MASHLAHAH SEBAGAI KUNCI HUKUM ISLAM
Mashlahah adalah sasaran pokok dari sebuah hukum (maqasid syariah)[1].
Substansi Al-Maqashid Asy-Syari’ah adalah kemaslahatan.[2]
Hukum Islam senantiasa dihadapkan pada tantangan perubahan dan perkembangan
masyarkat. Demikian juga Muhammad Atho’ Mudzhar mengatakan Hukum Islam tidak
boleh kebal dengan perubahan. Sebab tujuan hukum itu ialah untuk melindungi
kepentingan manusia dalam skala universal, dan ulama sepakat bahwa hukum Islam
itu cocok pada setiap waktu dan tempat.[3]
Maslahah sangat erat hubungannya dengan hukum Syara’ karena di dalam setiap hal yang mengandung maslahat disitu ada Hukum Syara’.[4] Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Al-Anbiyaa’:107, sebagai berikut:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya
“Dan
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Maksud ayat diatas adalah bahwa Rasulullah saw telah
datang dengan membawa syariat yang mengandung manslahat bagi manusia. Begitu
pula Firman Allah SWT yang artinya “Sesungguhnya telah datang kepada kamu
keterangan yang nyata dari Tuhan-Mu sebagai petunjuk dan rahmat” (QS
Al An’aam: 157).
Maksud dari “petunjuk” dan “rahmat” dalam ayat diatas
adalah dengan membawa manfaat bagi manusia atau menjauhkan kemadharatan dari
dirinya. Diturunkannya syari’at
Islam kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia dan
menghindari mafsadat baik di dunia maupun di akhirat. Maka dari itulah
maslahah menjadi kunci dari semua hukum Islam yaitu sesuai dengan tujuan hukum
itu sendiri sebagai pengambilan yang lebih baik.
Kemaslahatan memiliki dua orientasi yaitu orientasi
duniawi dan ukhrawi yang melekat, sehingga hukum Islam dapat dipandang sebagai
suatu hukum yang sempurna dengan kemaslahatan yang mengandung dua orientasi
tersebut.
A.
Pengertian Maslahah
Maslahah menurut lughat berasal dari kata kerja bahasa Arab Shalaha ((صَلَحَ
– Yashluhu ((يَصْلُحُ menjadi Shulhaa (صُلْحًا) atau Maslahah (مَصْلَحَةً) yang berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan.[5]
Dan kata-kata berasal dari kata صَلَحَ tersebut ada sebanyak 180 di dalam Al-Qur’an.[6]
Dan kata صَلَحَ ada 2 yaitu terdapat pada QS. Ar-Ra’d ayat 23 dan
QS. Al-Mu’min ayat 8, sebagai berikut:
àM»¨Zy_ 5bôtã $pktXqè=äzôt `tBur yxn=|¹ ô`ÏB öNÍkɲ!$t/#uä öNÎgÅ_ºurør&ur öNÍkÉJ»Íhèur (
èps3Í´¯»n=yJø9$#ur tbqè=äzôt NÍkön=tã `ÏiB Èe@ä. 5>$t/ ÇËÌÈ
Artinya: “(yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke
dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya
dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu”. (QS. ar-Ra’d : 23)
$uZ/u óOßgù=Åz÷r&ur ÏM»¨Zy_ Abôtã ÓÉL©9$# öNßg¨?tãur `tBur yxn=|¹ ô`ÏB öNÎgͬ!$t/#uä öNÎgÅ_ºurør&ur óOÎgÏG»Íhèur 4
y7¨RÎ) |MRr& âÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÑÈ
Artinya “ Ya
Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga 'Adn yang telah Engkau
janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka,
dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Mu’min : 8)
Sedangkan kata صُلْحًا hanya
terdapat pada QS. an-Nisa ayat 128, sebagai berikut:
xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ ..... ÇÊËÑÈ
Artinya: .....
Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).....
Kata Maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, baaik
artinya ataupun Wajan-nya (timbangan kata).[7] Sedangkan
menurut istilah ulama Ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan
diantaranya:
1.
