Mudharabah dan aplikasinya


BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Akad mudharabah merupakan salah satu produk pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syari’ah. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah (selanjutnya disebut UUPS). Pasal 19 UUPS menyebutkan, bahwa salah satu akad pembiayaan yang ada dalam perbankan syari’ah adalah akad mudharabah. Selain itu bank Indonesisa juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor, 10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah, juga menyebutkan mudharabah adalah salah satu akad pembiayaan yang ada didalam perbankan syari’ah.
Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal) membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkan dalam agama Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada pada perbankan pada umumnya (perbankan konvensional). Perbankan konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku bunga tertentu dan pengembalian modal yang telah digunakan mudharib dalam jangka waktu tertentu. Namun Akad mudharabah tidak menentukan suku bunga tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan mewajibkan mudharib memberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh mudharib. Pembiayaan mudharabah pada dasarnya diperuntukan untuk jenis usaha tertentu atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah akan mencoba membahas tentang mudharabah ini serta permasalahan yang ada didalamnya.
B.                 Rumusan Masalah
1.            Apa Pengertian Mudharabah?
2.            Landasan Hukum Mudharabah?
3.            Apa saja Jenis-jenis Akad Mudharabah serta Rukun dan Syaratnya?
4.            Apa Manfaat dan Resiko dari akad Mudharabah?
5.            Aplikasi Mudharabah?

C.                Tujuan
1.             Menjelaskan pengertian Mudharabah.
2.             menjelaskan landasan hukum Mudharabah.
3.             Menjelaskan jenis-jenis akad Mudharabah beserta Rukun dan Syarat yang harus ada dalam Mudharabah.
4.             Menjelaskan apa manfaat dan resiko dari Mudharabah.
5.             Menjelaskan aplikasi tentang Mudharabah.

D.                Manfaat
1.             Menambah wawasan bagi Mahasiswa/i tentang Mudharabah.
2.             Menambah pengalaman dan keterampilan.
Iwad Al-Ikhlas

BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman nabi, bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Saw beroperasi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah kepada khadijah.[1]
Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya memukul atau berjalan. Pengetian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah  proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis, mudharabah adalah sebuah akad kerjasama usaha antar pihak dimana pihak pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. [2] 
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdrrahman Al-Jazairi yang memberikan arti mudharabah sebagai ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain sebagai modal usaha. Namun, keuntungan yang diperoleh akan dibagi menjadi diantara mereka berdua, dan jika rugi ditanggung oleh pemilik modal.[3]
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[4]

B.                 Landasaan Syariah[5]
1.             Al-Qur’an
tbrãyz#uäur..... tbqç/ÎŽôØtƒ Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$#    .....
Artinya: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah”
Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari Surah Muzammil: 20 di atas adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# .....
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah....”. (QS. Al-Jumu’ah: 10)
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§  .....
Artinya: “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS. Al-Baqarah:198)
2.             Al – Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memebri dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa engarungi lautan, menuruni lembah yang berbhaya, atau memebeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.
(HR. Thabrani)
Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampurkan gandum dengan tepung untuk keperluan rumah buan untuk di jual.”
(HR. Ibnu Majah no. 2280, Kitab at-Tijarah)
3.             Ijma
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits ang dikutip Abu Ubaid.

