Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional



BAB I
PENDAHULUAN
Bank Syariah dan Bank Konvensional banyak orang mengatakan sama saja. Pemakalah setuju dengan anggapan bahwa Bank Syariah dan Bank konvensional sama tetapi kesamaannya tidaklah dalam semua hal, seperti bank syariah dan bank konvensional keduanya memiliki persamaan dalam menjalankan fungsi Bank yaitu menghimpun dana, mengelola dana, dan menyalurkan dana.[1]
Bank Syariah memang sama dengan Bank Konvensional namun Bank Syariah tidak bisa disamakan dengan Bank konvensional karna memang nampak jelas perbedaan antara bank tersebut.
Namun, dalam kesamaan tersebut ada perbedaan yang membedakan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional. Hal inilah yang menjadi pembahasan pemakalah pada kali ini.

Add caption

BAB II
PERBEDAAN ANTARA
BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
Bank Syariah sebagai bank yang yang dalam menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Bank konvensional adalah bank yang dalam kegiatan usahanya menerapkan sistem bunga yang lebih identik dengan riba. Maka dari itu tentu perlu kita mengetahui apa saja perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional, agar bank syariah tidak dianggap sama dengan bank konvensional. Oleh karena itu, ada beberapa perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional, diantaranya:
A.                Falsafah
Pada bank syariah tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi, dan ketidakjelasan, sedangkan pada bank konvensional berdasarkan atas bunga.[2] Maka hal yang mendasar yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah  sehinga terdapat istilah bunga dan bagi hasil.[3]
B.                Akad dan Aspek Legalitas
Dalam Bank Syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam dan hukum postif selama masih sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum islam tersebut. Nasabah seringkali berani melanggar kesepakatan/ perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggung jawaban hingga yaumil qiyamah nanti.[4]
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:[5]
1.      Rukun, seperti penjual, pembeli, barang, harga, akad/ ijab-qabul.
2.      Syarat, seperti sebagai berikut:
a.         Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
b.        Harga barang dan jasa harus jelas.
c.         Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
d.        Barang yang ditransasksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.
C.                Sosial
Pada Bank Syariah, aspek sosial dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam visi dan misi perusahaan[6], sedangkan pada bank konvensional tidak tersirat secara tegas.[7]


D.                Pengelolaan Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah).
E.                Hubungan[8]
Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelolaan pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank. Serta adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah atau lebih dikenal dengan hubungan kemitraan sedangkan pada bank konensional tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja atau yang sering dikatakan hubungannya antara debitor dan kreditor saja.
F.                 Lembaga Penyelesai Sengketa[9]
Jika terjadi sengketa atau perselisihan antara pihak Bank Syariah dengan nasabahnya, maka alternatif penyelesaiannya adalah Badan Arbitrase yang menerapkan hukum materiil Islam, dalam hal ini Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau Peradilan Agama selaku institusi yang berwenang sesuai dengan UU No. 21 tahun 2008 dan UU No. 3 tahun 2006.
Hal ini sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 49 berikut penjelasannya pada huruf (i) UU peradilan Agama tersebut dan Pasal 55 Ayat (1) UU Perbankan Syariah. Sedangkan Bank konvensional yang lembaga penyelesaian sengketanya adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Peradilan Umum.

