PRODUKSI, KONSUMSI DAN DISTRIBUSI
DALAM ISLAM
A.
PRODUKSI DALAM ISLAM
1.
Pendahuluan
Produksi merupakan
sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni
planet ini. Menurut Dr. Muhammad
Rawwas Qalahji kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-Intaj
yang secara harfiah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewjudkan atau
mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min
‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang
jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsurnsur produksi yang
terbingkai dalam waktu yang terbatas).
Produksi menurut Kahf
mendefenisikan kegiatan produksi dalam prespektif Islam sebagai usaha manusia
untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama
Islam, yaitu kebahagian di dunia dan akhirat.
Dari dua pengertian di atas
produksi adalah setiap bentuk aktivitas yang dilakukan mansia dengan cara
mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah Swt untuk mewujudkan
suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi
juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi
dimaksudkan untuk mencapai maslahah bukan hanya menciptakan materi.[1]
Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban
manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya
manusia dengan alam.[2]
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan
produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula
sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi. Fungsi
produksi menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan output yang dapat
dihasilkan dalam satu waktu periode tertentu.[3]
Dalam teori produksi memberikan penjelasan tentang perilaku produsen
tentang perilaku produsen dalam
memaksimalkan keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui
pemilikian pribadi dalam batas-batas
tertentu termasuk[4]
pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.
2.
Prinsip-prinsip Produksi
Beberapa prinsip yang
diperhatikan dalam prduksi, antara lain dikemukakan Muhammad al-Mubarak,
sebagai berikut:[5]
1.
Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas
yang tercela karena bertentangan dengan syariah.
2.
Di larang melakukan kegiatan produksi yang
mengarah kepada kedzaliman.
3.
Larangan melakukan ikhtikar (penimbunan
barang).
4.
Memelihara lingkungan
Di bawah ini ada beberapa implikasi mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian
secara keseluruhan, antara lain :
1.
Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal
yang Islami[6]
2.
Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek
sosial-kemasyarakatan
3.
Permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi
lebih kompleks.[7]
3.
Ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Prinsip Produksi
Salah satu ayat tentang
produksi yaitu Ayat yang berkaitan
dengan faktor produksi Tanah dalam Surat As-Sajdah : 2
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan, bahwasanya kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu kami
tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak
mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?”
Ayat diatas menjelaskan
tentang tanah yang berfungsi sebagai
penyerap air hujan dan akhirnya tumbuh tanaman-tanaman yang terdiri dari
beragam jenis. Tanaman itu dapat dimanfaatkan manusia sebagai faktor produksi
alam, dari tanaman tersebut juga dikonsumsi oleh hewan ternak yang pada akhirnya juga hewan ternak tersebut
diambil manfaatnya (diproduksi) dengan berbgai bentuk seperti diambil
dagingnya, susunya dan lain sebagaiya yang ada pada hewan ternak tersebut.
Ayat ini juga memberikan kepada kita untuk
berfikir dalam pemanfaatan sumber daya alam
dan proses terjadinya hujan. Jelas sekali menunjukkan adanya suatu
siklus produksi dari proses turunnya hujan, tumbuh tanaman, menghasilkan
dedunan dan buah-buahan yang segar setelah di disiram dengan air hujan dan pada
akhirnya diakan oleh manusia dan hewan untuk konsumsi. Siklus rantai makanan
yang berkesinambungan agaknya telah dijelskan secara baik dalam ayat ini.
Tentunya puila harus disertai dengan prinsip efisiensi[8]
dalam memanfaatkan seluruh batas kemungkinan produksinya. Sedangkan di dalam hadit, salah satunya
sebagai berikut:
HR
Bukhari – Nabi mengatakan, “Seseorang yang mempunyai sebidang tanah harus
menggarap tanahnya sendiri, dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap, dia
harus memberikannya kepada orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi bila kedua-duanya tidak dia
lakukan – tidak digarap, tidak pula diberikan kepada orang lain untuk
mengerjakannya – maka hendaknya dipelihara/dijaga sendiri. Namun kami
tidak menyukai hal ini.”
Hadits tersebut memberikan penjelasn tentang pemanfaatan faktor
produksi berupa tanah yang merupakan faktor penting dalam produksi . Tanah yang
dibiarkan begitu saja tanpa diolah dan dimanfaatkan tidak disukai oleh Nabi
Muhammad SAW karena tidak bermanfaat bagi sekelilingnya. Hendaklah tanah itu digarap untuk dapat ditanami tumbuhan
dan tanaman yang dapat dipetik hasilnya ketika panen dan untuk pemenuhan
kebutuhan dasar berupa pangan, penggarapan bisa dilakukan oleh si empunya tanah
atau diserahkan kepada orang lain.