C.                Jenis-jenis Akad Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu mudharabah muthalaqah dan mudharabah muqayyadah.[6] Namun dalam PSAK, mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu mudharabah muthalaqah, mudharabah muqayyadah dan mudharabah musytarakah.[7]
1.             Mudharabah Muthalaqah (Unrestricted Investment Account)[8]
Adalah Mudharabah dimana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelolaan investasinya. Mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat.
Jenis mudharabah ini tidak ditentukan masa berlakunya, di daerah mana usaha tersebut akan dilakukan, tidak ditentukan line of trade, line of industry, atau line of service yang akan dikerjakan. Dalam pengelolaan memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja dalam pelaksanaan bisnis asalkan sesuai dengan Syariah.
Apabila ternyata pengelola dana melakukan kelalaian dan kecurangan, maka pengelola dana harus bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya. Sedangkan apabila terjadi kerugian atas usaha itu, yang bukan karena kelalaian dan kecurangan pengelola dana maka kerugian itu akan ditanggung oleh pemilik dana.
2.             Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investment Account)
Adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi, cara, dan/atau objek investasi atau sektor usaha. Mudharabah ini disebut juga Investasi Terikat.[9]
Namun demikian dalam praktik perbankan syariah modern, kini dikenal dua bentuk mudharabah muqayyadah yaitu:[10]
a.         On balance-sheet yakni aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian, manufaktur, dan jasa. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan akad penjualan ciciln saja, atau penyewaan cicilan saja, atau kerja sama usaha saja. Skema ini disebut on balance-sheet karena dicatat dalam neraca bank.
b.        Off balance sheet yakni aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan (yang dalam bank konvensional disebut debitur). Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja. Sedangkan Bank hanya memperoleh arranger fee karena Bank Syariah hanya bertindak sebagai arranger saja. Transaksi ini tidak dicatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam rekening administratif saja.
3.             Mudharabah Musytarakah
Adalah mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi.
Di awal kerja sama, akad yang disepakati adalah akad mudharabah dengan modal 100% dari pemilik dana, setelah berjalannya operasi usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik dana, pengelola dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha tersebut. Jenis mudharabah ini disebut mudharabah musytarakah merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah.[11]
Sedangkan dalam buku Akad & Produk BANK SYARIAH karangan ASCARYA ada 4 bentuk-bentuk akad mudharabah yaitu:
1.             Mudharabah Bilateral (sederhana)
2.             Mudharabah Multilateral
3.             Mudharabah Bertingkat (Re-mudharabah)
4.             Kombinasi Musyarakah dan Mudharabah.

D.                Beberapa Jenis Usaha yang Dapat Dibiayai dengan Pembiayaan Mudharabah
a.       Pembiayaan mudharabah untuk usaha dagang.
Pada pembiayaan mudharabah untuk usaha dagang ini, jumlah modal yang disalurkan dapat dipergunakan untuk membeli alat peraga dan barang dagangannya serta biaya operasional.
b.      Pembiayaan mudharabah untuk jasa foto kopi, wartel, dan warnet.
Pada pembiayaan mudharabah untuk jasa foto kopi, wartel, dan warnet ini, jumlah modal yang disalurkan dipergunakan untuk membeli dan menyewa mesin-mesin dengan semua peralatan dan fasilitas yang diperlukan serta biaya operasional.
c.       Pembiayaan mudharabah untuk jasa angkutan.
Pada pembiayaa mudharabah ini, jumlah modal yang disalurkan untuk membeli kendaraan dan biaya operasioal juga bervariasi tergantung kepada besar-kecilnya usaha yang dibiayai.
d.      Pembiayaan mudharabah untuk jasa kontruksi.
Pada pembiayaan mudharabah untuk jasa kontruksi ini, jumlah modal yang disalurkan biasanya dalam bentuk plafon dana yag besarnya bervariasi tergantung pada besar-kecilnya usaha yang akan dibiayai.
e.       Pembiayaan mudharabah untuk jasa agro
Pada pembiayaan mudharabah ini, jumlah modal yang disalurkan dapat dipergunakan untuk membeli bibit dan pupuk serta biaya operasional.[12]

E.                 Rukun dan Ketentuan Syariah Akad Mudharabah[13]
1.         Rukun Mudharabah ada empat, yaitu:
a.         Pelaku, terdiri atas: pemilik dana dan pengelola dana;
b.        Objek Mudharabah, berupa: modal dan kerja;
c.         Ijab Kabul (serah terima);
d.        Nisbah Keuntungan.
2.         Ketentuan Syariah, adalah sebagai berikut:
a.         Pelaku
1)        Pelaku harus cakap hukum dan baligh;
2)        Pelaku akad mudharabah dapat dilakukan sesama atau dengan non muslim;
3)        Pemilik dana tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan usaha tetapi ia boleh mengawasi.


