
Aliudin
Za’tary dalam buku Fiqh Muamalah Al-Maliyah al-Muqaran mengatakan
“ Tidak ada larangan dalam syariah tentang penggabungan dua akad
dalam satu transaksi, baik akad pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’.
Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan
untuk memenuhi (wafa) syarat-syarat dan akad-akad”
Mayoritas
ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan
Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan
diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan
bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan
dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.
(Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69). Kecuali
menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti
menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan
jual beli dan qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan
jual beli cash dalam satu transaksi
Menurut
Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali
yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan
Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.( Ibn Taimiyah, Jâmi’
al-Rasâil, j. 2, hal. 317)
Nazih
Hammad dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy
menuliskan, ”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan
transaksi hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya
ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang
melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan
secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu.
Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang
berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang
telah disepakati. (Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh
al-Islâmy)
Demikian
pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat
adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm
al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344)
Al-Syâtiby
menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya,
hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang
diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal
dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât
ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan
atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar
kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip
dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud). ( Al-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1,
hal. 284)
Pendapat
ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan
akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS.
Al-Mâidah : 1)
B.
Istilah Hibrid Contract dan
Pengertiannya .
Buku-buku
teks fikih muamalah kontemporer, menyebut istilah hybrid contract
dengan istilah yang beragam, seperti al-’uqûd
al-murakkabah, al-’uqûd al-muta’addidah , al-’uqûd
al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, dan al-’Ukud
al-Mukhtalitah, Namun istilah yang paling populer ada dua macam , yaitu al-ukud
al-murakkabah dan al-ukud al mujtami’ah.
Al-“Imrani
dalam buku Al-Ukud al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid
contract yaitu “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang
mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah,
wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah …
dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
C.
Macam-macam al-‘Ukud
al-Murakkabah
1.
Hybrid yang Mukhtalitah
(bercampur), melahirkan nama akad baru.
a.
Bay’ Tawarruq
Jual beli Tawarruq merupakan percampuran 2 akad jual
beli. Jual beli 1 dengan pihak pertama, jual beli 2 dengan pihak ketiga.
Contoh: produk tawarruq (murabahah) emas. Disini ada 3 pihak yaitu Bank,
Nasabah, dan Toko Emas
b.
Musyarakah Mutanaqishah
Musyarakah Mutanaqishah (MMq). Akad ini campuran
akad syirkah inan atau milik dengan Ijarah yang mutanaqishah atau
jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing).
Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah
mutanaqishah (MMq). Substansinya hampir sama dengan IMBT, karena
pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun bentuk ijarahnya
berbeda, karena transfer of title ini bukan dengan janji hibah atau
beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu
sebutannya ijarah saja, bukan IMBT. Akad utama MMq mengandung 4 akad yaitu syirkah Inan, Ijarah, Wakalah dalam
pengelolaan penyewaan, dan Pembelian secara bertahap.
c.
Bay’ Wafa
Bay’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli
yang melahirkan nama baru. Pada awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah,
akad ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah
menjadi 1 akad, dengan nama baru yaitu bay wafa’.
d.
Bay’ Istighlal
Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2
akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur 3 akad. Akad ini disebut
juga three in one.
2.
Hybrid Contract yang mujtami’ah/mukhtalitah
dengan nama akad baru, tetapi namanya berasal dari akad lama.
a.
Sewa Beli (bay’ at-takjiry)
Lease and Purchase.
b.
Mudharabah Musytarakah
contohnya pada life insurance, pembiayaan Mudharabah Musytrakah dan deposito
bank syariah.
c.
Mudharabah Muntahiyah Bit
Tamlik
3.
Hybrid contract yang tidak
Mukhtalithah (akad-akadnya tidak bercampur) dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi
nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan dipraktekkan dalam suatu transaksi.
Seperti:
a.
Kontrak akad
pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No
31/2000.
b.
Mudharabah wal Wadi’ah pada
Giro.
c.
Wa’ad untuk wakalah murabahah,
ijarah, musyarakah, dan lain-lain pada pembiayaan rekening koran or line
facility. Contohnya:
1)
Wadiah dan Mudharabah pada
GIRO, yang biasa disebut Tabungan dan Giro Aotomatic Transfer
Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2 rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus.
(2 rekening dlm 1 produk). Setiap rekening dapat pindah secara otomatis
jika salah rekening membutuhkan.
2)
Pembiayaan Rekening Koran
Syariah (PRKS), dilakukan dengan Wa’ad untuk Wakalah dalam Murabahah, Ijarah, Musyarakah, Salam, dan Mudharabah. Ada juga produk lain yaitu PRKS Musyarakah.
d.
Murabahah wal wakalah pd
pembiayaan murabahah basithah.
e.
Wakalah bil ujrah pada L/C,
RTGS, General Insurance, Factoring.
f.
Kafalah wal Ijarah pada LC,
Bank Garansi, pembiayaan multi jasa/ multi guna, kartu kredit.
g.
Mudharabah wal murabahah/
ijarah/ istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi instansi.
h.
Hiwalah bil Ujrah pada
factoring.
i.
Rahn wal ijarah pada REPO
SBI dan SBSN.
j.
Qardh, Rahn dan Ijarah pada
produk gadai emas di bank syariah.
4.
Hybrid Contract
yang mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan). Bentuk
ini dilarang dalam syariah.
a.
Bay’ wa Salaf adalah
menggabungkan akad jual beli dan pinjaman.
b.
Qardh dengan Ijarah yang
Ta’alluq adalah menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad.
c.
Menggabungkan qardh
dengan janji hadiah.
5.
Hybrid yang Ta’alluq/
Mutaqabillah. Dibagi sebagai berikut:
a.
Jual beli wafa’
(dibolehkan)
b.
Jual beli bersyarat/
mu’allaq/ ta’alluq (ada boleh dan ada tidak boleh)
c.
Jual beli Tawarruq (boleh,
makruh, haram)
d.
Jual beli al-‘inah
(dilarang)
e.
Hybrid akad jual beli
dengan Qardh/ salaf (dilarang)
D.
Hybrid Contacts dalam
Pembiayaan Multijasa
1.
Pembiayaan Multijasa dengan
Ijarah Murakkabah (Bertingkat).
2.
Hybrid pada Gadai Syariah.
Ada tiga akad yaitu rahn, qardh (dayn),
dan ijarah. Bisa juga digunakan untuk Rahn
Murakkab (Gadai Bertingkat).
3.
Hybrid Contracts dalam
pembiayaan Multijasa dengan Wafa wal Ijarah (bay’ Istighlal).
4.
Hybrid Contracts dalam KTA
Syariah dengan Murabahah.
5.
Hybrid Contracts dalam
pembiayaan MDC.
6.
Hybrid Contracts dalam
Refinancing Syariah.
7.
Hybrid Contracts dalam
IMBT.
8.
Hybrid Contracts pada
Pembiayaan Property Indent.
9.
Hybrid Contracts pada Kartu
Kredit.
10. Hybrid Contracts dalam Hedging (Tahawwuth)
11. Hybrid Contracts dalam Pasar Uang antar Bank Syariah melalui
Comodity Syariah.
12. Hybrid Contracts pada pembiayaan sindikasi syariah dan sindikasi
dengan konvensional.
13. Hybrid Contracts pada Factoring/ anjak piutang.
14. Hybrid Contracts pada Restrukturisasi (konversi akad) Murabahah.
Komentar