Imam Ar-Razi mena’rifkan Maslahah ialah perbuatan
yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada
hamba-Nya tentang pemeliharaan Agamanya, Jiwanya, Akalnya, Keturunannya, dan
Harta Bendanya.
2.
Imam Al-Ghazali menarifkan Maslahah pada dasarnya
ialah meraih manfaat dan menolak mudharat.
3.
Muhammad Hasbi As-Siddiqi, Maslahah Ialah
memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan
makhluk. [8]
4.
Al-Khawarizmi, maslahah adalah memelihara tujuan
syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari
manusia.
5.
Asl-Syatibi mengartikan maslahah itu dari dua
pandangan, yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi
tergantungnya tuntutan syara’ kepada maslahah.
6.
Al-Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid
al-‘Alim adalah ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam
bentuk ibadat atau adat.[9]
Jadi dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang
baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan meskipun bertentangan dengan
nash dalam hal-hal tertentu dan menghindarkan keburukan bagi manusia, sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Setiap hukum yang
didirikan atas dasar Maslahah dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
1.
Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang
dipersoalkan. Misalnya pembatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad
nikah di masa sekarang. Dari segi pertama ini lebih dikenal dengan istilah Maslahah
Mursalah.
2.
Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ yang
mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
Dikenal dengan istilah al-munasib al-mursal (kesesuaian dengan tujuan
syara’ yang terlepas dari dalil syara’ yang khusus).
3.
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah
yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Disebut dengan istishlah (menggali
dan menetapkan suatu maslahah)
Ada beberapa Kriteria Maslahah menurut Keputusan Fatwa MUI No. 6/MUNAS
VII/MUI/10/2005[10],
yaitu:
1.
Maslahat/kemaslahatan menurut hukum Islam adalah
tercapainya tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah) yang
diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriyyat
al-khams), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan.
2.
Maslahat yang dibenarkan oleh
syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengannash. Oleh karena itu,
mashlahat tidak boleh bertentangan dengan nash.
3.
Yang berhak menentukan maslahat-tidaknya sesuatu menurut
syara’ adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan
dilakukan melalui ijtihad jama’i.
B.
Sejarah Maslahah
Seiring dengan berjalannya
waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi, maka otoritas tasri’ jatuh ke tangan
generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in dan seterusnya. Setelah masa sahabat,
dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat
Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, alSunnah dan ijma’
para sahabat.[11]
Namun karena persoalan
hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan
hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak
ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa
metode istinbath hukum diantaranya; maslahah-mursalah atau istislah (Imam Malik), Istihsan (Imam
Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab Imam Ahmad bin Hambal dan lain
sebagainya.[12]
C.
Kaidah-kaidah fiqh
Ada beberapa kaidah-kaidah
fiqh diantaranya sebagai berikut:
1.
Kesulitan dapat menarik kemudahan.
2.
Keperluan dapat menduduki posisi darurat.
3.
Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan
(diprioritskan) atas mendatangkan kemaslahatan.[13]
4.
Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.
5.
Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.[14]
Dalam kaidah-kaidah fiqh
tersebut terutama penerapan al-qawaid al-fiqhiyah seputar darurat ini
harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh. Seperti QS. al-Baqarah: 173,
sebagai berikut:
.....( Ç`yJsù
§äÜôÊ$#
uöxî
8ø$t/ wur
7$tã Ixsù
zNøOÎ)
Ïmøn=tã
4 ¨bÎ)
©!$#
Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya: “ ..... Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
Artinya, darurat itu ada
masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Selagi masih bisa dihindari maka hindarilah karena darurat
adalah suatu keadaan yang emergency.[15]
D.
Beberapa contoh Maslahah dalam Al-Qur’an
1.
Kelompok Hudud ada tujuh yaitu Zina, Qazaf (tuduhan
zina), Minum Khamr, Mencuri, Hirobah (merampok), murtad, al-Baqhyu (memberontak).
