BAB I
A.
PENDAHULUAN
Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya
sekedar untuk pemenuhan kebutuhan biologis menusia berupa seks. Tetapi ia punya
tujuan lain yang lebih mulia sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Manakala setelah perkawinan terjadi hubungan
seks, tetapi dalam perjalanan perkawinan itu ternyata tidak berjalan dengan
mulus dan terdapat berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan
perkawinan itu tidak bisa dicapai dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian.
Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi
seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain
disebut “masa tunggu”.
Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas
menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung,
tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah.
Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah
ber-ihdad, bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia,
disebabkan besarnya hak suami terhadapnya.
BAB II
A.
PENGERTIAN IDDAH
Defenisi iddah
menurut bahasa dari kata “al-‘udd” dan “al-ihsha” yang berarti
bilangan atau hitungan.[1] Menurut istilah syara’ ada
dua pendapat tentang pengertian iddah yaitu menurut Imam Hanafi iddah adalah
batasan-batasan waktu yang ditentukan menurut syara’ karena ada bekas waktu
yang tersisa, atau dengan pengertian lain yaitu waktu menunggu yang diwajibkan
bagi perempuan untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan.
Sedangkan menurut Imam
Maliki, Syafi’i, dan Hambali Iddah adalah waktu menanti bagi seorang wanita
untuk memastikan apakah ada janin yang dikandungnya atau tidak, juga sebagai
tanda pengabdian diri kepada Allah, dan berkabung karena ditinggal mati oleh
suami. Sedangkan menurut istilah beberapa orang
memberikan pengertian sebagai berikut :
- Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil
Muhtaj mendefenisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi
seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih
atas meninggal suaminya.
- Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan
pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang
perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
- Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini
dengan “suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah
kematian suaminya atau bercerai darinya.”
- Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa lamanya bagi
perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian
suaminya.”
- Syaikh Hasan Ayyub yang diterjemah oleh
M. Abdul Ghoffar, E.M yang berjudul Fikih Keluarga memberi pengertian
Iddah berarti masa menanti yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan
suaminya, baik karena cerai hidup maupun cerai mati.[2]
- Drs. H. Moh. Rifa’i mendefenisikan Iddah
ialah masa tenggang atau batas waktu untuk tidak boleh kawin bagi
perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya.[3]
Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi
pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya
pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu Masa menanti
bagi perempuan untuk tidak menikah dan menawarkan diri kepada laki-laki lain
untuk menikahinya sampai ditentukan pernikahan tersebut dilanjutkan atau
diputuskan.
B.
HUKUM IDDAH
Berkenaan dengan Iddah ini, para ulama
telah sepakat mewajibkannya. Yaitu berdasarkan firman Allah swt:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya: “wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah:228)
C.
MACAM-MACAM IDDAH
Di dalam
permasalahan iddah kita sering menemukan beberapa hal kesulitan, terutama dalam
membedakan sebab-sebab dan macam-macam iddah itu sendiri seperti sebagai berikut:
1.
Iddah wanita
hamil adalah sampai melahirkan anak yang dikandungnya, baik cerai mati maupun
cerai hidup. Sebagaimana yang difirmankan Allah swt yang terdapat dalam QS.
Ath-Thalaq:4 sebagai berikut:
àM»s9'ré&ur..... ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 .....#Zô£ç ÇÍÈ
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”
Di dalam
hadits juga di jelaskan sebagaimana yang diriwayatkan Dari Miswar putera
Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra melahirkan setelah suaminya
meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin
untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (Hadits
diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Dan pada suatu
lafadz disebutkan: “sesungguhnya Subai’ah melahirkan setelah suaminya
meninggal empat puluh hari.” Dan pada suatu lafadz pada riwayat Muslim
disebutkan: berkata Az Zuhri: “Aku berpendapat tidak ada halangan ia kawin
dalam keadaan masih darah nifas, hanya saja suaminya jangan menyetubuhi dulu
sebelum ia suci.”
2.
Al-Hadawiyah
dan ulama lainnya menyebutkan, bahwa wanita yang hamil itu dapat mengakhiri
iddahnya dengan dua batas waktu, yaitu dengan melahirkan kandungannya jika masa
itu kurang dari empat bulan sepuluh hari, atau dengan tetap dengan iddah yang
normal, yatu empat bulan sepuluh hari jika waktu melahirkan lebih dari waktu
tersebut. Mereka berhujjah dengan firman Allah swt terdapat dalam QS.