4.
Tujuan Produksi[9]
Menurut Nejatullah
ash-Shiddiqi, tujuan produksi sebagai berikut:
1.
Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu secara
wajar
2.
Pemenuhan kebtuhan keluarga
3.
Bekal untuk generasi mendatang
4.
Bantuan kepada masyarakat dalam rangka beribadah
kepada Allah.
Menurut Ibnu Khaldun dan beberapa ulama lainnya berpendapat, kebutuhan
manusia dapat digologkan kepada tiga kategori, yaitu dharuriyah, hajjiyat,
tahsiniyat.
1.
Tanah dan segala potensi ekonomi di anjurkan
al-Qur’an untuk di olah dan tidak dapat dipisahkan dari proses produksi.
2.
Tenaga kerja terkait langsung dengan tuntutan hak
milik melalui produksi.
3.
Modal, manajemen dan tekhnologi.
6.
Etika dalam
Produksi
1.
Peringatan Allah akan kekayaan alam.[12]
2.
Berproduksi dalam lingkaran yang Halal. Sendi
utamanya dalam berproduksi adalah bekerja, berusaha bahkan dalam proses yang memproduk
barang dan jasa yang toyyib, termasuk dalam menentukan target yang harus
dihasilkan dalam berproduksi.
3.
Etika mengelola sumber daya
alam dalam berproduksi dimaknai sebagai proses menciptakan kekayaan dengan
memanfaatkan sumber daya alam harus bersandarkan visi penciptaan alam ini dan
seiring dengan visi penciptaan manusia yaitu sebagai rahmat bagi seluruh alam.
4.
Etika dalam berproduksi
memanfaatkan kekayaan alam juga sangat tergantung dari nilai-nilai sikap
manusia, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Dan bekerja sebagai sendi utama
produksi yang harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah islam.
5.
Khalifah di muka bumi tidak hanya berdasarkan pada
aktivitas menghasilkan daya guna suatu barang saja melainkan Bekerja
dilakukan dengan motif kemaslahatan untuk mencari keridhaan Allah Swt.
Namun secara umum etika
dalam islam tentang muamalah Islam, maka tampak jelas dihadapan kita empat
nilai utama, yaitu rabbaniyah, akhlak, kemanusiaan dan pertengahan.
Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi
Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang
tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan
nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh
segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi,
sirkulasi, dan distribusi.
B.
KONSUMSI DALAM ISLAM
1.
Pengertian dan Tujuan Konsumsi dalam Islam
Salah satu persoalan penting
dalam kajian ekonomi Islam ialah masalah konsumsi. Konsumsi berperan
sebagai pilar dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan maupun
negara. konsumsi secara umum diformulasikan dengan : ”Pemakaian dan penggunaan
barang – barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan
rumah tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa
telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dsb”.
Berangkat dari pengertian
ini, maka dapat dipahami bahwa konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan
dan minum dalam istilah teknis sehari-hari; akan tetapi juga meliputi
pemanfaatan atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun,
karena yang paling penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas
konsumsi adalah makan dan minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi
sering diidentikkan dengan makan dan minum.
Tujuan konsumsi dalam Islam
adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian,
perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan
dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup
aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum
(nasab)
Sebagaimana disebut di atas,
banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang konsumsi, di antaranya Surat al
A’raf ayat 31[13].
Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi makanan dan minuman, tetapi juga
pakaian. Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33) dibicarakan tentang
perhiasan.
Menurut Abdul Mannan bahwa
perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu:
a.
Prinsip Keadilan
b.
Prinsip Kebersihan
c.
Prinsip Kesederhanaan
d.
Prinsip Kemurahan Hati
e.
Prinsip Moralitas.
Etika konsumsi menurut Naqvi
adalah sebagai berikut:
a.
Tauhid (Unity/ Kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang
menurut Qardhawi dibagi menjadi dua kriteria, yaitu rubaniyyah gayah (tujuan)
dan wijhah (sudut pandang).
Kriteria pertama menunjukkan maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam
adalah menjaga hubungan baik dan mencapai ridha-Nya. Sehingga pengabdian kepada
Allah merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha dan kerja keras
manusia dalam kehidupan yang fana ini. Kriteria kedua adalah rabbani yang
masdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem). Kriteria ini merupakan
suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan tujuan puncak (kriteria
pertama) yang bersumber al-Qur’an dan Hadits Rasul.
b.