b.        objek Mudharabah
1)        Modal
a)         Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau aset lainnya (dinilai sebesar nilai wajar), harus jelas jumlah dan jenisnya;
b)        Modal harus tunai dan tidak utang;
c)         Modal harus diketahui dengan jelas jumlahnya;
d)        Pengelola dana tidak diperkenankan untuk memudharahkan kembali modal mudharabah, dan apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali atas seizin pemilik dana;
e)         Pengelola dana tidak diizinkan meminjamkan modal kepada orang lain dan apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali atas seizin pemilik dana;
f)         Pengelola dana memiliki kebebasan untuk mengatur modal menurut kebijaksanaan dan pemikirannya sendiri, selama tidak dilarang secara syariah.
2)        Kerja
a)         Kontribusi pengelola dana dapat berbentuk keahlian, keterampilan, selling skiil, management skiil, dan lain-lain;
b)        Kerja adalah hak pengelola dan tidak boleh diintervensi oleh pemilik dana;
c)         Pengelola dana harus menjalankan usaha sesuai dengan syariah;
d)        Pengelola dana harus mematuhi semua ketetapan yang ada dalam kontrak;
e)         Dalam hal pemilik dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelangaran terhadap kesepakatan, pengelola dana sudah menerima modal dan sudah bekerja maka pengelola dana berhak mendapatkan imbalan/ ganti rugi/ upah.
c.         Ijab Kabul
Adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha/ rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespodensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
d.        Nisbah Keuntungan
1)        Nisbah keuntungan harus diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak. Jika memang dalam akad tersebut tidak dijelaskan maka porsi pembagiannya menjadi 50%:50%;
2)        Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak;
3)        Pemilik dana tidak boleh meminta pembagian keuntungan dengan menyatakan nilai nominal tertentu karena dapat menimbulkan riba.
Pada dasarnya pengelola dana tidak diperkenankan untuk memudharabahkan kembali modal mudharabah, dan apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali atas seizin pemilik pemilik dana. Apabila pengelola dana dibolehkan oleh pemilik dana untuk memudharabahkan kembali modal mudharabah maka pembagian keuntungan untuk kasus seperti ini, pemilik dana mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan antara dia dan pengelola dana pertama. Sementara itu bagian keuntungan dari pengelola dana pertama dibagi dengan pengelola dana yang kedua sesuai dengan porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya.
Apabila terjadi kerugian ditanggung oleh pemilik dana kecuali ada kelalaian atau pelanggaran kontrak oleh pengelola dana, cara menyelesaikannya adalah sebagai berikut:
1)        Diambil terlebih dahulu dari keuntungan merupakan pelindung modal;
2)        Bila kerugian melebihi keuntungan, maka baru diambil dari pokok modal.
Persyaratan minimum Akad mudharabah menurut Fikih[14]
No.
KATEGORI
PERSYARATAN
1
Persyaratan dalam Akad
1.1
Syarat
Menggunakan Judul/ kata Mudharabah
1.2
Syarat
Menyebutkan hari dan tanggal akad dilakukan
1.3
Rukun
Menyebutkan pihak yang bertransaksi dan/atau yang mewakilinya.
1.4
Rukun
Menetapkan bank sebagai pemilik dana atau shahibul mal dan nasabah sebagai pengelola atau mudharib.
1.5
Rukun
Mencantumkan nisbah bagi hasil yang disepakati bagi masing-masing pihak.
1.6
Syarat
Menetapkan jenis usaha yang akan dilakukan nasabah.
1.7
Syarat
Menyebutkan bahwa kerugian ditanggung oleh bank apabila tidak disebabkan pelanggaran akad dan bertindak melebihi kapasitas.
1.8
Kesepakatan
Menetapkan sanksi bagi nasabah apabila lalai membayar bagi hasil pada waktunya.
1.9
Kesepakatan
Menetapkan kesepakatan apabila terjadi force majeur.
1.10
Kesepakatan
Menetapkan jaminan dari pihak ketiga apabila diperlukan.
1.11
Kesepakatan
Menetapkan sanksi-sanksi apabila diperlukan.
1.12
Kesepakatan
Menetapkan Badan Arbitrase Syariah sebagai tempat penyelesaian apabila terjadii sengketa.
2
Persyaratan Transfer Dana
2.1
Syarat Turunan
Dilakukan bank dengan mengredit kepada rekening nasabah.
2.2
Syarat Turunan
Tanda Terima oleh nasabah adalah tanda terima uang.
3
Persyaratan perhitungan Keuntungan
3.1
Kesepakatan
Menggunakan real transactionary cost atau real cost yang ditetapkan alco masing-masing.