Al-Baqarah:234 sebagai berikut:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ÇËÌÍÈ.....
234.
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari.
Berkenaan
dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa hadits Subai’ah mnunjukkan bahwa
ayat pertama di atas, yaitu surah ath-thalaq ayat 4 bersifat umum, meliputi
cerai hidup atau cerai mati. Apabila yang dicerai itu hamil, maka iddahnya
adalah sampai lahir anaknya. Ayat yang kedua, yaitu surah al-baqarah ayat 234
juga umum meliputi wanita yang hamil atau tidak. Apabila cerai mati, maka
iddahnya selama 4 bulan 10 hari.
3.
Iddah wanita
yang sedang menjalani istihadhah, apabila ia mempunyai hari-hari saat ia biasa
menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebiasaan haid dan masa
sucinya. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesai sudah masa
iddahnya.
4.
Iddah isteri
yang sedang menjalani masa haid, lalu berhenti karena sebab yang diketahui
maupun yang tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketehui oleh adanya
penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus
menunggu kembalinya masa haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai
dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang lama. Sebliknya, jika disebabkan
oleh sesuatu yang tidak diketahui, maka ia harus menjalani iddahnya selama satu
tahun. Yaitu, sembilan bulan untuk menjalani masa hamilnya dan tiga bulan untuk
menjalani masa iddahnya.
5.
Iddah wanita
yang belum dicampuri oleh suaminya. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah swt
berfirman dala QS. Al-Ahzab:49, sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd ÇÍÒÈ
49. Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah[4] dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
Pada ayat di atas
menjelaskan sebagamana pendapat para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada iddah
bagi wanita yang dicerai suaminya sebelum dicampuri. Namun ulama berbeda pendapat tentang suami yang
telah melakukan khalwat terhadap istrinya. Imam Hanafi, Maliki,
Hambali mengatakan apabila suami telah berkhalwat dengan istrinya tetapi dia
tidak sampai mencampurinya kemudian ia menceraikan istrinya maka istri wajib
menjalani iddah seperti iddah orang yang telah dicampuri. Sedangakan Imam Syafi’i mengatakan bahwa
khalwat tidak menimbulkan akibat apapun.
6.
Iddah wanita
yang telah dicampuri. Jika ia belum pernah mengalami haid sama sekali atau ia
sudah sampai usia menopause, maka ia harus beriddah selama tiga bulan. Hal itu
didasarkan pada firman Allah swt sebagaimana terdapat dalam QS. Ath-thalaq ayat
4, sebagai berikut:
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³t z`ÏB ÇÙÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts ..... ÇÍÈ
4. dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Dan jika ia
sudah biasa menjalani haid, maka iddahnya adalah tiga quru’. Hal itu di
dasarkan pada firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah ayat 228:
Jika haid
seorang wanita telah berhenti (menopause) sebelum waktu yang seharusnya,
maka mayoritas ulama berpendapat, bahwa ia harus beriddah selama tiga quru’
juga. Tetapi jika ia mengalami masa monopause pada usia yang seharusnya, maka
iddahnya adalah tiga bulan. Demikianlah pendapat Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud. Dan itu juga yang merupakan
pendapat Atha’, syafi’i dan para pengnaut Madzhab Hanafi.
Az-zuhri
mengemukakan, “Jika haidnya itu berhenti ketika masih muda, maka iddah yang
harus dijalani adalah satu tahun”. Al-Hasan berkata, “Ia harus menjalani masa
tunggu selama satu tahun”.
D.
HAK WANITA DALAM IDDAH
1.
Wanita yang taat dalam iddah raj’iyah berhak
menerima tempat tinggal, pakaian dan segala keperluan hidupnya dari suami yang
menalaknya, kecuali jika pihak isteri berbuat durhaka, maka a tidak berhak
menerima apa pun. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ath-thalaq ayat 11:
(... w Æèdqã_ÌøéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ wur Æô_ãøs HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 .. ÇÊÈ
Artinya: “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang”.
Dan juga firman Allah swt :
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr ..... ÇÏÈ
Artinya: “tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu”. (QS. Ath-Thalaq:6).
2.
Perempuan yang dalam iddahnya yang tidak dapat ruju’,
kalau ia mengandung, berhak menerima tempat kediamaan, nafkah dan pakaian,
selama masa iddahnya. Jika ia tidak mengandung, hanya berhak menerima makanan
dan pakaian.
3.