Contohnya tentang jarimah zina yang terdapat dalam QS. an-Nur ayat 2,
sebagai berikut:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# (
ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Dalam ayat ini menjelaskan bahwasanya Allah melarang mereka berbuat zina
karena zina banyak kemudharatannya salah satunya adalah menjaga keharmonisan
rumah tangga dan anaknya.
2.
Kelompok Qisas (memotong atau mengikuti)-Diyat.
Contohnya pada QS. al-Baqarah ayat 178, sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# (
çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4
ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3
y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3
Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih”.
Ayat di atas mewajibkan qisas pada orang yang melakukan pembunuhan dengan
sengaja karena perlakuan tersebut telah menghilangkan jaminan kehidupan
manusia. Dengan adanya jarimah ini maka berkurangnya pembunuhan karena takut
akan sanksinya. Agar adanya efek jera pada masyarakat.
3.
Larangan Riba
Contohnya terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 278-279, sebagai berikut:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur (
bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.
Dengan pernyataan ayat di atas bahwa riba sangatlah di larang karena akan
menimbulkan kesejahteraan semu yang menyebabkan masyarakat semakin sengsara.
dan contoh lainnya.
E.
Macam-Macam Maslahah
Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan
kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.[16] Sedangkan menurut para ahli ushul fikih membagi maslahah
menjadi beberapa macam, dilihat dari beberapa segi, sebagai berikut:[17]
1.
Maslahah dari segi kualitas/ tingkatannya
Suatu aturan ditafsirkan
menurut disusunnya aturan-aturan itu. Sebab bagaimanapun hukum Syara’ itu
diciptakan adalah untuk kebahagiaan dan kemaslahatan umat manusia, baik
perorangan maupun masyarakat.[18]
Ulama membagi maslahat
kepada tiga kategori, Maslahat dharuriyah, maslahat hajjiyah, dan Maslahat
tahsiniyah.[19]
a.
Maslahat Dharuriyah adalah sesuatu yang harus ada,
sangat penting, apabila tidak ada, maka akan terganggu stabilitas kehidupan
manusia, bisa mengakibatkan kehancuran dan lenyapnya kehidupan sedangkan
diakhirat tidak mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan.[20]
Jadi Maslahat Dharuriyah adalah keharusan hidup mengenai hal-hal yang menjadi
sendi kehidupan manusia agar terwujudnya kebaikan mereka, termasuk keharusan ini ada lima
macam.[21] Lima Maslahat yang menjadi tujuan syariah tersebut, yaitu:[22]
1)
Masalahat memelihara
agama. Agama menempati urutan pertama, sebab keseluruhan ajaran agama
mengarahkan manusia untuk berbuat sesuai dengan kehendak dan keridhaan Allah,
baik dalam hal menyangkut ibadah maupun dari segi muamalah. Oleh karena
itu tak satupun nash baik dari al-Qur'an maupun hadist yang tidak mendorong manusia untuk beriman
kepada Allah swt. Manusia pada hakikatnya diciptakan untuk beribadah[23] dalam
arti luas, sebagaimana firman Allah QS. adz-Dzaariyaat: 56.[24]
2)
Maslahat
memelihara Jiwa. Hal esensial diurutan kedua adalah memelihara jiwa. Ajaran
agama hanya dapat dan wajib dilaksanakan bagi orang yang punya jiwa (hidup).
Karenanya jiwa seseorang sangat penting untuk dipelihara dan dengan tegas,
Islam mengharamkan pembunuhan dengan segala bentuknya termasuk membunuh diri
sendiri[25]
sebagaimana firman Allah QS. an-Nisa: 29.[26]
3)
Maslahat memelihara akal.