F.                 Berakhirnya Akad Mudharabah[15]
Lamanya kerja sama dalam mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas, tetapi semua pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerja sama dengan memberitahukan pihak lainnya.
Namun, akad mudharabah dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut:
1.         Dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir pada waktu yang telah ditentukan;
2.         Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri;
3.         Salah satu pihak meninggal dunia atau hilang akal;
4.         Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai pihak yang mengemban amanah ia harus beritikad baik dan hati-hati;
5.         Modal sudah tidak ada.

G.                Manfaat Mudharabah[16]
1.         Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat;
2.         Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/ hasil usaha Bank, sehingga Bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3.         Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/ arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4.         Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan;
5.         Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/ musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana Bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

H.                Risiko Mudharabah[17]
Risiko yang terdapat dalam al-mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi. Diantaranya:
1.         side streaming: nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
2.         Lalai dan kesalahan yang disengaja;
3.         Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.

I.                   Incentive –Compatible Constraints[18]
Untuk mengurangi kemugkinan terjadinya resiko-resiko di atas, maka bank syariah dapat menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib. Batasan-batasan ini dikenal sebagai incentive-compatible constraints. Melalui incentive-compatible constraints ini, mudharib secara sistematis “dipaksa” untuk berperilaku memaksimalkan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi mudharib itu sendiri maupun bagi shahibul al-mal.
Pada dasarnya, ada empat panduan umum bagi incentive-compatible constraints, yakni:
1.         Menetapkan kovenan (syarat) agar porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar dan/atau mengenakan jaminan (higher stake in net worth and/ or collateral);
2.         Menetapkan kovenan (syarat) agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebih rendah (lower operating risks);
3.         Menetapkan kovenan (syarat) agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan (lower fraction of unobservable cash flow);
4.         Menetapkan kovenan (syarat) agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah (lower fraction of non controllable costs).