Yang dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama
sekali meskipun ia mengandung, karena ia dan anak yang dalam kandungan nya
telah mendapat hak pusaka dari suaminya. Sebagaimana hadits Nabi saw yang
artinya “isteri yang mengandung (hamil) yang cerai karena mati suaminya,
tidak mendapatkan nafkah”. (H.R. Ad-Daruquthni)
E.
EKSISTENSI IDDAH DALAM PERNIKAHAN
Iddah itu ada beberapa tujuan
diantaranya sebagai berikut :
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
1.
Bagi suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih antara
rujuk dengan istri; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
2.
Bagi istri merupakan kesempatan/saat untuk mengetahui keadaan
sebenarnya; yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
3.
Sebagai masa transisi.
Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah
diadakan dengan tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam
ajaran Islam.
2.
Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu
harus diusahakan agar kekal.
3.
Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk
menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
4.
Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah
melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim”.
Selain
pendapat di atas ada beberapa hikmah disyariatkannya Iddah. Mayoritas fuqaha’
berpendapat bahwa semua iddah tidak lepas dari sebagian maslahat yang
dicapai, yaitu sebagai berikut:
1.
Mengetahui kebebasan rahim
dari percampuran nasab.
2.
Memberikan kesempatan
suami agar dapat intropeksi dri dan kembali kepada isteri yang tercerai.
3.
Berkabungnya wanita yang
ditinggal meninggal suami untuk memenuhi dan menghormati perasaan keluarganya.
4.
Mengagungkan urusan nikah,
karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak
melepas kecuali dengan penantian yang lama.
5.
Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah. Selain tujuan-tujuan iddah sebagaimana diungkapkan diatas,
pelaksanaan beriddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya yakni Allah. Terhadap
aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi wanita muslim untuk
mentaatinya. Pendapat Ibnu al-Qayyim.
F.
PASAL-PASAL TENTANG IDDAH
1.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Perkawinan[5].
Bab VII tentang Waktu Menunggu (Masa Iddah), Pasal 39
(1)
Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam
pasal 11 ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut:
a.
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bag yang tidak berdatang bulan
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c.
Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu dtetapkan sampai melahirkan.
(2)
Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan
karena peceraian sedang sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamn.
(3)
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuataan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
BAB III
IHDAD (MASA BERKABUNG)
A.
PENGERTIAN IHDAD
Menurut Abu Yahya Zakaria
al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan kadang-kadang
bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara
etimologis (lighawi) ihdad berarti al-man’u (cegahan atau
larangan). [6]Sedangkan
menurut:
1.
Abdul Mujeib dkk, ihdad adalah masa berkabung bagi
seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Maka tersebut adalah 4 bulan 10 hari
disertai dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri,
keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.[7]
2.
Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi. Ihdad adalah menahan
diri dari bersolek atau berhias pada badan.
3.
Wahbah al-zuhaili. Ihdad ialah meninggalkan
harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak yang mengharumkan maupun yang
tidak. Tetapi tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden, dan
alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain sutera.
Sedangkan
4.
Pengertian Syarak, ihdad ialah meninggalkan pemakaian
pakaian yang di celup warna yang dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun
pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut ditenun, atau kain itu menjadi
kasar/ kesat (setelah dicelup).
Itu lah sebagian
pendapat-pendapat tentang pengertian ihdad dan banyak lagi pengertian lainnya
yang pada intinya sama yaitu meninggalkan berdandan atau berhias diri.
B.
HUKUM IHDAD
Zainab binti Abu Salamah
berkata, aku masuk kerumah Ummu Habibah, Isteri Nabi saw ketika ayahnya, Abu
Sufyan bin Harb mennggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta minyak wangi berwarna
kuning, lalu menyuruh budaknya untuk mengoleskan minyak wangi pada ayahnya itu.
Kemudian budak itu mengoleskan pada jambangnya. Dan selanjutnya ia berkata,
“Demi Allah, bukan karena aku sudah tidak mempunyai hasrat pada wangi-wangian,
hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, yang artinya “Tidak halal bagi seorang
wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat
lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad
selama empat bulan sepuluh hari”.
Zainab berkata, kemudian aku masuk menemui Zainab binti
Jahsy ketika saudaranya meninggal dunia. Ia juga
minta diambilakan minyak wangi dan dikenakan pada badannya lalu berkata “Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap
wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda “Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad
terhadap mayat lebih dari tiga hari. Kecuali bila yang meninggal itu suaminya,
maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”
Zainab melanjutkan penjelasannya, “Aku pernah mendengar
ibuku, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, berkata, ‘Datang seorang wanita menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak
pada matanya?’ ‘Tidak,’ jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak
dua atau tiga kali. Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat
bulan sepuluh hari. Adapun dulu di masa jahiliah salah seorang wanita dari
kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun”.