Adil (Equilibrium/ Keadilan)
Khursid Ahmad mengatakan, kata ‘adl dapat diartikan seimbang (balance)
dan setimbang (equlibrium). Atas sebab dasar itu ia menyebutkan konsep al-‘adl
dalam prespektif Islam adalah keadilan Ilahi.
Salah satu manifestasi keadilan menurut al-Qur’an adalah kesejahteraan.
Keadilan akan mengantarkan manusia kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan akan
menghasilkan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.
c.
Free Will (Kehendak Bebas)
Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun kebebasan ini
tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang
merupakan hukum sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak
Tuhan.
d.
Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
Etika dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain,
setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Dengan demikian prinsip tanggung jawab merupakan suatu hubungan
logis dengan adanya prinsip kehendak bebas.
e.
Halal
Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan
konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi
merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang
tersebut.
f.
Sederhana
Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkomunikasi.
Diantara dua cara hidup yang ekstrim antara paham materilialistis dan zuhud.
Ajaran al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan
untuk tidak boros dan tidak kikir.
C.
DISTRIBUSI DALAM ISLAM
System ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal
pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan
kepemilikan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai
oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang
menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak
tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu
dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya.
Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam
al-qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang
dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi
diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai
suatu keseluruhan (59:7)[16].
Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan
cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national
income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi
salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola
distribusi kekayaan secara tidak adil Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan
karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan
buruknya distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun
menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang
menyangkut sistem ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat
kemiskinan serta pola pembagian pendapatan di dalam perekonomian negara-negara
yang ada, lebih-lebih lagi keadaan perekonomian di negara-negara Islam.
Islam sangat mendukung pertukaran barang dan menganggapnya produktif dan
mendukung para pedangang yangg berjaln di muka bumi mencari sebagian dari
karunia Allah, dan membolehkan orang memiliki modal untuk berdagang, tapi ia
tetap berusaha agar pertukaran barang itu berjalan atas prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a.
Tetap mengumpulkan antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat.
b.
Antara dua penyelenggara muamalat tetap ada
keadilan dan harus tetap ada kebebasan ijab kabul dalam akad-akad.
c.
Tetap berpengaruhnya rasa cinta dan lemah lembut.
d.
Jelas dan jauh dari perselisihan.
a.
Tujuan Dakwah, yakni dakwah kepada Islam dan menyatukan
hati kepadanya.
b.
Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan dalam
distribusi adalah seperti dalam surah at-Taubah ayat 103[19]
yang bermaksud menjadikan insan yang berakhlak karimah.
c.
Tujuan sosial, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat
serta keadilan dalam distribusi sehingga tidak terjadi kerusuhan dan
perkelahian.
d.
Tujuan Ekonomi, yakni pengembangan harta dan
pembersihannya, memberdayakan SDM, kesejahteraan ekonomi dan penggunaan terbaik
dalam menempatkan sesuatu.
3.
Etika Distribusi
a.
Selalu menghiasi amal dengan niat ibadah dan
ikhlas.
b.
Transfaran, dan barangnya halal serta tidak
membahayakan.
c.
Adil, dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang
di dalam Islam.
d.
Tolong menolong, toleransi dan sedekah.
e.
Tidak melakukan pameran barang yang menimbulkan
persepsi.
f.
Tidak pernah lalai ibadah karena kegiatan
distribusi.[20]
g.
Larangan Ikhtikar, ikhtikar dilarang karena akan
menyebabkan kenaikan harga.
h.
Mencari keuntungan yang wajar. Maksudnya kita
dilarang mencari keuntungan yang semaksimal mugkin yang biasanya hanya
mementingkan pribadi sendiri tanpa memikirkan orang lain.
i.
Distribusi kekayaan yang meluas, Islam mencegah
penumpukan kekayaan pada kelompok kecil dan menganjurkan distribusi kekayaan
kepada seluruh lapisan masyarakat.
j.
Kesamaan Sosial, maksudnya dalam pendistribusian tidak
ada diskriminasi atau berkasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi.[21]
4.
Jaminan Sosial (Takaful Ijtima’)
Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah negara, dan setiap
warga negara dijamin untuk memperoleh kebutuhan pokoknya masing-masing. Dan
terdapat persamaan sepenuhnya diantara warga negara apabila kebutuhan pokoknya
sudah terpenuhi.[22]
Menurut Syekh Mahmud Syaltut, bahwa jaminan sosial adalah suatu keharusan
diantara keharusan-keharusan persaudaraan, bahkan suatu yang paling utama,
yaitu perasaan tanggung jawab dari yang satu terhadap yang lain, dimana setiap
orang turut memikul beban saudaranya, dan dipikul bebannya oleh saudaranya, dan
selanjutnya ia harus bertanggung jawab terhadap dirinya dan bertanggung jawab
terhadap saudaranya.[23]
Jaminan sosial dapat memberikan standar hidup yang layak, termasuk
penyediaan pangan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya kepada
setiap anggota masyarakat.[24]
KESIMPULAN
Dengan penjelasan di atas bahwa semua kegiatan baik produksi, konsumsi dan
distribusi harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yaitu prinsip tauhid,
prinsip keadilan, prinsip kebebasan dan prinsip pertanggungjawaban. Manusia
dalam berproduksi, konsumsi dan distribusi harus sesuai dengan etika islam yang
menjadikan kemakmuran dan ketentraman dalam bermasyarakat.