G.               Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan Bank Konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS)[10] dalam struktur organsasi bank syariah[11].
1.      Dewan Pengawas Syariah
Peran utama para ulama dalam DPS adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari baik dari segi operasional bank dan produk-produknya agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.
Tugas lain DPS adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan syariah Nasional (DSN). Dalam melaksanakan fungsinya, DPS wajib mengikuti fatwa DSN sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia.
DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat dewan komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas setiap opini yang diberikan oleh DPS.
2.      Dewan Syariah Nasional
Dewan Syariah Nasional menurut ketentuan peraturan Bank Indonesia adalah suatu institusi yang berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memiliki fungsi utama yaitu sebagai pengawas produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan Syariah Islam.
Fungsi lainnya adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah dan memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DSN pada suatu lembaga keuangan syariah serta memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan.
H.                Prinsip Operasional
Ada beberapa perbedaan mendasar dalam konsep pelaksanaan di Bank Konvensional dan Bank syariah, yaitu antara lain perbedaan konsep antar bunga dan bagi hasil, perbedaan konsep investasi dan membungakan uang, dan perbedaan konsep antara utang uang dan utang barang.[12]
1.      Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil[13]
Prinsip operasional bank konvensional yang menerapkan perangkat bunga (interest) yang dianggap identik dengan riba yang dilarang dalam Islam dan hanya berorientasi pada keuntungan dunia saja sedangkan bank syariah dalam prinsip operasionalnya menerapkan bagi hasil[14] (profit and loss sharing principle), jual beli atau sewa menyewa dan tujuannya bukan hanya dari segi profit saja melainkan ada juga falah orientated[15].
Perbedaan antara bunga dan bagi hasil adalah sebagai berikut:
Keterangan
Bunga
Bagi Hasil
Penentuan keuntungan
Pada waktu perjanjian dengan asumsi harus selalu untung.
Pada waktu akad dengan pedoman kemugkinan untung  rugi.
Jika terjadi kerugian
Ditanggung nasabah saja
Ditanggung kedua belah pihak yaitu nasabah dan lembaga (sesuai akad)
Besarnya persentase
Berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
Berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh.
Pembayaran
Seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan untung atau rugi.
Sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Eksistensi
Diragukan oleh semua agama.
Tidak ada yang meragukan keabsahannya.
Status hukum
Berlawanan QS. Lukman:34
Melaksanakan QS. Lukman:34
2.      Perbedaan antara Investasi dan Membungakan Uang[16]
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dan membungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari defenisi hingga makna masing-masing.
a.       Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko, karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
b.      Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko, karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap
Dengan perbedaan tersebut itu, jelas bahwa Bank Syariah tidak dapat sekedar menyalurkan uang. Bank Syariah harus terus berupaya menigkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
3.      Perbedaan antara Utang Uang dan Utang Barang.[17]
Ada dua jenis utang yang berbeda satu sama lainnya, yakni utang yang terjadi karena pengadaan barang. Utang yang terjadi karena pinjam-meminjam utang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya meterai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang bersifat tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi, deflasi, tidak diperbolehkan.
Utang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang ditambah keuntungan yang disepakati.  Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban daam bentuk utang pengadaan barang, bukan utang uang.



I.                   Bisnis dan Usaha yang Dibiayai[18]
Bisnis dan usaha yang dilaksanakan bank syariah tidak terlepas dari kriteria syariah. Dengan demikian tidak mugkin bank syariah membiayai usaha yang mengandung unsur-unsur yang diharamkan melainkan harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. Seperti beberapa hal pokok yang harus diperhatikan:
1.      Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2.      Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3.      Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/ asusila?
4.      Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5.      Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
6.      Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
J.                  Lingkungan Kerja dan Budaya Kerja (Corporate Culture)[19]
Bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus tercermin integritas eksekutif muslim yang baik bagi setiap karyawan dan harus skillfull dan profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata di seluruh fungsioanl organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
Lembaga keuangan syariah harus mencerminkan cara berpakaian dan tingkah laku karyawan sesuai dengan aturan syariah. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terejaga seperti Nabi Saw yang senantiasa senyum karena kata beliau senyum adalah sedekah.
K.               Perizinan[20]
Dalam perbankan syariah tidak boleh ada perubahan sistem (konversi) ke bank konvensional namun sbank konvensional diperbolehkan berkonvensi ke bank syariah.
BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dengan penjelasan diatas maka jelaslah bank syariah lebih bagus untuk diterapkan dibandingkan dengan bank konvensional sebagaimana yang dirincikan dalam tabel berikut ini:
Aspek-Aspek
Bank Syariah
Bank Konvensional
Falsafah
Tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi, gharar dan unsur yang dilarang oleh syariah lainnya.
Berdasarkan atas bunga
Akad dan Aspek Legalitas
Akad Syariah dan Berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif
Akad Konvensional dan Hukum Positif
Struktur Organisasi
BI, DPS dan DSN
BI
Produk-produk
Wadi’ah, partnership, Tijarah, Ijarah dan Service
Kredit dan Service
Pendapatan
Bagi Hasil, Margin, Fee dan upah
Bunga dan Fee
Pola Hubungan
Kemitraan/ Ukhuwah
Debitor dan Kreditor
Penempatan Harga
Prediksi keuntungan dan resiko
Besar modal yang dikeluarkan
Operasional
Melakukan investasi yang halal saja
Investasi halal dan haram
Lembaga penyelesaian sengketa
BASYARNAS (lebih kekeluargaan)
BANI (mementingkan kepentingan pribadi)
Sosial
Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Visi & Misi perusahaan
Tidak tersirat secara tegas
Pengelolaan Zakat
Ada
Tidak ada
Bisnis dan Usaha yang dibiayai
Profit dan Falah oriented
Profit oriented
Lingkungan Kerja
Islami
Non Islami
Perizinan
Tidak bisa dikonversi ke bank konvensional
Bisa dikonversi ke bank syariah.