Iddah menurut para ulama
hukumnya wajib. Selama ihdad tidak diperbolehkan perhiasan, wangi-wangian,
celak dan lain-lain yang ada unsur untuk memperindah diri.
1.
Ihdad Bagi Istri Yang Ditinggal Suami
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani
seorang istri selama empat bulan sepuluh hari, sama dengan masa iddahnya. Sebagaimana firman Allah
swt “Orang-orang yang meninggal dunia di antara
kalian dengan meninggalkan istri-istri maka hendaklah para istri tersebut
menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari….”
(Al-Baqarah: 234)
2.
Tidak ada Ihdad Bagi Ummu Walad
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad
(budak perempuan yang telah melahirkan anak untuk tuannya), tidak pula bagi
budak perempuan yang tuannya meninggal. Karena mereka tidak berstatus istri dan
si mayat bukan suami mereka.
3.
Ihdad Bagi Wanita yang Di-Talak
Sedangkan dalam kitab Syarh
as-Sunnah. Jika ia dijatuhi talak Raj’i, maka tidak ada kewajiban baginya,
tetapi hendaknya ia berbuat apa yang menjadi kecenderungan hati suaminya supaya
suaminya mau kembali lagi padanya. Sedangkan yang di jatuhi talak ba’in, maka
terdapat dua pendapat, yaitu Pertama, ia wajib ber-ihdad sebagaimana
halnya wanita yang ditinggal suaminya. Hal ini di pegang oleh Abu Hanifah. Kedua,
tidak ada kewajiban berihdad karena ihdad itu dilakukan karena kematian dan
tidak untuk yang lainnya. Ihdad untuk selain kematian suami ini sama sekali
tidak pernah dikerjakan oleh kaum wanita pada masa Nabi saw dan masa
khulafa’urrrasyidin.
4.
Tidak ada ihdad bagi wanta karier
Ihdad bagi fuqaha adalah
sebagai ibadah maka diwajibkan atas wanita musliman dantidak wajib bagi wanita
karier menurut al-Qadhi (Ibnu Rusyd)
C.
HAL-HAL YANG DILARANG BAGI ORANG YANG BERIHDAD
Hadits Nabi saw “seorang wanita tidak boleh berihdad
karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kemtian suami, maka ia
berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai pakaian
berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan celak mata, dan memakai
harum-haruman, janganlah memakai inai dan menyisir rambutkecuali jika ia baru
saja suci dari menstruasi, maka ia bolehlah mengambil sepotong kayu wangi.[8]
1.
Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak
Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari
ibunya, Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang artinya “Datang seorang wanita menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku
telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya.
Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 5336 dan
Muslim no. 3709)
Dan diperbolehkan memakai
delak pada malam hari sebagaimana hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke
tempatku ketika Abu Salamah wafat sementara aku memakai shabr (jenis celak)
pada kedua mataku. Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada matamu, wahai Ummu
Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung wewangian,”
jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat
warna wajah bercahaya/menyala, maka jangan engkau memakainya kecuali pada waktu
malam dan hilangkan di waktu siang. Jangan menyisir (mengolesi) rambutmu dengan
minyak wangi dan jangan pula memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu
(berfungsi) sebagai semir (mewarnai rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah
berkata, “Kalau begitu dengan apa aku meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Daun sidr dapat engkau pakai untuk memolesi rambutmu.” (HR.
Abu Dawud no. 2305)
2.
Tidak Boleh Berwangi-wangian
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Dari ucapan Ummu ‘Athiyyah, ‘Kami
tidak boleh memakai wewangian’ menunjukkan haramnya minyak wangi bagi wanita
yang sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang dinamakan
wewangian dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.”
3.
Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan Bersolek
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya
kepada ’urf (adat kebiasaan) setiap zaman dan tempat. Sehingga tidak bisa
diberi ketentuan pakaian yang bentuknya bagaimana dan penampilan bagaimana yang
teranggap berhias. (Taisirul ‘Allam, 2/354)
4.
Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik / Dicelup agar
Menjadi Indah
Bila dikatakan, “Ini pakaian biasa”, berarti
tidak wajib untuk ditinggalkan, boleh dikenakan selama ihdad, walaupun pakaian
tersebut memiliki model atau berwarna/bercorak. Tapi bila dikatakan, “Ini
pakaian untuk berhias”, berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian
tersebut meliputi seluruh tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti
celana panjang, rok, syal, dan sebagainya.
5.
Tidak Boleh Memakai Perhiasan
Al-Imam Malik
rahimahullahu berkata, “Wanita yang sedang berihdad karena kematian suaminya tidak
boleh mengenakan perhiasan sedikitpun baik berupa cincin, gelang kaki atau yang
selainnya.” (Al-Muwaththa`,
2/599)
Bila si wanita dalam keadaan berperhiasan saat
suaminya meninggal dunia maka ia harus melepaskannya, seperti gelang dan
anting-anting. Adapun bila ia memakai gigi emas (gigi palsu dari emas) dan
tidak mungkin dilepaskan maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia upayakan
untuk menyembunyikannya.
6.
Berdiam di Rumahnya
Dalam Majmu’ Fatawa (17/159), Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk
tidak berhias dan memakai wewangian pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus
berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari kecuali ada kebutuhan
dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh
memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau
selainnya.
D.
YANG TIDAK TERLARANG BAGI WANITA YANG SEDANG
BERIHDAD
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku,
mencabut rambut ketiak, mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara,
atau menyisir rambut karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk
berwangi-wangi/berhias. (Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma Tajtanibuhul
Haddah)
Demikian pula mencium minyak wangi karena bila
sekedar mencium tidaklah menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang
sedang berihdad ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia
menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
Tidak diharamkan baginya melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan pula baginya berbicara dengan
laki-laki sesuai keperluannya, selama ia berhijab. Demikianlah Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari
kalangan sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni
Taimiyah, 17/159)
E.
HIKMAH IHDAD OLEH WANITA
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan, “Hikmahnya adalah untuk menghormati hak
suami dalam masa ‘iddah karena meninggalnya, hingga tidak ada seorang pun yang berkeinginan
untuk menikahi si wanita dalam masa ‘iddah tersebut.
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala
berfirman, “Dan
suami-suami mereka paling berhak merujuki mereka dalam masa ’iddah tersebut,
jika mereka menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah: 228)
F.
KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG IHDAD
Menjelaskan dalam BAB XIX, dalam Pasal 170, sebagai
berikut:
1.
Istri yang ditingal mati suaminya, wajib melaksanakan
masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus
menjaga timbulnya fitnah.
2.
Suami yang ditinggal istrinya, melakukan masa berkabung
menurut keputusan.
BAB IV
A.
KESIMPULAN
1.
Iddah adalah waktu menanti
bagi seorang wanita untuk memastikan apakah ada janin yang dikandungnya atau
tidak, juga sebagai tanda pengabdian diri kepada Allah, dan berkabung karena
ditinggal mati oleh suami.
2.
Berkenaan dengan Iddah ini, para ulama
telah sepakat mewajibkannya. Yaitu berdasarkan firman Allah swt QS.
Al-Baqarah:228
3.
ihdad ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang di celup
warna yang dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan
sebelum kain tersebut ditenun, atau kain itu menjadi kasar/ kesat (setelah
dicelup).
4.
Iddah menurut para ulama hukumnya wajib.
B.
SARAN
Kami mengharapkan semoga
makalah ini bermanfaat untuk kami pribadi dan teman-teman lainnya. Dan
mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
makalah selanjutnya.
REFERENSI
1.
M. Abdul Ghoffar, E.M, Fikih Keluarga, (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009).
2.
H. Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang:
PT. Karya Toha Putra).
3.
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Fiqh Munakahat,
(Jakarta: AMZAH, 2011).
4.
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2007)
5.
Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M dan Drs. Sohari
Sahrani, M.M., M.H., fikih munakahat (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2009)
6.
Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A, fiqh
munakahat (Jakarta: KENCANA:2006)
[1]
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag.,
(Jakarta: AMZAH, 2011). Cet ke-2, h.318
[2]
M. Abdul Ghoffar, E.M, Fikih
Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009), cet. Ke-6, h. 407
[3]
Drs. H. Moh. Rifa’i, Fiqih Islam
Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra) h. 499.
[6] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M
dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., fikih munakahat (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2009) h. 342
[7]
Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A, fiqh
munakahat (Jakarta: KENCANA:2006) cet. 2, h. 302
[8] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M
dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Op.Cit., h.349
Komentar