Akal membawa seseorang menjadi orang mukallaf. Itulah sebabnya pemeliharan jiwa
tidak cukup apabila tidak disertai pemeliharaan akal agar tetap waras, sehat
serta senantiasa dapat berpikir jernih karena hanya dengan akal yang sehat dan
jernih, manusia dapat memahami tuntutan agama, memahami ayat-ayat Tuhan sebagaimana
perintah Tuhan seperti afala tatafakkarun, afala ta'qilkun dan lain
sebagainya. Itulah sebabnya, diharamkan khamar dan segala hal
yang membunuh kreatifitas dan gairah kerja manusia. Hal itu adalah salah satu
hikmah diharamkan khamar, judi, berkorban untuk berhala[27] (Q.S.
al-Maidah: 90).[28]
4)
Maslahat memelihara
keturunan. Salah satu kemaslahatan yang patut dipelihara adalah kesinambungan
keturunan atau generasi. Islam mengatur tentang pemeliharaan keturunan. Itulah
sebabnya dalam al-Qur'an diatur tentang hukum perkawinan dengan landasan
membangun keluarga yang sah, ditentukan wanita-wanita yang tidak boleh dikawini
serta yang boleh dikawini. Diatur secara ketat tentang poligami, mengatur
tentang tata cara mempergauli isteri dengan cara yang ma'ruf sampai dengan hak
talak dalam kondisi rumah tangga tidak dapat dirukunkan kembali.[29]
5)
Maslahat memelihara harta. Membangun kehidupan yang layak dan sejatera
salah satu indikatornya adalah dengan memelihara harta.[30]
b.
Maslahah Hajjiyah (kebutuhan hidup) yaitu semua
perkara yang dibutuhkan masyarakat untuk menghadapi kehidupan dengan mudah dan
bisa mengatasi kesulitan-kesulitan hidup.[31]
Maslahat Hajjiyah ini bertujuan untuk memperoleh kelapangan dan menghindarkan
kesulitan.[32] Dalam Maslahah Hajjiyah ini tidak ada yang
terancam maupun yang rusak melainkan hanya menimbulkan kepicikan dan
kesempitan, dan Hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat,
dan bidang jinayah. Sebagai berikut:[33]
1)
Ibadah contohnya qashar shalat, berbuka puasa bagi
yang musafir.
2)
Adat contohnya di bolehkan berburu, memakan, dan
memakai yang baik-baik dan yang indah-indah.
3)
Muamalat misalnya di bolehkannya jual beli salam,
di bolehkannya talak.
4)
Uqubat/ Jinayah misalnya menolak hudud lantaran
adalah kesamaan-kesamaan pada perkara.
c.
Maslahah Tahsiniyah ialah mengambil apa yang
paling etis dan estetis menrut kebiasaan, menghindari hal-hal yang kotor dan
tidak diterima akal manusia.[34]
Dengan maslahah tahsiniyah ini yang bertujuan untuk mewujudkan baiknya
perkara-perkara yang dirasakan perlu oleh seseorang maupun masyarakat.[35] Dengan
Maslahat Tahsiniyah ini memudahkan kita dalam lapangan ibadah, adat,
muamalah, dan bidang uqubat. Sebagai berikut:[36]
1)
Lapangan Ibadah misalnya kewajiban bersuci dari
Najis, menutup aurat, dan lain-lain.
2)
Lapangan Adat seperti menjaga adat makan, adat
minum, dan lain-lain.
3)
Lapangan Muamalah misalnya larangan menjual
benda-benda bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari
kebutuhannya.
4)
Lapangan Uqubat misalnya dilarang khianat, dalam
peperangan tidak boleh membunuh wanita, dan lain-lain.
Dari uraian di atas, maka harus dibedakan
ketiga kemaslahatan tersebut, sehingga dapat menentukan prioritas dalam menentukan
kemaslahatan. Kemaslahatan Dharuriyah
lebih di prioritaskan/ diutamakan dari pada maslahah lainnya, sedangkan kemaslahatan
Hajjiyah harus didahulukan dari pada kemaslahan tahsiniyah.[37]
2.
Maslahah dari segi
Kandungannya
a.
Maslahah al-‘Ammah
Adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang
banyak. Kemaslahatan ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi
bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Contohnya, para
ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat,
karena menyangkut kepentingan orang banyak.[38]
b.
Maslahah al-Khashshah
Adalah kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali,
seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan
seseorang yang dinyatakan hilang (mauquf).[39]
3.