Etika dalam berproduksi yaitu sebagai berikut:
a.
Peringatan Allah akan kekayaan alam.
b.
Berproduksi dalam lingkaran yang Halal.
c.
Etika mengelola sumber daya alam
d.
Etika dalam berproduksi harus dilandasi dengan
ilmu dan syari’ah islam.
e.
Sebagai Khalifah di muka.
Etika Konsumsi menurut Islam,
antara lain:
a.
Tauhid (Unity/ Kesatuan)
b.
Adil (Equilibrium/ Keadilan)
c.
Free Will (Kehendak Bebas)
d.
Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
e.
Halal
f.
Sederhana
Etika Distribusi menurut Islam,
antara lain:
a.
Larangan Ikhtikar.
b.
Mencari keuntungan yang wajar.
c.
Distribusi kekayaan yang meluas.
d.
Kesamaan Sosial.
REFERENSI
1.
Ahmad al-haritsi, fikih ekonomi umar.
2.
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
3.
Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta:
PT. Bangkit Daya Insana, 1995)
4.
Mawardi, M.Si, Ekonomi Islam, (Pekanbaru:
Alaf Riau: 2007)
5.
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami,
(Yogyakarta: Jalasutra,
2003)
6.
Prof. Dr. Akhmad Mujahidin, M.Ag, ekonomi islam
2, (Pekanbaru, Mujtahadah Press: 2010)
7.
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis dalam
Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat: 2011)
[1] Ahmad al-haritsi, fikih ekonomi umar, hlm.
37
[2] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), 2007, hal.102
[3]
A production function dewscribes the relationship between the quantity of
output obtainable per period on time, lihat di Arthur Thompson and John,
Formby, Economics of the Firm : Theory and practice, (New Jersey :
Prentice Hall, 1993)
[4] Metwally, Teori dan Model Ekonomi
Islam, (Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana), 1995, hal. 4
[5] Mawardi, M.Si, Ekonomi Islam, (Pekanbaru:
Alaf Riau: 2007), hlm 65-67
[6] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika
Mikro Islami, (Yogyakarta : Jalasutra), 2003, hal. 156
[7] Ibid.,
hal. 157-158
[8] Konsep efisiensi dapat dirasakan secara
intuitif. Contoh keadaan tidak efisien
adalah masyarakat yang tidk memanfaatkan sepenuhnya batas kemungkinan
produksinya. Misalnya orang membawa hasil produksinya ke pasar untuk ditukarkan
dengan barang orang lain, setiap kali terjadi pertukaran maka nilai guna barang
kedua pihak akan naik, bila semua kemungkinan pertukaran yang menguntungkan
telah habis sehingga tidak ada lagi kenaikan nilai guna, maka dapat dikatakan
bahwa keadaan telah mencapai efisien.
[10] Ibid, hlm 69-72
[12] QS. al-Qashash ayat 77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
* ûÓÍ_t6»t tPy#uä (#räè{ ö/ä3tGt^Î yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uõ°$#ur wur (#þqèùÎô£è@ 4
¼çm¯RÎ) w =Ïtä tûüÏùÎô£ßJø9$# ÇÌÊÈ
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
[14] Drs. H. Muh. Said HM, MA, MM, Pengantar
Ekonomi Islam (Pekanbaru: Suska Press, 2008), hlm. 81
[15] Mawardi, M.Si, op.cit. hlm 82-86
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# (
¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Amat keras hukumannya.
[17] Drs. H. Muh. Said HM, MA, MM, op.cit, hlm.
91
[18] Ibid, hlm. 93-94
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ (
¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3
ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
103. ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[20] Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis
dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat: 2011), hlm. 140
[21] Prof. Dr. Akhmad Mujahidin, M.Ag, ekonomi
islam 2, (Pekanbaru, Mujtahadah Press: 2010), hlm. 21
[22] Ibid, hlm 21-22
[23] Drs. H. Muh. Said HM, MA, MM, op.cit, hlm
98
[24] Ibid, 99
Komentar