J.                   Aplikasi Mudharabah[19]
Al-mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Al-mudharabah diterapkan pada:
1.         Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya;
2.         Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja;
3.         Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
4.         Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah diterapkan oleh shahibul maal.
Salah satu produk yang menjadi unggulan perbankan syariah adalah pembiayaan mudharabah[20]. Sebagaimana contoh-contoh di bawah ini:
1.         Anda mantan pegawai dengan jabatan terakhir sebagai manajer pemasaran disebuah perusahaan kurir ternama. Anda sudah 20 tahun malang melintang di dunia perkuriran, dan keluar dari perusahaan Anda sebelumnya karena ingin mulai berbisnis kurir. Dengan jaminan tanah 100 meter persegi, Anda mengajukan pembiayaan bisnis kurir yang membutuhkan modal Rp100 juta. Bank syariah menyepakati pembiayaan tersebut dengan kesepakatan nisbah 60:40. Setiap bulan, Anda harus menyetor laporan laba rugi dan  berbagi kesepakatan apakah dibayar sekaligus pada saat berakhirnya kontrak mudharabah atau dicicil.[21]
2.         Bagi Hasil untuk Akad Mudharabah Musytarakah.
Ketentuan bagi hasil untuk akad jenis ini dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu:
a.        Hasil investesi dibagi antara pengelolaan dana dan pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing, atau
b.        hasil investasi dibagi diantara pengelola dana (sebagai musytarik) dan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana (sebagai musytarik) sesuai dengan nisbah yang disepakati.  
Contoh: jika terjadi kerugian atas investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal para musytarik.[22]
Bapak A menginvestasikan uang sebesar Rp 2 juta untuk usaha somay yang dimiliki oleh Bapak B dengan akad mudharabah. Nisbah yang disepakati oleh bapak A dan bapak B adalah 1:3. Setelah usaha berjalan, ternyata dibutuhkan tambahan dana, maka atas persetujuan bapak A, bapak B ikut menginvestasikan uangnya sebesar Rp 500.000. dengan demikian bentuk akadya adalah akad mudharabah musytarakah. Laba yang diperoleh untuk bulan januaru sebesar Rp 1.000.000.
Berdasarkan PSAK 105 par 34 maka bagi hasil jika terdapat keuntungan dapat dilakukan dengan cara:
Alternatif 1:
Pertama, hasil investasi dibagi antara pengelola dana dan pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati:
Bagian A: ¼ x Rp 1.000.000 = 250.000
Bagian B: 3/4 x Rp 1.000.000 = 750.000
Kemudian bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut (Rp 1.000.000-Rp 750.000) dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing.
Bagian A: Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x 250.000 = Rp 200.000
Bagian B: Rp 500.000/Rp 2.500.000 x 250.000 = Rp 50.000
Sehingga B sebagai pengelola dana akan memperoleh Rp 750.000 + Rp 50.000 = Rp 800.000, dan A sebagai pemilik dana akan memperoleh Rp 200.000.
Alternative 2:
Pertama hasil investasi dibagi antara pengelola dana dan pemilik dana sesuai dengan porsi masing-masing modal,
Bagian A: Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp 800.000
Bagian B: Rp 500.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp 200.000
Kemudian bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana sebesar Rp 800.000 (Rp 1.000.000- Rp 200.000) tersebut dibagi antara pengeola dana dengan pemilik dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Bagian A: ¼ x Rp 800.000 = 200.000
Bagian B: ¾ Ro 800.000 = 600.000
Sehingga B sebagai pengelola dana akan memperoleh Rp 200.000 + Rp 600.000 = Rp 800.000, dan A sebagai pemilik dana akan memperoleh Rp 200.000.
Jika terjadi kerugian atas investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal para musytarik. Misalnya terjadi kerugian sebesar Rp 1.000.000 maka,
A akan menanggung rugi sebesar:
Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp 800.000
B akan menanggung rugi sebesar:
Rp 500.000/Rp 2.500.000 z Rp 1.000.000 = Rp 200.000,-
3.         Ada dua bentuk mudharabah yang ditawarkan oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI), yaitu Tabungan Mudharabah dan Deposito Mudharabah.[23]
a.         Tabungan Mudharabah adalah simpanan pihak ketiga di BMI yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai dengan perjanjian. Dalam hal ini, BMI bertindak sebagai mudharib (yang mengelola modal) dan deposan sebagai shahib Al-mal (pemilik modal). BMI sebagai mudharib akan membagi keuntungan kepada shahib Al-mal sesuai dengan nisbah (persentase) yang telah disetujui bersama. Pembagian keuntungan dapat dilakukan setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selama periode tersebut. Misalnya, seseorang memiliki saldo Tabungan Mudharabah sebesar Rp 5 juta. Nisbah (perbandingan) bagi hasil 50%:50%.
Diasumsikan total saldo rata-rata dana Tabungan Mudharabah yang ada di BMI Rp 100 juta  dan keuntungan yang diperoleh untuk dana tabungan (profit distribution) sebesar Rp 3 juta. Pada akhir bulan nasabah akan memperoleh dana bagi hasil sebagai berikut :
                                              (belum dipotong pajak)
b.        Deposito Mudarabah, yang disebut dengan Deposito Investasi Mudharabah, merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, dengan mendapatkan imbalan bagi hasil. Imbalan ini dibagi dalam bentuk berbagi pendapatan (revenue sharing) atas penggunaan dana tersebut secara syariah dengan proporsi pembagian, misalnya 70:30. Artinya, untuk deposan sebesar 70% dan untuk bank 30%. Jangka waktu Deposito  Mudharabah ini berkisar antara 1 tahun, 6 bulan, 3 bulan, dan 1 bulan. Diasumsikan total dana investasi mudharabah sebesar Rp 250 juta dan keuntungan yang diperoleh untuk dana deposito sebesar Rp. 6 juta. Pada saat jatuh tempo, nasabah akan memperoleh dana bagi hasil sebagai berikut:
                                                                        (belum dipotong pajak)
Disamping itu, BMI juga menyediakan fasilitas pembiayaan mudharabah dengan sistem bagi hasil. Maksudnya, pembiayaan modal investasi atau modal kerja disediakan sepenuhnya oleh BMI (sebagai shahib Al-mal), sedangkan nasabah menyediakan usaha dan menajemennya (nasabah sebagai mudharib). Hasil keuntungan akan di bagi sesuai dengan kesepakatan bersama dalam bentuk nisbah (persentase) tertentu dari keuntungan pembiayaan. Misalnya BMI sebagai shahib Al-mal (pemodal) mendapat keuntungan sebesar 65% dan nasabah sebagai mudharib (pengusaha) mendapat keuntungan sebesar 35%.

BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
1.         Mudharabah adalah sebuah akad kerjasama usaha antar pihak dimana pihak pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
2.         Landasan Syariah tentang Mudharabah terdapat pada QS. Muzammil: 20, hadits dan Ijma’ dll.
3.         Jenis-jenis Akad Mdharabah yaitu Mudharabah Muqayyadah, Mudharabah Muthalaqah dan Mudharabah Musytarakah.
4.         Rukun Mudharabah, yaitu:
a.         Pelaku, terdiri atas: pemilik dana dan pengelola dana;
b.        Objek Mudharabah, berupa: modal dan kerja;
c.         Ijab Kabul (serah terima);
d.        Nisbah Keuntungan.
5.         Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Al-mudharabah diterapkan pada Tabungan berjangka, Deposito spesial (special investment), Pembiayaan modal kerja dan Investasi khusus.

B.                 SARAN
Kami mengharapkan adanya krtikan dan saran yang membangun agar penulisan selanjutnya akan lebih baik. Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan, materi, sistematis dan lain-lain. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk para pemakalah dan teman-teman seperjuangan.




REFERENSI
1.        Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari teori ke praktek,(Depok, Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia: 2011) cet ke-17
2.        Ir. Adiwarman A.Karim, S.E., MBA., M.A.E.P, Bank Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada: 2010) edisi ke-4, cet ke-7
3.        Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat: 2011)
4.        Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta, Sinar Grafika: 2010) cet ke-2
5.        Karnaen A. Perwataatmadja Hendri Tanjung, Bank Syariah Teori Praktik, dan Peranannya,(Jakarta: Celestial Publishing,2007)
6.        Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007)
7.        Siti Najma, Bisnis Syariah dari Nol, (Jakarta:Hikmah, 2007)
8.        Prof. Dr. Sutan Remi Sjahdeini, S.H. Perbankan Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti:2007)
9.        Yusak Lesmana, Account Officer Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia, 2009)


[1] Ir. Adiwarman A.Karim, S.E., MBA., M.A.E.P, Bank Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada: 2010) edisi ke-4, cet ke-7, h. 204
[2] Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari teori ke praktek,(Depok, Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia: 2011) cet ke-17, h. 95
[3] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta, Sinar Grafika: 2010) cet ke-2 h. 25
[4] Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, op.cit. h.95
[5] Ibid. h. 95-96
[6] Ibid. h. 97
[7] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat: 2011), h. 122
[8] Ibid. h. 122-123
[9] Ibid. h. 123
[10] Ir. Adiwarman A.Karim, S.E., MBA., M.A.E.P, Op.Cit. h. 212-213
[11] Sri Nurhayati dan Wasilah, Op.Cit. h. 123
[12] Karnaen A. Perwataatmadja Hendri Tanjung, Bank Syariah Teori Praktik, dan Peranannya,(Jakarta: Celestial Publishing,2007), hlm 131-133
[13] Sri Nurhayati dan Wasilah, Op.Cit. h. 124-125
[14] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007) h. 66
[15] Sri Nurhayati dan Wasilah, Op.Cit. h. 125-126
[16] Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, Op.Cit. h. 97-98
[17] Ibid. h. 98
[18] Ir. Adiwarman A.Karim, S.E., MBA., M.A.E.P, Op.Cit. h. 214
[19] Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec, op.cit. h.97
[20] Yusak Lasmana, Account Officer Bank Syariah, (Jakarta: PT.  Gramedia, 2009) h. 82
[21] Siti Najma, Bisnis Syariah dari Nol, (Jakarta:Hikmah, 2007), hlm 173-174
[22] Sri Nurhayati dan Wasilah, Op.Cit hlm 127-128
[23] Prof. Dr. Sutan Remi Sjahdeini, S.H. Perbankan Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti:2007), cet ke-3, h. 52

Komentar