Maslahah dari segi berubah
atau tidaknya
Mushtafa asy-Syalabi membagi menjadi 2 maslahah, yaitu:
a.
Maslahah ats-Tsabitah
Adalah kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah
sampai akhir zaman. Misalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa,
zakat, dan haji.[40]
b.
Maslahah al-Mutaghayyirah
Adalah kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan
perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan dengan
permaslahan mu’amalah dan adat kebiasaan. Contohnya dalam masalah makanan yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.[41]
4.
Maslahah dari segi
eksistensinya
Dalam menguak metode kontroversial ini terdapat
pertalian erat dengan pembahasan qiyas yaitu sisi penggalian illat (legal
clause) yakni al-munasabah (pemaparan sifat/kondisi yang secara rasio selaras
dengan penerapan hukum.) Bila syara’ mengakuinya berarti al-munasib tersebut
layak dijadikan sandaran penetapan hukum. Sebaliknya bila syara’ menolaknya
maka tentu ia tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Berpijak dari hal ini
ditinjau dari aspek kelayakannya al-munasib terbagi dalam tiga klasifikasi,[42] yaitu:
a.
Al-munasib al-mu’tabarat (syara’ mengukuhkannya).
b.
Al-munasib al-mulghat (syara’ menolak keberadaannya), dan
c.
Al-munasib mursalah (syara’ tidak menyikapi keberadaannya
dengan mengukuhkan atau menolaknya)
Dilihat dari segi eksistensi atau wujudnya para
ulama ushul[43], juga
membagi mashlahah menjadi tiga macam, yaitu:[44]
Yaitu maslahat yang
diperhitungkan oleh syar’i. Maksudnya, ada petunjuk dari syar’i baik langsung
mauoun tidak langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya maslahat yang
menjadi alasan dalam menetapkan hukum.
Dari langsung dan tidak
langsungnya petunjuk (dalil) terhadap maslahat tersebut, maslahat terbagi dua:
1)
Munasib mu’atstsir, yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syar’i)
yang memerhatikan maslahah tersebut. Contohnya tidak baiknya mendekati
perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini
diteaskan dalam QS. al-Baqarah ayat 222 yang artinya “mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh”.
2)
Munasib Mulaim yaitu tidak ada petunjuk
langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’
terhadap maslahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Umpamanya
berlanjutnya perwalian ayah terhadap anak gadisnya dengan alasan anak gadisnya itu
belum dewasa. Belum dewasa ini menjadi alasan bagi hukum yang sejenis
dengan itu, yaitu perwalian dalam harta milik anak kecil.
Yaitu kemaslahatan
yang keberadaannya ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan
ketentuan syara’. Misalnya fatwa al-Laits ibn Sa’ad yang menetapkan hukuman
puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang raja (penguasa Spanyol) yang
melakukan persetubuhan dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan.
Menurut al-Laits ibn Sa’ad, bagi seorang raja, keharusan
memerdekakan budak sebagai sanksi hukum tidak akan mampu memberikan dampak
positif sehingga ia tidak menghormati bulan Ramadhan dan menjalankan ibadah
puasa.
Hal ini
karena mudahnya seorang raja memerdekakan budak karena kondisi kehidupannya
yang serba mewah. Karena itu keharusan berpuasa sebagai sanksi pada urutan
kedua sebagaimana yang ditegaskan oleh nash harus dilakukan pelaksanaannya
karena dapat mewujudkan kemaslahatan sebagai tujuan hukum. Hal ini menjadi
sebab berkembangnya pendapat tentang penerapan hukum secara berurutan (tertib)
atau takhyir (memilih) dari ketetapan hukuman tersebut.
c.
Maslahah
Mursalah.
1.
Pengertian Maslahah Mursalah
Mursalah berasal dari kata
kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu arsala-yursilu-irsalaa-mursilun
menjadi Mursalun yang berarti diutus, dikirim, atau dipakai
(dipergunakan). Perpaduan dua kata menjdi “Maslahah Mursalah” yang
berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu
hukum Islam.[47]
Juga dapat berarti Muthlak.[48]
Sedangkan menurut istilah, ada beberapa pengertian diantaranya:
a.