REFERENSI
1.                  Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, BANK SYARIAH dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
2.                  Abu Muhammad Dwiono Koesen Al-Jambi, Selamat Tinggal Bank Konvensional, CV Tifa Surya Indonesia tahun 2010
3.                  Amir Machmud dan Rukmana, BANK SYARIAH teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010)
4.                  Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA., Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
5.                  Drs. Cik Basir, SH. MHI, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Kencana, 2009)
7.                  Wirdyaningsih, SH, MH, et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007) cet ke-3
8.                  Ir. Ktut Silvanita Mangani, MA., Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Erlangga, 2009)
9.                  Dll.


[1] Abu Muhammad Dwiono Koesen Al-Jambi, Selamat Tinggal Bank Konvensional, CV Tifa Surya Indonesia tahun 2010, hlm. 39
[2]Amir Machmud dan Rukmana, BANK SYARIAH teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 11
[3] Untuk lebih jelasnya lihat, Muhammad. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. (Yogyakarta: UPP AMKP YKPN) hlm. 2
[4]Amir Machmud dan Rukmana, op.cit. hlm. 11
[5] Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, BANK SYARIAH dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet ke-17, hlm. 30
[6] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA., hukum perbankan syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 8. Visi Perbankan Syariah. Visi Perbankan Syariah berbunyi: “terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efesien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (share-based financing) dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat”. Misi Perbankan Syariah adalah mewujudkan iklim yang kondusif untuk mengembangkan perbankan syariah yang istiqamah terhadap prinsip-prinsip syariah dan mampu berperan dalam sektor riil, yang meliputi. Pertama, Melakukan kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan perbankan syariah secara berkesinambungan; kedua, Mempersiapkan konsep dan melaksanakan peraturan dan pengaawasan berbasis risiko guna menjamin kesinambungan operasional perbankan syariah yang sesuai dengan karakteristiknya; Ketiga, Mempersiapkan infrastruktur guna peningkatan efesiensi operasioanl perbankan syariah; Keempat, Mendesain kerangka entry dan exit perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas sistem perbankan.
[7]Amir Machmud dan Rukmana, BANK SYARIAH teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 11
[9] Drs. Cik Basir, SH. MHI, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 43-44
[10] Amir Machmud dan Rukmana, op.cit, hlm. 42-43
[11] Keharusan adanya DPS antara lain diatur dalam Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia No. 6/ 17/ PBI/ 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.
[12] Wirdyaningsih, SH, MH, et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007) cet ke-3, hlm. 39-40
[13] Ibid,  hlm. 40. Lihat Zainul Arifin, Bank Islam versus Bank Konvensional, (Republika, 2002), hlm 24
[14] Ir. Ktut Silvanita Mangani, MA., Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Erlangga, 2009) hlm. 35. Bagi hasil adalah  suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu kegiatan usaha/ proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung  jawab atas segala kerugian yang terjadi.
[15] Falah berarti mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, op.cit, hlm. 33-34
[19] Ibid, hlm. 34
[20] Abu Muhammad Dwiono Koesen Al-Jambi, op.cit, hlm. 40

Komentar