Abu Nur Zuhair: suatu sifat yang sesuai dengan hukum,
tetapi belum tentu diakui atau tidaknya menurut syara’.[49]
b.
Abu Zahrah: suatu maslahah yang sesuai dengan
maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang
secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.[50]
c.
Imam Al-Ghazali: suatu metode istidlal (mencari dalil)
dari nash syara’ yang tidak merupakn dalil tambahan terhadap nash syara’.[51]
d.
Asy-Syatibi: setiap prinsip syara’ yang tidak disertai
bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil
dari dalil-dalil syara’.[52]
e.
Ahli Ushul, Maslahah Mursalah diartikan kemaslahatn yang
tidak disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan
kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang membenarkan atau menyalahkan.[53]
2.
Objek Al-Maslahah Al-Mursalah
Objek Al-Maslahah Al-Mursalah ini difokuskan
terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash. Dan juga difokuskan
pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang
berhubungan dengan kejadian tersebut.[54]
3.
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di
antaranya:[55]
a.
Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil
menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah
seperti ibnu Hajib dan ahli zahir.[56]
b.
Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut
sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.[57]
Dalil-dalil Ulama’ yang memakai maslahah mursalah sebagai hujjah adalah
kemaslahatan umat manusia itu secara lestari sifatnya selalu aktual dan
pembentukan hukum dalam rangka mencari kemaslahatan.[58]
Alasan Imam maliky menjadi hujjah ada tiga alasan. pertama, praktek para
sahabat telah menggunakan maslahah mursalah. Kedua, adanya maslahat
sesuai dengan maqashid as-syar’i. Ketiga, seandainya maslahat tidak diambil
pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama berada dalam konteks
maslahat-maslahat syari’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami
kesulitan dan kesempitan.[59]
c.
Imam Al-Qarafi[60] berkata tentang maslahah mursalah: “Sesungguhnya
berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka
membedakan antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan
hukum yang mengikat”.
4.
Syarat-syarat untuk bisa dipakai sebagai Hujjah
a.
Harus benar-benar membuahkan maslahah atau tidak
didasarkan pada mengada-ada.
b.
Maslahah harus bersifat umum, bukan bersifat perorangan.[61]
c.
Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang
dituju oleh syar’i.
d.
Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash
yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.[62]
5.
Keraguan orang yang tidak menggunakan Maslahah Mursalah
sebagi Hujjah.[63]
a.
Syari’atlah yang akan memelihara kemaslahatan umat
manusia dengan nash-nash dan petunjuk qiyas. Sebab syar’i tidak akan berlaku
menyia-nyiakan manusia. Dengan kata lain, membiarkan adanya maslahah dengan
tidak menunjukkan pembentukan hukumnya, tidaklah dibenarkan.
b.
Khawatir akan tersia-sia sebab adanya kezhaliman dan
memperturutkan hawa nafsu dengan nama maslahah muthlak.
6.
Relevensi Maslahah Mursalah di masa kini dan mendatang.[64]
Dalam upaya untuk mencari
solusi dan alternatif, maslahah mrsalah adalah sebagai dasar dalam berijtihad
karena banyak permasalahan yang tidak ada di dalam nash atau ijma’.
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa selama tidak ada nash yang menunjang hukum suatu perkara,
mashlahah mursalah bias dijadikan hujjah untuk mengistinbath hukumnya. Tentunya
dengan beberapa syarat yang telah disebutkan di atas.
Jika dicermati lebih dalam ternyata seluruh madzhab
menggunakan maslahat Mursalah dalam mengambil isthinbath hukum. Hal ini
terlihat ketika mereka menggunakan
pendekatan qiyas, digunakan pendekatan sifat munasib yang tidak menganggap
perlu adanya dalil. Sifat munasib inilah yang sebenarnya yang disebut maslahah
mursalah.
Tujuan dari semua hukum
syara’ adalah untuk mewujudkan dan memelihara
kemaslahatan manusia sekaligus menolak mafsadat. Seorang mukallaf akan
memperoleh maslahat manakala ia dapat memelihara lima aspek pokok dalam
kelompok dharury, sebaliknya ia akan mendapatkan mafsadat manakala ia tidak
dapat memelihara kelima unsur dengan baik.
Pertimbangan maslahat dalam pembentukan hukum
Islam sangatlah mugkin untuk
diterapkan. Hal ini terutama untuk menjawab problematika-problematika yang
dihadapi umat Islam sesuai kebutuhan tempat dan zaman.
REFRENSI
1.
Dr. Junaidi Lubis, MA., Islam Dinamis,
(Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2010),
2.
Drs. Totok Jumantoro, MA. Dkk, Kamus Ilmu USHUL FIKIH, (Jakarta:
AMZAH, 2009)
4.
Drs. Chaerul, Uman dkk, Ushul Fiqih 1,
(Bandung: Pustaka Setia, 1998),
5.
Muhammad Fu’ad Abdul
Baqi, Mu’jam al-Mufahrus, (1992 M – 1412 H)
6.
Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul
Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
9.
Himpunan undang-undang dan peratran pemerintah
tentang Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Zeedny, 2009)
10.
Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec., Bank
Syariah dari teori ke praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
12.
http://hankkuang.wordpress.com/2009/08/12/peran-dan-fungsi-maslahat-dalam-pembentukan-hukum-islam/
13.
Syekh Abdul Wahab Khallaf diterjemahkan oleh
Halimuddin, SH., Ilmu Ushul Fikih dengan buku aslinya Ilmu ‘Ushul Fiqh,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta: 2005)
14.
Prof. Drs. KH. Masdar Helmi, Ilmu Ushulul Fiqh,
(Bandung: Gema Risalah Press, 1997)
15.
Prof. Muhammad Abu Zahrah, ushul fiqih, (Jakarta:
pustaka Firdaus, 2008)
16.
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta:
kencana, 2009)
[1] Dr. Junaidi Lubis, MA., Islam Dinamis,
(Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2010), hlm. 120-121. Salam Madkur memiliki
kesimpulan yang sama bahwa ijtihad yang dilakukan al-khulafa’ al-Rasyidun
diarahkan kepada mencapai sasaran pokok dari sebuah hukum (maqashid
syariah), yaitu untuk melindungi kemaslahatan manusia. Namun, apabila
terjadi kontradiksi dua kepentingan mereka mendahulukan kepentingan umum dari
kepentingan khusus. (Salam Madkur, Al-Ijtihad, hlm. 65)
[2] Drs. Totok Jumantoro, MA. Dkk, Kamus Ilmu USHUL FIKIH, (Jakarta:
AMZAH, 2009) cet ke-2, hlm. 197
[3] Dr. Junaidi Lubis, MA., op.cit, hlm. 121
[5] Drs. Chaerul, Uman dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung:
Pustaka Setia, 1998), hlm. 135
[6] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahrus, (1992
M – 1412 H) cet ke- 3, hlm. 520-523
[7] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu
Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 117
[8] Drs. Chaerul, Uman dkk, op.cit, hlm.
135-136
[12] Ibid,
[13] Himpunan undang-undang dan
peratran pemerintah tentang Ekonomi Syariah, (Yogyakarta:
Zeedny, 2009), hlm. 282
[14] Ibid, 320
[15] Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec., Bank
Syariah dari teori ke praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2011) cet ke-17, hlm.
55
[17] Drs. Totok Jumantoro, MA. Dkk, op.cit,
hlm. 201
[18] Drs. H. M. Nasir Cholis, Fiqh Jinayah, (Pekanbaru:
SUSQA Press, 2000), hlm. 27
[19] Dr. Junaidi Lubis, MA., op.cit, hlm. 125
[20] Ibid, hlm. 125
[21] Drs. H. M. Nasir Cholis, op.cit, hlm. 27
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
56.
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
[30] Ibid,
[31] Drs. H. M. Nasir Cholis, op.cit, hlm. 28
[32] Dr. Junaidi Lubis, MA., op.cit, hlm. 125
[33] Drs. Chaerul Uman, dkk., op.cit, hlm. 140
[34] Dr. Junaidi Lubis, MA., op.cit, hlm. 125
[35] Drs. H. M. Nasir Cholis, op.cit, hlm. 28
[36] Drs. Chaerul Uman, dkk., op.cit, hlm. 141
[38] Drs. Totok Jumantoro, MA. Dkk, op.cit,
hlm. 201
[39] Ibid, hlm. 202
[40] Ibid, hlm. 207
[41] Ibid, hlm. 206
[42]
http://link24share.blogspot.com, op.cit, lihat, az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 33-35. Lihat juga, al-Mustashfa juz 1 hal. 139, Syarh al-Isnawi juz 3 hal. 67, al-Madkhal ila Madzhab Ahmad hal. 136, al-Ibhaj li as-Subkiy juz 3 hal.43, 111, Raudlah an-Nadzir juz 1 hal. 38- seterusnya.
[43] Ibid, Ulama’ ushul ialah ulama’ yang ahli dalam ushul fiqh. Semua
ulama’ madzhab adalah ulama’ ushul.
[44] Ibid, ‘Abdu Rabbuh, Buhust
fi al-Adillah, 94-100. az-Zuhaily, Ushul
al-Fiqh, 49-50. Ghazali
membagi mashlalah menjadi tiga bagian, yaitu, mashlalah
yang diakui eksistensinya oleh syari’/dibenarkan syara’ (al-mashlahah al-mu’tabarah), mashlahah yang tidak diakui
eksistensinya /yang ditolak syara’ (al-mashlahah
al-mulghah), dan mashlalah
yang tidak ada ketentuan pengakuan dan penolakan eksistensinya oleh syara’ (al-mashlahah al-mursalah). Dengan
demikian, medan untuk berkutatnya akal adalah pada mashlahah yang tidak ada
ketentuan hukumnya dari syari’, yaitu mashlahah mursalah.
[45] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,op.cit,
hlm. 353-354
[47] Drs. Chaerul Uman, dkk., op.cit, hlm. 135
[48] Syekh Abdul Wahab Khallaf diterjemahkan
oleh Halimuddin, SH., Ilmu Ushul Fikih dengan buku aslinya Ilmu
‘Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Rineka Cipta: 2005), cet ke-5, hlm. 98. Muthlak artinya
tidak dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang menerangkannya.
[49] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA., op.cit,
hlm. 119
[50] Ibid
[51] Ibid
[52] Ibid, hlm. 120
[53] Prof. Drs. KH. Masdar Helmi, Ilmu
Ushulul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997) cet ke-2 hlm. 142. Yang
telah dialih bahasa dari Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf dengan judul buku Ilmu
Ushulul Fiqh terbitan Da’wah Islamiyah Syabab Al-Azhar cet ke-7 tahun 1388 H –
1968 M
[54] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA., op.cit,
hlm. 122
[55] Drs. Chaerul Uman, dkk., op.cit, hlm.
141-142
[57] Drs. Chaerul Uman, dkk., op.cit, hlm. 142.
Alasan Imam Malik menggunakan Maslahah Mursalah adalah Allah mengutus
utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahtan
[58] Prof. Drs. KH. Masdar Helmi, op.cit, hlm.
144
[59] Muhammad Abu Zahrah, ushul fiqih, (Jakarta:
pustaka Firdaus, 2008), cet ke-11, hlm. 428-431
[60] http://link24share.blogspot.com, op.cit, lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr Al-Islamiy) 284.
[61] Ibid, hlm. 146
[62] Drs. Chaerul Uman, dkk., op.cit, hlm. 138
[63] Prof. Drs. KH. Masdar Helmi, op.cit, hlm.
147-148
[64] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op.cit. hlm
363-364
Komentar